Liputan6.com, Washington, DC - Kasus COVID-19 di dunia kembali naik lagi. Sub-varian BA.5 dari Omicron dituding menjadi penyebabnya karena bisa menular lebih cepat.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden diduga kuat terkena BA.5. Dokter kepresidenan AS berkata kondisi Presiden Biden sudah berangur pulih. Wakil Presiden AS Kamala Harris juga pernah terkena COVID-19 pada April 2022. Setelah Presiden Biden terinfeksi, Wapres Harris sudah melakukan tes dan hasilnya negatif.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan data Johns Hopkins University, Selasa (26/7/2022), berikut 10 negara dan wilayah dengan kasus baru tertinggi dalam 28 hari terakhir, serta total kasus selama pandemi:
1. Amerika Serikat: 3,3 juta kasus baru (total 90,5 juta)
2. Prancis: 2,9 juta kasus baru (total 33,7 juta)
3. Jerman: 2,5 juta kasus baru (total 30,4 juta)
4. Italia: 2,4 juta kasus baru (total 20,6 juta)
5. Jepang: 2,1 juta kasus baru (total 11,4 juta)
6. Brasil: 1,5 juta kasus baru (total 33,6 juta)
7. Australia: 1,1 juta kasus baru (total 9,1 juta)
8. Korea Selatan: 918 ribu kasus baru (total 19,3 juta)
9. Taiwan: 817 ribu kasus baru (total 4,4 juta)
10. Meksiko: 661 ribu kasus baru (total 6,6 juta)
Kasus baru terbanyak di Asia Tenggara berada di Singapura dengan total 250 ribu kasus dalam 28 hari terakhir.
Lonjakan kasus mingguan COVID-19 di dunia kini sudah setara seperti awal 2022 ketika kasus melonjak. Aturan masker sudah kembali diterapkan lagi sejumlah tempat di Amerika Serikat.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akibat Jika Tak Ambil Pelajaran dari Bolak-baliknya Gelombang COVID-19
Ahli epidemiologi sekaligus peneliti global security Dicky Budiman menyampaikan bahwa jika Indonesia bolak-balik menghadapi beragam gelombang COVID-19 tanpa mengambil pelajaran maka bisa timbul krisis berkelanjutan.
“Kalau kita tidak mengambil pelajaran, tidak mengubah perilaku, dan menganggap ini adalah sesuatu yang akan berlalu begitu saja, itulah yang akan menimbulkan krisis berkelanjutan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Kamis (21/7).
Krisis yang dimaksud bukan berhenti di masalah pandemi atau penyakitnya, tapi akan terjadi kerusakan yang berkelanjutan dan tersebar di banyak sektor.
“Dan ini yang akan membuat dunia mengalami krisis. Krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik. Tidak main-main, dan itu yang dikhawatirkan oleh para peneliti global security dan inilah yang sebetulnya saat ini sedang dihadapi dunia.”
“Banyak negara di sebagian besar dunia tidak mengambil pelajaran dari situasi ini. Sehingga yang tadinya masa krisis ini sudah di ambang akhir, mundur lagi, walaupun tidak mundur jauh ke belakang. Namun, ini membuat ketahanan nasional atau berbagai bangsa terancam," jelasnya.
Advertisement
Akibat Tidak Konsisten
Setiap negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam bertahan di situasi krisis dan ini dampaknya sangat serius. Ini bukan hal yang baru di dunia, yang namanya dampak pandemi bisa menyebabkan runtuhnya suatu pemerintahan, lanjutnya.
“Pandemi bahkan bisa menyebabkan evolusi budaya dan lain sebagainya, bisa juga menyebabkan krisis ekonomi yang berdampak secara berkelanjutan.”
Untuk itu, dalam penanganan pandemi, yang dilihat bukan hanya tujuan jangka pendek tapi juga jangka panjang.
“Inilah hal yang betul-betul harus diperhatikan, disadari dan dibangun literasinya di semua sektor. Bukan hanya masyarakat, pemerintah juga belum memahami, saya melihat banyak pemerintahan yang belum melihat aspek keseriusan.”
“Ini terbukti dari naik turunnya respons kita, tidak konsisten, bahkan kadang cenderung terlalu optimis. Nah ini yang membuat pandemi menjadi endemi atau epidemi kemungkinannya ada tapi kapannya itu enggak dalam waktu dekat, masih lama.”
Hal ini pula yang membuat Dicky selalu mengingatkan bahwa COVID-19 belum usai. Terutama ketika ada hal-hal baru terkait penanganan wabah seperti obat antivirus.
Misalnya, belum lama ini obat COVID-19 Paxlovid mengantongi izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Bukan Berarti Pandemi Usai
Meski begitu, Dicky mengingatkan bahwa diizinkannya penggunaan obat COVID-19 ini bukan berarti pandemi dan masalah selesai.
“Dengan diizinkannya terapi Paxlovid oleh BPOM, bukan berarti pandemi selesai dan masalah selesai,” kata Dicky.
Ia menambahkan, vaksinasi tetap menjadi salah satu hal penting dan menjadi dasar utama untuk membangun proteksi tubuh selain masker dan protokol kesehatan lainnya.
“Satu-satunya cara pasti untuk bertahan dalam situasi pandemi COVID bukanlah dengan terinfeksi COVID (untuk dapat kekebalan ekstra) tapi dengan cara vaksinasi 3 dosis, masker, jaga jarak, dan perbaikan kualitas udara.”
Di sisi lain, Paxlovid sendiri memiliki kelemahan-kelemahan yang belum bisa dipastikan. Salah satunya potensi gejala kembali muncul setelah 2 minggu terapi. Paxlovid sendiri terapinya 5 hari, satu hari 2 kali minum dengan 3 tablet setiap minum. Totalnya 30 tablet harus diminum selama terapi. Terapi Paxlovid semakin tak mudah lantaran rasanya yang tidak enak dan cenderung seperti rasa logam.
“Ini tidak mudah karena rasa dari obat ini kayak logam yang tidak disukai pasien.”
Advertisement