Liputan6.com, Jakarta - Seperti yang saya sampaikan dalam pidato saya pada 26 Mei, Amerika Serikat dan para sekutu dan mitra Indo-Pasifik kami berkomitmen terhadap mempertahankan sistem yang memungkinkan barang, ide, dan manusia bergerak secara bebas melalui darat, udara, dunia maya, dan laut bebas.
Sistem seperti ini menguntungkan semua negara, baik kecil maupun besar. Menjaga Laut China Selatan yang bebas dan terbuka yang diatur oleh hukum internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi Tentang Hukum Laut 1982 (1982 Law of the Sea Convention), merupakan bagian dari visi bersama ini.
Advertisement
Baca Juga
Enam tahun yang lalu, Pengadilan Arbitrase yang dibentuk berdasarkan Konvensi Tentang Hukum Laut 1982 mengeluarkan putusan bulat, yang bersifat final dan mengikat bagi Filipina dan RRC.
Dalam putusannya, Pengadilan secara tegas menolak klaim maritim ekspansif RRC atas Laut China Selatan karena tidak berlandaskan hukum internasional.
Pengadilan juga menyatakan bahwa RRC tidak memiliki klaim berlandaskan hukum atas area-area yang ditetapkan oleh Pengadilan Arbitrase sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Filipina.
Tahun ini, Departemen Luar Negeri mengeluarkan Batas-Batas di Laut No. 150 (Limits in the Seas No. 150) yang merupakan edisi terbaru dari serangkaian studi tentang klaim maritim negara-negara pantai dan ketaatasasannya terhadap hukum internasional.
Ini mengkaji klaim maritim RRC atas Laut China Selatan yang mereka olah kembali setelah dikeluarkannya putusan pengadilan.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Klaim Maritim di Laut China Selatan
Studi ini menyimpulkan bahwa klaim-klaim maritim baru ini tetap jelas-jelas tidak mematuhi hukum internasional.
Amerika Serikat menegaskan kembali kebijakan 13 Juli 2020 terkait klaim-klaim maritim di Laut China Selatan.
Kami juga menegaskan kembali bahwa serangan bersenjata terhadap pasukan bersenjata, kendaraan umum, atau pesawat Filipina di Laut China Selatan akan mengaktifkan komitmen pertahanan bersama AS berdasarkan Pasal IV Pakta Pertahanan Bersama AS-Filipina 1951 (1951 U.S.-Philippines Mutual Defense Treaty).
Kami kembali menyerukan kepada RRC untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan meredam tindakan provokatifnya. Kami akan terus bekerja bersama para sekutu dan mitra kami, serta institusi regional seperti ASEAN, untuk melindungi dan menjaga tatanan berbasis aturan.
Advertisement
Menlu AS Antony Blinken Kunjungi Jepang
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tiba pada Senin (11 Juli) di Tokyo yang sebelumnya tidak dijadwalkan untuk menyampaikan belasungkawa secara langsung atas pembunuhan mantan perdana menteri Shinzo Abe.
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (11/7/2022), diplomat top AS itu mendarat di pangkalan militer Yokota dan akan melakukan perjalanan singkat ke ibu kota untuk menemui Perdana Menteri Fumio Kishida dan menyuarakan kesedihannya.
 Abe, perdana menteri terlama di Jepang yang mendukung hubungan pertahanan dan politik yang kuat dengan Amerika Serikat, ditembak mati selama penghentian kampanye dalam kejahatan senjata yang sangat langka di salah satu negara teraman di dunia.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya pergi ke kediaman duta besar Jepang untuk menandatangani buku belasungkawa.
Blinken memutuskan untuk singgah di Tokyo karena pernah berkunjung ke Asia Tenggara.
Dalam kunjungannya pada hari Minggu di Thailand, Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai membuka pembicaraan dengan Blinken dengan mengheningkan cipta untuk Abe.
"Saya pikir semua orang masih shock dengan pembunuhannya, shock kehilangan keluarganya, teman-temannya dan dunia," kata Blinken kepada rekan Thailand-nya.
"Saya tahu itu sangat terasa di seluruh kawasan dan juga di seluruh dunia."
Indonesia Rangkul AS Antisipasi Sengketa Laut China Selatan
Indonesia, seperti negara-negara besar Asia Tenggara lainnya, turut meningkatkan hubungan militernya dengan Amerika Serikat (AS) di tengah meningkatnya tekanan China di Laut China Selatan yang sedang disengketakan, kata para analis.
Pada Desember 2021, Beijing menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas di utara Kepulauan Natuna yang terletak di bagian paling selatan Laut Cina Selatan. Pemerintah Indonesia menyebut wilayah tersebut sebagai Laut Natuna Utara.
Menurut Inisiatif Transparansi Maritim Asia yang berbasis di AS, pada Juli dan Agustus, kapal penjaga pantai China berpatroli di lokasi pengeboran yang dilakukan pihak Indonesia di dekat pulau-pulau tersebut. Sebuah kapal survei China bahkan melakukan survei dasar laut di zona ekonomi eksklusif Indonesia.
China menyebut sekitar 90 persen dari laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu sebagai teritorinya, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (25/4/2022).
Beijing menggunakan catatan historis sebagai dasar pengklaiman tersebut. Empat negara Asia Tenggara lainnya dan Taiwan menentang semua atau sebagian dari klaim China. Mereka semua menghargai kegiatan yang dilakukan di wilayah itu, baik untuk minyak, gas alam, jalur pelayaran, dan perikanan.
Advertisement