Sukses

10 Juli 2017: Kemenangan Militer Irak Vs ISIS di Mosul

Saat PM Irak Haider Al-Abadi menginjakkan kaki di Mosul, perayaan menyambut kemenangan dari ISIS ini dilakukan di beberapa sudut jalan.

Liputan6.com, Mosul - Sejarah hari ini mencatat bahwa militer negara Irak berhasil mengalahkan kelompok teror ISIS.

"Kemenangan sudah pasti kita rebut, mereka (ISIS) memang masih ada yang tersisa. Ini hanya masalah waktu untuk kita mengumumkan kemenangan besar bagi rakyat kita," sebut Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi seperti dikutip dari BBC, Senin 10 Juli 2017.

Saat Abadi menginjakkan kaki di Mosul, perayaan menyambut kemenangan ini dilakukan di beberapa sudut jalan.

Meski sudah ada perayaan, PM Al-Abadi belum mengumumkan kemenangan lewat pidato resmi. Hal ini mengingat ada sejumlah kecil wilayah di Mosul yang masih dikuasai antek ISIS.

"Kota sudah dibebaskan, cuma ada satu atau dua kantong yang masih dikontrol oleh ISIS," sebut keterangan resmi kantor PM Irak.

Kantor PM menyatakan, pidato kemenangan resmi akan disampaikan jika seluruh kota sudah dikuasai pemerintah Irak.

Mereka yakin, kemenangan penuh itu bisa terwujud dalam waktu dekat. Sebab, hanya daerah kecil yang dekat Sungai Tigris yang masih dikuasai ISIS.

Demi merebut daerah tersebut, serangan udara dan tembakan terus mereka lanjutkan. Akibatnya, masih terlihat gumpalan asap hitam di langit Kota Mosul.

Direbutnya Mosul merupakan kekalahan terbesar ISIS. Mereka sempat menguasai kota itu selama tiga tahun.

PM Abadi kemudian mengibarkan bendera nasional dengan pasukan setelah mengumumkan "runtuhnya negara teroris palsu". Sebelumnya, bentrokan dilaporkan terjadi di sebagian kecil Kota Tua di mana beberapa lusin aktivis ISIS bertahan.

Abadi membuat deklarasi kemenangan di ruang operasi Layanan Kontra-Terorisme, yang pasukan elitnya adalah yang pertama memasuki Mosul pada November 2016.

Menggunakan istilah merendahkan untuk ISIS berdasarkan akronim bahasa Arab dari nama sebelumnya, dia berkata: "Saya mengumumkan dari sini akhir dan kegagalan dan runtuhnya terrorist state of falsehood and terrorism (mengacu pada sebutan Islamic State (IS) yang berarti Negara Islam dalam bahasa Arab Daesh), negara teroris kepalsuan dan terorisme, seperti yang diumumkan teroris Daesh dari Mosul kala merebut wilayah itu.

Tentara Irak tidak seorang diri merebut Mosul. Serangan udara koalisi AS menjadi faktor utama kemenangan tersebut.

Upaya perebutan Mosul dari ISIS dilakukan sejak Oktober 2016. Pada Januari lalu mereka berhasil merebut sisi timur Mosul.

Setelah nyaris sembilan bulan bertempur, akhirnya Mosul dapat direbut seluruhnya. Meski demikian, akibat perang yang sangat panjang, ribuan warga sipil jadi korban jiwa sementara satu juta lainnya mengungsi ke tempat aman.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Meski Menang Atas ISIS, Pertempuran Tentara Irak Terus Belanjut

Meski Irak telah berhasil merebut kembali kota Mosul dari cengkeraman ISIS, peperangan sejumlah titik di wilayah itu masih berlanjut.

Pertempuran masih terjadi di area pinggiran Mosul. Serangan udara koalisi ke target-target ISIS juga terus dilakukan.

Dilansir dari laman Voice of America, Selasa (11/7/2017), para tentara Irak menggambarkan pertempuran terakhir untuk merebut Mosul dari ISIS adalah yang paling brutal. 

Sementara itu, warga Mosul berkumpul, menyambut dengan suka cita kemenangan pasukan pemerintah yang berhasil merebut sebagian besar wilayah kota.

Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi belum secara resmi menyatakan kemenangan pihaknya atas Mosul. Meski demikian ia memberikan ucapan selamat pada para tentara atas kerja keras mereka.

"Kami sangat gembira bisa melihat kehidupan warga bisa kembali normal," kata dia dalam dalam pernyataan yang dirilis kantor perdana menteri, seperti dikutip dari CNB News, Senin (10/7/2017).

"Itu bisa terjadi berkat pengorbanan para pejuang yang heroik."

 

3 dari 4 halaman

Berkat Strategi Jitu Barrack Obama

Keberhasilan Irak untuk merebut kembali Mosul dari cengkeraman ISIS tak lepas dari strategi jitu Amerika Serikat, tepatnya presiden ke-44, Barack Obama.

Pemerintah AS di bawah komando Obama tak henti-henti melakukan serangan udara yang dikombinasikan dengan latihan dan pengarahan kepada pasukan proxy lokal untuk memenangkan misi tersebut.

Berkat hal tersebut, pejabat Pentagon menyampaikan bahwa upaya tersebut terlihat jelas. Pasukan Irak telah menjelma menjadi tentara yang tangguh.

Perwira militer senior Amerika Serikat yang dikirim ke Irak pada periode 2015-2016 mengatakan, pelatihan tersebut dapat dikatakan sukses. Berarti pasukan militer Irak sangat menguasai segala hal tentang wilayahnya dan bertekat kuat untuk menguasai negaranya kembali. Demikian dilansir dari laman News.com.au.

