Sukses

Krisis Sri Lanka: Ibu-ibu Pusing Tak Bisa Beli Susu Untuk Anak

Krisis Sri Lanka masih terus menghantui masyarakat. Dampaknya terasa ke anak kecil.

Liputan6.com, Jakarta Anak-anak Sri Lanka turut terkena dampak krisis ekonomi yang terjadi. Orang tua kesulitan membelikan susu karena harganya terlalu mahal.

Unicef memberitahu BBC bahwa kondisi Sri Lanka sudah menuju krisis kemanusiaan. Lembaga PBB itu menyebut 70 persen keluarga di negara tersebut telah mengurangi makanan sejak awal tahun, stok bahan bakar dan obat-obatan juga berkurang, demikian laporan BBC, Selasa (5/7/2022).

Salah satu yang disalahkan memicu krisis ini adalah Presiden Gotabaya Rajapaksa yang mendorong pengurangan pajak dan banyak meminjam dari China untuk proyek-proyek infrastruktur yang ambisius di Sri Lanka.

Pandemi COVID-19 yang berdampak ke pariwisata dan perang di Ukraina yang membuat harga BBM naik juga turut memperparah situasi.

Seorang ibu dengan empat anak, Chandrika Manel, memilih mengunjungi dapur umum agar bisa makan nasi dan sayur-sayuran.

Wanita lain bernama Sahna mengaku kondisi anak-ananya menderita, dan ia tak bisa membelikan makanan yang diperlukan anak-anaknya. Kondisinya pun sedang hamil lagi.

"Saya bahkan tidak mampu membeli sepaket biskuit atau susu untuk anak-anak saya," ujarnya.

Pastor Moses yang mengurus dapur umum mengaku telah melihat banyak anak-anak yang mengalami malnutrisi. Ia berinisiatif membuka dapur umum setelah bertemu seorang single mother yang hanya makan nangka selama tiga hari.

Ia berkata orang-orang yang mengantre semakin banyak. Tadinya 50 orang sehari, kemudian menjadi 250 orang sehari.

Sahna pun bertanya-tanya kenapa para pemimpin Sri Lanka masih bisa hidup enak.

"Para pemimpin kami hidup dengan lebih baik. Bila anak-anak mereka hidup dengan gembira, kenapa anak-anak saya tidak bisa?" ujarnya.

BBC menyebut harga makanan naik 80 persen di Sri Lanka pada Juni 2022. Harga beras tercatat naik 55 persen dan gula naik 190 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Sri Lanka Keluarkan Peringatan Soal Stok Bahan Bakar Hanya Cukup 1 Hari

Sebelumnya, Menteri energi Sri Lanka telah mengeluarkan peringatan keras atas stok bahan bakar negara itu karena menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam lebih dari 70 tahun.

Pada Minggu (3/7), Kanchana Wijesekera mengatakan negara itu hanya memiliki cukup bensin yang tersisa kurang dari sehari di bawah permintaan reguler.

Dia juga mengatakan, pengiriman bensin berikutnya tidak lebih dari dua minggu.

 

Pekan lalu, Sri Lanka menangguhkan penjualan bensin dan solar untuk kendaraan yang tidak penting karena kesulitan membayar impor seperti bahan bakar, makanan, dan obat-obatan.

Wijesekera mengatakan kepada wartawan bahwa negara itu memiliki 12.774 ton solar dan 4.061 ton bensin yang tersisa dalam cadangannya, demikian dikutip dari laman BBC, Senin (4/7/2022).

"Pengiriman bensin berikutnya diharapkan antara 22 dan 23 Juli," tambahnya.

Pengiriman solar diperkirakan akan tiba pada akhir pekan, namun Wijesekera memperingatkan bahwa negara tidak memiliki cukup uang untuk membayar impor bahan bakar dan minyak mentah yang direncanakan.

Dia mengatakan, bank sentral Sri Lanka hanya bisa memasok US$ 125 juta untuk pembelian bahan bakar, jauh lebih sedikit dari US$ 587 juta yang dibutuhkan untuk pengiriman terjadwalnya.

Wijesekera menambahkan bahwa negara tersebut berutang US$ 800 juta kepada tujuh pemasok untuk pembelian yang dilakukan awal tahun ini.

Itu terjadi setelah Sri Lanka melarang penjualan bahan bakar untuk kendaraan pribadi hingga minggu depan.

3 dari 4 halaman

Krisis Terburuk

Para ahli percaya itu adalah negara pertama yang mengambil langkah drastis menghentikan penjualan bensin kepada orang-orang biasa sejak krisis minyak tahun 1970-an, ketika bahan bakar dijatah di AS dan Eropa.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu menghadapi krisis ekonomi yang lebih buruk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948 karena kekurangan mata uang asing yang cukup untuk membayar impor barang-barang penting.

Kekurangan akut bahan bakar, makanan dan obat-obatan telah membantu mendorong biaya hidup ke rekor tertinggi di negara itu, di mana banyak orang bergantung pada kendaraan bermotor untuk mata pencaharian mereka.

Kamis lalu, tim Dana Moneter Internasional menyimpulkan putaran baru pembicaraan dengan Sri Lanka mengenai kesepakatan bailout US$ 3 miliar.

Meskipun belum ada kesepakatan yang dicapai, tim tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah membuat "kemajuan signifikan dalam mendefinisikan paket kebijakan makroekonomi dan struktural".

Ia menambahkan bahwa pihaknya telah "menyaksikan beberapa kesulitan yang saat ini dihadapi oleh rakyat Sri Lanka, terutama orang miskin dan rentan yang terkena dampak krisis secara tidak proporsional".

Negara yang kekurangan uang itu juga telah mengirim pejabat ke produsen energi utama Rusia dan Qatar dalam upaya untuk mengamankan pasokan minyak murah.

4 dari 4 halaman

Skema Mengatasi Krisis Ekonomi

Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akan segera mempresentasikan roadmap atau peta untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini kepada parlemen.

Wickremesinghe mengatakan, roadmap akan selesai setelah mengambil usulan dan saran dari anggota parlemen yang ditemuinya pada Kamis (16/6) malam untuk membahas situasi ekonomi saat ini.

Dia mengatakan, penyusunan roadmap sudah dimulai, demikian dikutip dari laman Xinhua, Jumat (17/6).

Pada Kamis (16/6) malam juga, Sekretaris Kementerian Keuangan Mahinda Siriwardana memberikan presentasi kepada anggota parlemen tentang strategi jangka pendek dan menengah pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini.

Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi paling serius sejak kemerdekaannya.

Distributor bahan bakar milik negara Ceylon Petroleum Corporation mengatakanhanya memiliki 5.000 metrik ton bensin dan dengan demikian hanya 500 metrik ton yang akan dilepaskan ke pompa bensin setiap hari.

Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan tahun 1948. PBB memperkirakan hampir 5,7 juta warga Sri Lanka, setengah dari mereka anak-anak, membutuhkan bantuan kemanusiaan.

UNICEF mengatakan, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (12/6/2022), hampir satu dari dua anak di Sri Lanka membutuhkan beberapa bentuk bantuan darurat, termasuk gizi, perawatan kesehatan, air minum bersih, pendidikan, dan layanan kesehatan mental.