Sukses

Ulama Afghanistan Ajak Masyarakat Internasional Akui Pemerintahan Taliban

Ulama Afghanistan menyerukan agar masyarakat internasional mengakui pemerintahan Taliban.

Liputan6.com, Kabul - Ulama Afghanistan menegaskan dukungan mereka terhadap Taliban. Komunitas internasional pun diminta ikut mendukung pemerintahan Taliban di Afghanistan. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (4/7/2022), dukungan itu ditegaskan pada sebuah pertemuan ulama Islam dan tetua suku yang berlangsung selama tiga hari dan berakhir Sabtu (2/7). Pihak yang hadir sepakat memberikan dukungan bagi Taliban dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Taliban.

Pertemuan di Kabul itu dirancang sesuai dengan Loya Jirga Afghanistan – yaitu semacam dewan yang terdiri dari para tetua suku, pemimpin dan tokoh terkemuka – dan membahas masalah kebijakan di Afghanistan. Tetapi mayoritas yang hadir dalam pertemuan kali ini adalah pejabat dan pendukung Taliban, kebanyakan ulama Islam.

Tidak seperti Loya Jirga terakhir yang dilangsungkan di bawah pemerintah sebelumnya yang didukung Amerika, kali ini perempuan tidak diizinkan hadir.

Bekas kelompok gerilyawan yang telah sepenuhnya berkuasa untuk mengambil keputusan sejak mengambilalih negara itu pertengahan Agustus 2021 lalu, menyebut pertemuan itu sebagai forum untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi Afghanistan.

Ansari mengatakan lebih dari 4.500 ulama dan tokoh terkemuka Islam yang menghadiri forum itu telah memperbarui kesetiaan dan kepatuhan pada pemimpin tertinggi dan kepala spiritual Taliban, Haibatullah Akhundzada.

Mengutip 11 poin pernyataan yang dirilis di akhir pertemuan itu, ulama Mujib-ul Rahman Ansari mendesak negara-negara di kawasan dan di dunia, PBB, bersama organisasi Islam dan lainnya untuk mengakui Afghanistan yang dipimpin Taliban. Ia juga menyerukan dihapusnya semua sanksi yang diberlakukan sejak Taliban berkuasa dan dicairkannya aset-aset Afghanistan di luar negeri.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

AS Janji Lepaskan Aset Perbankan Afghanistan yang Kena Sanksi

Sebelumnya dilaporkan, Dewan Pedagang Afghanistan di Uni Emirat Arab meminta agar Amerika Serikat melepaskan aset-aset Afghanistan yang kena sanksi. Kabar ini muncul usai terjadinya gempa besar di Afghanistan yang menewaskan lebih dari seribu orang.

Obaidullah Sadarkhail yang menjabat sebagai ketua dewan tersebut mengingatkan bahwa AS sudah berjanji untuk tidak ikut memberikan sanksi ke sektor esensial seperti obat dan makanan. Namun, para pebisnis Afghanistan tetap terkena masalah perbankan.

"Mereka telah dengan jelas berikrar bahwa mereka tidak akan memberi sanksi para pedagang yang melakukan bisnis makanan, bahan bakar, dan obat-obatan, dan bahwa mereka telah bekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah perbankan," katanya.

Dampak Kudeta Taliban

Setelah Taliban melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sah di Afghanistan, AS dan sekutunya membekukan nyaris US$ 10 miliar aset milik Afghanistan.

Kementerian Luar Negeri Afghanistan juga masih terus meminta komunitas internasional untuk mencabut sanksi bagi Afghanistan dan melepas aset-asetnya. Pihak Kemlu Afghanistan juga minta agar diberikan bantuan.

"Emirat Islam meminta dunia untuk memberikan rakyat Afghanistan hak paling dasar yakni hak untuk hidup, dan lakukan hal tersebut dengan mencabut sanksi dan mencarikan aset-aset kami, dan juga dengan memberikan bantuan setelah menghancurkan hidup selama 20 thun," ujar Abdul Qahar Balkhi, jubir Kemlu Afghanistan kepada Reuters.

Mantan kepala Union of Banks di Afghanistan, Seyar Qureshi, menjelaskan bahwa pelepasan aset-aset Afghanistan tergantung kepada perjanjian Doha yang ditandatangani antara Emirat Islam dan AS.

Namun, Qureshi menyorot ada hal-hal yang belum terpenuhi, seperti pemerintah yang inklusif.

"Formasi sebuah pemerintahan yang inklusif, menghormati HAM, usaha-usaha untuk mencegah penggunaan geografi Afghanistan melawan AS dan sekutu-sekutunya terkait terorisme, ini adalah beberapa hal yang belum dituntaskan," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Tak Sanggup Menampung, Turki Deportasi Ribuan Pengungsi Afghanistan

Turki telah mulai mendeportasi ribuan warga Afghanistan dari negaranya. Deportasi tetap dilakukan meskipun mendapat kecaman internasional, mengingat situasi kemanusiaan yang buruk yang tengah berlangsung di Afghanistan, di mana Taliban dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius.

Pada Januari 2022, Turki adalah negara kedua, sesudah Pakistan, yang memulihkan penerbangan langsung ke Afghanistan setelah menangguhkan semua penerbangan internasional ke negara yang terkurung oleh daratan itu, menyusul kejatuhan bekas pemerintah Afghanistan sebelumnya pada 15 Agustus 2021, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (18/6).  

Menurut sejumlah pejabat Turki dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dalam enam bulan terakhir terdapat 79 penerbangan yang disewa oleh Turki yang membawa lebih dari 18.000 warga Afghanistan. Seluruh penerbangan tersebut mendarat di Bandara Internasional Kabul.

Empat bulan sejak kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, hampir 840.000 warga Afghanistan telah melintasi perbatasan internasional tanpa dilengkapi dokumen perjalanan. Jumlah tersebut hampir dua kali lebih banyak dari jumlah yang tercatat pada periode Januari hingga Agustus 2021, demikian data yang dikumpulkan oleh IOM.

4 dari 4 halaman

Warga Afghanistan Pakai Kripto untuk Cegah Penyitaan Harta

Terkait masalah ekonomi, penduduk Afghanistan dilaporkan menggunakan aset digital untuk menyimpan tabungan dan untuk mengurangi kemampuan Taliban yang berkuasa dalam mempengaruhi kesejahteraan finansial mereka. 

Menurut laporan Bloomberg, sejak kelompok militan itu menguasai, nilai transaksi kripto per minggu dalam beberapa kasus meningkat dua kali lipat. Beberapa orang Afghanistan ingin membeli Stablecoin seperti Tether karena mereka dipatok ke dolar AS. 

Permintaan mata uang digital di Afghanistan melonjak karena penduduk berusaha untuk mencegah kemungkinan penyitaan dana mereka oleh pemerintah Taliban. 

Laporan tersebut mengutip seorang warga Afghanistan berusia 26 tahun, Habibullah Timori, yang mendukung pernyataan warga negaranya menggunakan aset digital untuk menghemat tabungan. 

“Permintaan untuk cryptocurrency tinggi. Selama krisis lain, orang menyimpan uang dan perhiasan mereka di tanah atau di bawah bantal mereka. Kali ini, mereka memutuskan untuk menguburnya di kripto,” ujar warga Afghanistan itu, dikutip dari Bitcoin.com, Jumat (10/6).

Laporan tersebut juga mengutip seorang warga Afghanistan berusia 26 tahun lainnya, Naser Ali, yang mengklaim telah mengubah USD 30.000 atau sekitar Rp 434,4 juta yang disimpan di brankasnya menjadi USDT.