Sukses

Kabinet Jepang Rencanakan Pemakaman Kenegaraan untuk Shinzo Abe hingga Tuai Pro-Kontra

Kabinet Jepang tengah merencanakan acara pemakaman kenegaraan bagi Shinzo Abe.

Jakarta - Kabinet Jepang pada hari Jumat (22/7) secara resmi memutuskan untuk menggelar pemakaman kenegaraan pada tanggal 27 September bagi mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang tewas dibunuh, di tengah perdebatan nasional terkait rencana yang disebut beberapa pihak sebagai upaya mengglorifikasi tokoh politik yang memecah belah.

Dikutip VOA Indonesia, Minggu (24/7/2022), Abe ditembak awal Juli saat berpidato kampanye di Kota Nara. Penembakan itu mengejutkan negeri yang dikenal aman dan memiliki kontrol senjata yang ketat.

Pelaku langsung ditangkap setelah menembak Abe dan ditahan untuk diinterogasi karena pihak berwenang berusaha untuk secara resmi mendakwa pelaku dalam kasus pembunuhan.

Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan, pemakaman kenegaraan sudah sepantasnya dilakukan karena “kontribusi istimewa” Abe sebagai pemimpin Jepang yang terlama dan “kepemimpinannya yang luar biasa serta ketegasannya” dalam berbagai bidang, termasuk pemulihan ekonomi, promosi diplomasi yang berpusat pada aliansi Jepang-AS serta rekonstruksi pascatsunami 2011.

Matsuno mengatakan, pemakaman akan dilakukan dalam bentuk upcara non-keagamaan yang dilakukan di Nipon Budokan, sebuah arena yang awalnya dibangun untuk Olimpiade Tokyo 1964 dan kini populer sebagai tempat berolahraga, menggelar konser maupun acara kebudayaan.

Perdana Menteri Fumio Kishida pekan lalu mengumumkan rencana pemakaman kenegaraan, yang dipandang sebagian pihak sebagai cara untuk menstabilkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan menyenangkan kaum ultra-konservatif yang mendukung Abe, yang memimpin sayap partai terbesar.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Tuai Berbagai Reaksi

Rencana itu disambut beragam di kalangan pemimpin oposisi dan masyarakat.

Beberapa menentang penggunaan uang pajak untuk pemakaman itu, sementara lainnya mengkritik partai pemerintahan Kishida yang mempolitisasi kematian Abe untuk mengkultuskannya dan berupaya mengakhiri perdebatan tentang warisannya yang amat memecah belah, termasuk kebijakan diplomatik dan kemanannya yang agresif dan sikap revisionisnya tentang sejarah masa perang.

Pada hari Kamis, salah satu kelompok sipil yang menentang rencana pemakaman kenegaraan mengajukan permohonan perintah yang meminta Pengadilan Distrik Tokyo untuk menangguhkan keputusan kabinet dan anggaran untuk acara tersebut, dengan mengatakan bahwa pemakaman yang disponsori negara tanpa persetujuan parlemen melanggar hak konstitusional bebas berkeyakinan.

Puluhan pengunjuk rasa berdiri di luar gedung kantor perdana menteri hari Jumat untuk menentang keputusan kabinet. Salah seorang pemimpin pihak oposisi, Mizuho Fukushima, mengatakan bahwa keputusan itu tidak didasarkan pada konsensus publik, tidak memiliki dasar hukum dan harus dibatalkan.

Pemakaman pribadi Abe sudah lebih dulu diadakan di kuil Tokyo dan dihadiri oleh sekitar 1.000 pelayat, termasuk anggota parlemen, pemimpin bisnis, dan lainnya.

Pembunuhan Abe menyoroti hubungan ia dan partainya yang dipertanyakan selama puluhan tahun dengan Gereja Unifikasi.

Tersangka penembakan, Tetsuya Yamagami, 41 tahun, telah memberi tahu polisi alasannya membunuh Abe karena kaitannya dengan kelompok keagamaan yang dibencinya. Pernyataannya dan bukti-bukti lain menunjukkan bahwa tersangka tertekan karena sumbangan besar ibunya ke gereja itu telah membuat keluarganya bangkrut. 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Kasus Penembakan di Jepang Sangat Jarang Terjadi

Jepang, negara berpenduduk 127 juta orang dengan kematian tahunan akibat senjata api jarang berjumlah lebih dari 10, adalah salah satu negara tersebut.

"Sejak senjata masuk ke negara itu, Jepang selalu memiliki undang-undang senjata yang ketat," Iain Overton, direktur eksekutif Action on Armed Violence, sebuah kelompok advokasi Inggris, mengatakan kepada BBC

"Mereka adalah negara pertama yang memberlakukan undang-undang senjata di seluruh dunia, dan saya pikir itu meletakkan dasar yang mengatakan bahwa senjata benar-benar tidak berperan dalam masyarakat sipil."

Namun kemudian, insiden penembakan justru menimpa mantan PM Shinzo Abe hingga menyebabkan ia tak sadarkan diri. 

Insiden kekerasan senjata jarang terjadi di Jepang, di mana senjata api dilarang.

4 dari 4 halaman

Negara Penuh Aturan

Keberhasilan Jepang dalam membatasi kematian akibat senjata terkait erat dengan sejarahnya. Setelah Perang Dunia II, pasifisme muncul sebagai salah satu filosofi dominan di negara ini. 

Polisi baru mulai membawa senjata api setelah pasukan Amerika membuatnya, pada tahun 1946, demi keamanan. Itu juga tertulis dalam hukum Jepang , pada tahun 1958, bahwa "tidak ada orang yang boleh memiliki senjata api atau senjata api atau pedang."

Pemerintah telah melonggarkan undang-undang tersebut, tetapi fakta bahwa Jepang memberlakukan kontrol senjata dari sikap pelarangan adalah penting. (Ini juga salah satu faktor utama yang memisahkan Jepang dari AS, di mana Amandemen Kedua secara luas mengizinkan orang untuk memiliki senjata.)

Jika warga Jepang ingin memiliki senjata, mereka harus menghadiri kelas sepanjang hari, lulus tes tertulis, dan mencapai setidaknya 95% akurasi selama tes jarak tembak.

Kemudian mereka harus lulus evaluasi kesehatan mental, yang dilakukan di rumah sakit, dan lulus pemeriksaan latar belakang, di mana pemerintah menggali catatan kriminal mereka dan mewawancarai teman dan keluarga.

Mereka hanya bisa membeli senapan dan senapan angin, bukan pistol dan setiap tiga tahun mereka harus mengulang kelas dan ujian awal.