Liputan6.com, Jakarta - Warga Gilgit-Baltistan dan wilayah lain Kashmir yang tinggal di bawah kendali Pakistan melakukan protes massal, meski suhu dingin terasa sejak akhir Desember 2023.
Akibatnya, aktivitas normal terhenti total. Komite Aksi Awami (AAC) memimpin protes yang tersebar di seluruh wilayah dan memiliki daftar tuntutan yang menggarisbawahi eksploitasi yang dihadapi masyarakat Gilgit-Baltistan.
Baca Juga
Tuntutan penyelenggara demo berkaitan dengan kebutuhan ekonomi, sosial, dan politik Gilgit-Baltistan (GB).
Advertisement
Di antaranya pemulihan harga gandum bersubsidi ke level 2022, penangguhan Undang-undang Keuangan 2022, penghapusan berbagai pajak, penggantian majelis Gilgit-Baltistan dengan Majelis Konstituante.
Ada juga tuntutan pembatalan seluruh sewa pertambangan yang diberikan kepada non-lokal dan pemberian hak kepemilikan tanah kepada penduduk lokal, dikutip dari laman moderndiplomacy, Selasa (13/2024).
“Gandum, pajak, dan tuntutan otonomi memicu gerakan anti-Pakistan yang paling kuat,” menurut Tara Kartha, peneliti di Institute of Peace and Conflict Studies.
Penduduk setempat di wilayah tersebut menggunakan tagar #GBWantAutonomy di platform media sosial X untuk menyampaikan permintaan mereka kepada pemerintah Pakistan.
Ijaz Shigri, seorang aktivis, mengatakan: "Kami tidak menguasai tanah kami. Tidak ada undang-undang di majelis kami. Pajak kita tidak dibelanjakan untuk pembangunan. Kami tidak memiliki pertambangan dan mineral."
Ada pula aktivis Pakistan lain bernama Fatma Nur menulis di X pada 20 Januari 2024:
"Skardu menyaksikan protes terbesar dalam sejarah #GilgitBaltistan, dengan jutaan orang menantang di tengah cuaca dingin selama 25 hari."
"Tidak Ada Gandum, Tidak Ada Listrik, Tidak Ada Hak warga."
"Bukti kehidupan tertindas dan terampas yang mereka jalani di wilayah yang disebut Azad Kashmir!"
Kondisi di Gilgit-Baltistan
Surat kabar Dawn lebih lanjut melaporkan bahwa toko-toko, pusat bisnis, restoran, dan aktivitas perdagangan tetap ditangguhkan. Bahkan, transportasi antar kabupaten dan antar provinsi bermasalah.
“Berbicara kepada para pengunjuk rasa, Ehsan Ali, ketua penyelenggara ACC, mengatakan bahwa selama tujuh dekade terakhir, hak konstitusional dan hukum GB telah ditolak. Dia mengatakan pemerintahan berturut-turut di Islamabad gagal memberikan bagian yang seharusnya," tulis the Dawn.
Ali mengatakan, tuntutannya bukan hanya pada pencabutan kenaikan harga gandum bersubsidi, namun juga permasalahan nyata lainnya yang tidak dapat diselesaikan dalam beberapa dekade.
Gilgit-Baltistan dikenal sebagai Wilayah Utara di Pakistan dan menjadi subyek sengketa antara India dan Pakistan sejak tahun 1947.
Wilayah Gilgit-Baltistan yang beribukota di Muzaffarabad, saat ini merupakan wilayah mayoritas Kashmir yang diduduki Pakistan.
Kriti M. Shah, seorang peneliti di India dan Pakistan, mencatat kurangnya status resmi Gilgit-Baltistan dalam konstitusi Pakistan.
Advertisement
Isu Pelanggaran Hak
Kebijakan pemerintah Pakistan dianggap melanggar hak warga Gilgit-Baltistan seperti eksploitasi ekonomi, sengaja menciptakan ketegangan etnis dan sektarian, serta memaksakan perubahan demografi.
Gilgit Baltistan bahkan tidak memiliki pemerintahan sendiri. Berbeda dengan bagian lain dari PoJK (Jammu Kashmir yang diduduki Pakistan), Gilgit Baltistan terus diperintah oleh pemerintah federal Pakistan.
Gilgit-Baltistan secara historis terdiri dari kelompok etnis dan sektarian yang saat ini menjadi minoritas di Pakistan. Mereka adalah Muslim Syiah, Ismaili, dan Noor Bakshi.
Sejak didirikan pada tahun 1947, tindakan Pakistan telah menyebabkan ketidakstabilan, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan di wilayah tersebut.