Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Haimanin, mengungkapkan rasa kesalnya terhadap Rusia. Ia menyebut perjanjian dengan Rusia tidak ada artinya.Â
Dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/7/2022), Dubes Ukraina menyorot perjanjian gandum yang dibuat secara terpisah antara Ukraina dan Rusia. Perjanjian itu melibatkan PBB dan Turki agar pengiriman gandum Ukraina bisa lancar.Â
Baca Juga
Pihak Ukraina menolak satu perjanjian karena menyebut percuma melakukan janji dengan Rusia.Â
Advertisement
"Jawabannya sederhana: Ukraina tidak akan menandatangani perjanjian apapun dengan Federasi Rusia sebelum mereka menarik mundur pasukannya," ujar Dubes Ukraina. Alternatif lain adalah sampai Rusia kalah.
"Dokumen-dokumen yang ditandatangani oleh Federasi Rusia tak pantas ditulis di kertas. Perjanjian dengan Rusia bahkan tidak pantas ditulis di tisu toilet. Jadi kita tidak akan menandatangani apapun dengan mereka," kata Dubes Ukraina.
Lebih lanjut, Dubes Ukraina berkata yang bertanggung jawab atas perjanjian itu adalah Sekjen PBB Antonio Guterres dan Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan. Ukraina dan Rusia adalah mitra dagang yang penting bagi perekonomian Turki.Â
Dubes Ukraina menyebut rezim Rusia sebagai rezim fasis. Ke depannya, Dubes Ukraina menyebut negaranya akan berusaha membebaskan daerah-daerah yang diduduki Rusia, termasuk dengan Krimea yang direbut Rusia pada 2014.Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Komisi Eropa Sebut Rusia Langgar Janji Lama
Sebelumnya dilaporkan, Komisioner Anggaran di Komisi Eropa, Johannes Hahn, bercerita bagaimana Ukraina punya senjata nuklir hingga tahun 1990-an usai merdeka dari Uni Soviet. Namun, Ukraina melucuti senjata nuklir mereka dengan syarat Rusia tidak menyerang.Â
"Ketika baru merdeka, Ukraina menyerahkan senjata nuklirnya, sebagai gantinya Rusia tidak akan menyerang," ujar Johannes Hahn saat berkunjung ke Jakarta kepada Liputan6.com, Jumat (22/7/2022).
Namun, kini Rusia ingkar janji.Â
Hahn lantas ragu-ragu bahwa Rusia akan berani menyerang Ukraina apabila negara tersebut masih memiliki senjata nuklir.Â
Janji Tinggal Janji
Cerita dari Hahn mengacu pada perjanjian pada pertengahan 1993: Massandra Accords. Berkat hasil perjanjian Massandra, Ukraina pada 1994 sepakat menyerahkan hulu ledak (warhead) nuklir mereka kepada Rusia untuk dilucuti.
Situs Arms Control Association menyebut bahwa usai merdeka dari Soviet pada 1991, Ukraina memiliki persenjataan nuklir nomor tiga terbesar di dunia, termasuk 176 rudal interkontinental.Â
Syarat dari Massandra Accords adalah jaminan keamanan dan ekonomi dari Amerika Serikat dan Rusia.
Pada akhir tahun 1994, ada lagi perjanjian bahwa Ukraina akan menjadi negara non-nuklir dan memusnahkan senjata nuklirnya. Hal itu dibahas di General Assembly Security Council.
Rusia pun ikut berjanji untuk menghormati kemerdekaan dan kedaulatan perbatasan Ukraina. Rusia juga berjanji tidak akan menyerang kedaulatan wilayah dan politik Ukraina.Â
Ironisnya, sosok yang tanda tangan untuk pihak Rusia saat itu adalah Sergey Lavrov. Ia kini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Rusia dan mendukung invasi.
Â
Baca wawancara lengkap dengan Johannes Hahn
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Rusia Berniat Rebut Lebih Banyak Wilayah Ukraina
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov secara terbuka membahas niatnya untuk merebut lebih banyak wilayah Ukraina. Sebelumnya, narasi Rusia adalah menyerang Ukraina karena masalah NATO.Â
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (21/7), Moskow ingin merebut lebih banyak teritori di Ukraina selatan, melampaui kawasan Donbas di mana pasukannya kini sedang bertempur dengan pasukan Ukraina untuk menguasai wilayah itu.Â
Rusia gagal dalam tahap-tahap dini ofensifnya yang sudah berlangsung lima bulan untuk menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy atau menguasai ibu kota Kyiv di Ukraina utara.
Namun, Sergey Lavrov mengatakan dalam wawancara baru dengan media pemerintah bahwa Rusia tidak lagi merasa mendapat perlawanan dalam bertempur di Donbas di mana separatis Rusia telah bertempur melawan pasukan Kyiv sejak 2014 ketika Rusia merebut Semenanjung Krimea.
Rusia ingin merebut lebih banyak teritori di Ukraina selatan, melampaui kawasan Donbas di mana pasukannya kini sedang bertempur dengan pasukan Ukraina untuk menguasai wilayah itu.
Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat curiga Rusia akan melakukan referendum untuk menjustifikasi pengambilan wilayah Ukraina. Ini serupa ketika Rusia merebut Krimea pada 2014.
Dilansir BBC, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby berkata Rusia sudah menyiapkan dasar untuk aneksasi. Wilayah-wilayah Ukrana yang sedang diduduki Rusia bisa mengadakan referendum tipu-tipu pada paling cepat bulan September 2022.
"Tidak akan ada yang dibodohkan oleh hal tersebut," ujar John Kirby. "(Rusia) memakai lagi aturan main dari 2014."
Wilayah Ukraina yang Ditargetkan Rusia
Area-area Ukraina yang ditarget adalah Kherson, Zaporizhzhia, Donetsk dan Luhansk. Pasukan Rusia telah menguasai Luhansk.
John Kirby berkata mengungkap niat ini ke rakyat Amerika Serikat dan dunia agar mengetahui bahwa potensi aneksasi tersebut adalah ilegal dan tidak sah.
Hingga kini, Rusia masih menguasai Krimea, meski tidak diakui dunia internasional. Pada tahun 2014, perebutan Krimea berjalan lancar tanpa resistensi dari Ukraina, berbeda dari invasi 2022 yang mendapat perlawanan keras.
Pihak Rusia berkata mayoritas rakyat Krimea ingin bergabung ke Rusia, meski pemilih pro-Ukraina protes karena referendum dianggap tidak jurdil.Â
Kirby turut menyebut bahwa Rusia mengangkat pejabat-pejabat pro Rusia untuk mengendalikan wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki agar bisa mengorganisir referendum. Hasil referendum nantinya digunakan sebagai klaim terhadap kedaulatan wilayah Ukraina.
Advertisement