Liputan6.com, Beijing - Dilraba Dilmurat adalah aktris terkenal China yang memiliki keturunan etnis Uyghur. Aktris milenial kelahiran 3 Juni 1992 itu sedang naik daun berkat perannya di serial televisi Legend of Anle.
Menurut South China Morning Post, Jumat (15/7/2022), Dilraba Dilmurat lulus dari Shanghai Theatre Academy, dan memulai debut televisi pada drama berjudul Anarhan. Dilraba ditemukan oleh aktris terkenal Yang Mi yang kemudian mengajak aktris muda itu agar bergabung ke agensinya.
Advertisement
Baca Juga
Popularitas Dilraba Dilmurat terus meningkat. Statista pernah melaporkan bahwa Dilraba adalah seleb terkenal nomor dua di Douyin (TikTok) karena memiliki 55,6 juta follower.
Meski Dilraba adalah keturunan Uyghur, itu bukan berarti ia dapat protes ke pemerintahan China atas kebijakan di Xinjiang. Selama beberapa tahun terakhir, China dikritik atas tuduhan pelanggaran HAM kepada Muslim Uyghur.
Pada 2019, brand-brand terkenal dari Barat kompak ogah menggunakan kapas dari Xinjiang, sebab diduga dipanen dari hasil kerja paksa warga Uyghur. Langkah itu memicu respons dari seleb China yang ikut memutuskan kontrak dengan brand Barat yang dianggap melecehkan China.
Contohnya, Zhang Yixing (Lay) yang membatalkan kontrak dengan Converse. Victoria Song membatalkan kontrak dengan H&M. Aktris Yang Mi juga putus kontrak dengan Versace. Agensi Dilraba juga mengumumkan pemutusan kontrak dengan Adidas.
CNN International menyebut ada para seleb yang senang mendukung pemerintah China, meski ada juga yang melakukan hal tersebut karena tekanan publik.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
AS Akan Blokir Impor dari Xinjiang China
Sebelumnya dilaporkan, Kementerian Luar Negeri China pada Kamis (2/6) menanggapi dengan marah pengumuman bahwa akhir bulan ini pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan mulai memberlakukan undang-undang baru yang melarang impor produk-produk buatan tenaga kerja paksa di provinsi Xinjiang ke Amerika Serikat.
Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA), yang ditandatangani Biden pada Desember lalu, mulai berlaku pada 21 Juni mendatang. Di bawah undang-undang tersebut, badan Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai AS akan memperlakukan barang apa pun yang dibuat di Xinjiang, baik seluruhnya atau sebagian, sebagai produk kerja paksa, kecuali jika importir bisa menunjukkan “bukti yang jelas dan meyakinkan” bahwa barang itu bukan produk kerja paksa.
Undang-undang itu disahkan dengan dukungan bipartisan yang kuat, seiring bergabungnya para anggota Kongres AS dari kedua partai untuk mengutuk perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (4/6).
Amerika, Kanada, Inggris, Belanda dan berbagai kelompok hak asasi manusia menuduh China melakukan genosida terhadap warga Uighur, dengan rezim yang mencakup aksi pemenjaraan massal dan kerja paksa, pendirian kamp “pendidikan ulang” besar-besaran, sterilisasi paksa, pengawasan secara menyeluruh terhadap warga Uighur, serta pemisahan anak-anak dari keluarga mereka.
China sendiri telah membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan tegas. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Kamis (2/6) mengulangi bantahan tersebut sambil mengutuk pengumuman AS bahwa UFLPA akan segera berlaku.
“Kami telah berulang kali menegur kebohongan-kebohongan AS terkait Xinjiang,” ungkapnya dalam konferensi pers. “Apa yang disebut sebagai Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur yang mengabaikan fakta itu, dengan jahat menodai kondisi HAM di Xinjiang, China, sangat mencampuri urusan dalam negeri China, sangat melanggar hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional, serta melanggar aturan pasar dan etika dagang.”
Advertisement
Peringatan dari China
Zhao memperingatkan konsekuensi mengerikan yang akan dikenakan menyusul diberlakukannya undang-undang tersebut.
“Apabila diberlakukan, undang-undang itu akan secara serius mengganggu kerja sama normal antara para pengusaha China dan Amerika, merusak stabilitas rantai pasokan global, dan pada akhirnya merugikan kepentingan AS sendiri,” katanya.
“Kami mendesak AS untuk menahan diri agar tidak memberlakukan undang-undang itu, berhenti menggunakan isu terkait Xinjiang untuk mencampuri urusan dalam negeri China dan menahan perkembangan China. Apabila AS tetap bertekad melakukannya, maka China akan mengambil tindakan tegas untuk membela kepentingan dan martabatnya sendiri dengan tegas.”
Belum jelas seperti apa tanggapan China nantinya, namun sudah tentu akan muncul reaksi, kata Marcus Noland, wakil presiden eksekutif dan direktur studi di Peterson Institute for International Economics.
Sebelumnya, kata Noland, China pernah menggunakan sanksi “anti-dumping” untuk membalas apa yang dianggapnya sebagai penghinaan politik. Misalnya, negara itu memberlakukan sanksi terhadap jelai, daging sapi dan anggur Australia setelah negeri Kangguru menyerukan penyelidikan atas asal-muasal COVID-19 di wilayah China daratan.
Beijing juga membatasi impor salmon Norwegia setelah Komite Nobel memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada tokoh pembangkang China, Liu Xiao Bao.
Dugaan Pelanggaran HAM di Uighur, Ini Tanggapan Jerman
Jerman prihatin dengan situasi hak asasi manusia di wilayah Xinjiang China, juru bicara pemerintah mengatakan pada Rabu (25/5), mendesak China untuk transparan tentang perkembangan di provinsi tersebut.
Negara-negara Barat dan kelompok hak asasi menuduh pihak berwenang Xinjiang menahan dan menyiksa orang Uighur dan minoritas lainnya di kamp-kamp.
Beijing membantah tuduhan itu dan menggambarkan kamp-kamp itu sebagai fasilitas pelatihan kejuruan untuk memerangi ekstremisme agama, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (26/5/2022).
Kebijakan China Berlin "sedang dikembangkan," kata juru bicara itu dalam konferensi pers reguler pemerintah.
"Sejauh menyangkut situasi di Xinjiang, saya dapat mengatakan pada prinsipnya bahwa pemerintah federal - dan di sini kami setuju dengan mitra UE kami - terus melihat perkembangan situasi hak asasi manusia di provinsi itu dengan sangat prihatin," juru bicara itu menambahkan, mendesak Beijing untuk memastikan transparansi tentang perkembangan di provinsi tersebut.
Setelah laporan media baru tentang pelanggaran hak asasi manusia di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, menteri ekonomi Jerman mengatakan pada Selasa lalu bahwa Berlin mengubah cara menangani China dan akan memberikan prioritas yang lebih tinggi pada masalah hak asasi manusia.
Kementerian luar negeri China menanggapi pada Rabu (25/5), mengatakan bahwa Beijing dengan tegas menentang upaya menggunakan disinformasi dan kebohongan untuk menodai China.
BBC, Der Spiegel dan platform media lainnya pada hari Selasa mengatakan, mereka memiliki cache data yang sangat besar yang mengungkapkan secara rinci belum pernah terjadi sebelumnya penggunaan China dari apa yang disebut kamp "pendidikan ulang" dan penjara formal sebagai dua sistem massa yang terpisah tetapi terkait.
Juru bicara pemerintah Jerman mengatakan, Berlin akan "mengevaluasi lebih detail" laporan tersebut.
Advertisement