Di saat ISIS menyerang dan merebut wilayah Mosul pada 2014, pasukan Irak berada di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Nouri Al-Maliki dan dapat dikatakan upayanya masih lemah.

Kebanyakan dari mereka akan berbalik dan lari jika menghadapi musuh, tanpa melakukan perlawanan. Hal tersebut jelas merugikan karena senjata dan kendaraan yang disediakan AS akan tertinggal begitu saja.

"Namun situasi kini berbeda. Mereka menakjubkan. Bahkan pihak ISIS terkejut melihat perkembangan dan pergerakan cepat yang dilancarkan oleh tentara Irak," ujar perwira senior AS tersebut.

Begini Strategi Obama

Selain memerintahkan serangan udara, Obama juga menerapkan strategi yang dikenal di Pentagon sebagai "by, with and through" untuk melatih pasukan lokal.

Pada musim panas 2015, para penasihat pasukan koalisi mulai menginstruksikan rakyat Irak untuk melakukan perang konvensional--yaitu bertempur dengan kelompok-kelompok kecil, membangun pertahanan, dan sebagainya.

Pada akhir 2015-lah, warga Irak mulai menyerang ISIS, termasuk merebut kembali Ramadi.

Lantas, dalam bulan ini, pasukan koalisi pimpinan AS melatih sekitar 106.000 pasukan keamanan Irak, termasuk di antaranya, 40.000 tentara Irak, 15.000 polisi, 6.000 penjaga perbatasan, 21.000 pasukan Peshmerga Kurdi, 14.000 dari unit elite Layanan Kontra Terorisme, dan 9.500 lainnya merupakan "mobilisasi warga suku".

Korban tewas di pihak pasukan Irak mencapai ribuan. Namun, sejak operasi anti-ISIS dimulai di Irak dan Suriah pada 2014, hanya 11 tentara AS yang terbunuh.

Militer AS pun mencoba menerapkan strategi serupa yang diterapkan di Irak dan Suriah ke Afghanistan, menyusul bangkitnya kembali perlawanan Taliban.

Brian McKeon, seorang pejabat senior Pentagon, pada akhir pemerintahan Obama mengakui, strategi AS berhasil meski tidak secepat yang diharapkan. Pertempuran merebut Mosul sendiri dimulai pada 16 Oktober 2016.

"Sekali keputusan dibuat untuk bekerja dengan mitra melalui 'by, with and through' maka ini satu-satunya tunggangan yang harus kami tumpangi," kata McKeon.

Strategi mendukung tentara proxy akan menjadi semakin penting bagi AS karena Negeri Paman Sam tidak harus menerjunkan pasukan secara penuh.

Bagi John Spencer, seorang ilmuwan di Modern War Institute di West Point, pertempuran untuk Mosul adalah "studi kasus modern terbesar yang dapat meramalkan perang perkotaan seperti apa yang akan terjadi di masa depan".

"Ini adalah akhir dari skala di mana Anda membangun kekuatan tentara, polisi, dan pasukan kontra-terorisme yang mampu berperang dan Anda hanya mengirim beberapa ratus dari mereka dengan didukung serangan udara untuk membantu peperangan," kata Spencer.

Di Suriah, AS juga telah melatih pasukan aliansi Kurdi-Arab yang dikenal sebagai Pasukan Demokratik Suriah untuk menghadapi ISIS.

Pertarungan melawan ISIS memang belum berakhir sepenuhnya. Meski demikian, Brigadir Jenderal Kanada Dave Anderson yang mengawasi pelatihan pasukan lokal mengatakan, ia yakin pasukan Irak tidak akan menghadapi kekalahan seperti pada 2014.

"Seorang perwira senior Irak mengatakan kepada saya, 'Kami adalah masyarakat kuno dan sebuah negara baru: lahir pada tahun 2012, kami telah merasakan pengalaman berdiri di ambang kematian pada tahun 2014.' Itu adalah sebuah cara pandang yang sangat bagus untuk menatap ke depan," terang Anderson. 

4 dari 4 halaman

Perubahan Gerak Pasukan Irak di Bawah Pengawasan AS

Ketika ISIS menyerang dan merebut Mosul pada 2014, pasukan Irak yang berada di bawah Perdana Menteri Nouri al-Maliki masih "lemah". Kebanyakan dari mereka akan berbalik dan lari jika menghadapi musuh, tanpa melakukan perlawanan.

Hal tersebut jelas merugikan karena senjata dan kendaraan yang disediakan AS akan tertinggal begitu saja.

Namun, kini situasi berbeda. "Mereka menakjubkan. Bahkan, ISIS terkejut melihat betapa cepatnya pergerakan tentara Irak," ujar perwira senior AS tersebut.

Keterampilan yang mereka pelajari di bawah pengawasan AS sebelumnya, yakni pada 2008-2011, berpusat pada melawan sebuah pemberontakan--bukan menghentikan sebuah pergerakan musuh yang cepat.

"Kami membutuhkan tentara yang dapat bertarung secara konvensional," ungkap sang perwira.

Keputusan menggunakan ratusan tentara AS dan pakar militer Barat lainnya untuk melatih pasukan lokal sebagian besar berkaca pada Perang Irak. Setidaknya lebih dari 4.400 pasukan AS tewas dalam perang tersebut.

Publik AS sendiri tidak ingin Barack Obama mengirim pasukan tempur tambahan ke Irak.