Sukses

Dokumen Ajuan ke PBB Sebut Indonesia Khawatir Soal Teknologi Kapal Selam Nuklir

Indonesia dikabarkan mengeluarkan peringatan keras tentang bahaya dari teknologi nuklir sebagai bahan penggerak menjelang pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

, Canberra - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam waktu dekat bakal menggelar pertemuan tingkat tinggi. Sebuah perheltan yang diperkirakan akan membahas rencana Australia untuk mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir di bawah pakta AUKUS antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Indonesia dikabarkan mengeluarkan peringatan keras tentang bahaya dari teknologi nuklir sebagai bahan penggerak menjelang acara tersebut.

Mengutip ABC Australia, Minggu (31/7/2022), dalam pengajuan untuk tinjauan PBB bulan depan tentang perjanjian non-proliferasi nuklir, Pemerintah Indonesia dikabarkan mengatakan pihaknya "mencatat dengan khawatir adanya konsekuensi potensial" jika mentransfer teknologi nuklir ke kapal selam dapat berdampak pada tatanan global.

Dokumen yang dikeluarkan Indonesia itu, disebutkan tidak secara langsung merujuk Australia dan perwakilan Indonesia sudah menegaskan hal ini bukan sebuah tanggapan langsung terhadap pakta AUKUS. Namun, Pemerintah Indonesia berulang kali menyampaikan kegelisahan kapal selam berteknologi nuklir milik Australia.

Dokumen yang diajukan ke PBB mengulangi beberapa argumen yang juga pernah dipakai oleh mereka yang menentang kapal selam nuklir Australia.

Tertulis dalam dokumen tersebut jika "Indonesia menilai setiap kerja sama yang melibatkan transfer bahan dan teknologi nuklir untuk tujuan militer dari negara-negara pemilik senjata nuklir ke negara-negara non-senjata nuklir akan meningkatkan risiko yang berhubungan dengan konsekuensi bencana kemanusiaan dan lingkungan."

Melakukan transfer uranium yang diperkaya untuk kapal selam bertenaga nuklir diizinkan berdasarkan perjanjian non-proliferasi nuklir dan Australia telah berulang kali mengatakan tidak berniat mengembangkan senjata nuklir.

Namun dalam dokumen yang diajukan ke PBB tersebut Indonesia memperingatkan pengecualian penggunaan nuklir yang berhubungan dengan angkatan laut dalam perjanjian "bisa dimanfaatkan untuk mengalihkan materi itu ke program senjata nuklir."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

2 dari 4 halaman

Menutup Jalur Proliferasi

Benjamin Zala dari Australian National University mengatakan kekhawatiran yang diangkat oleh Indonesia "menggemakan kegelisahan umum di antara pendukung non-proliferasi tentang preseden yang ditetapkan oleh proyek kapal selam AUKUS."

"Lebih banyak negara yang memiliki akses ke bahan-bahan yang, pada prinsipnya, dapat digunakan untuk senjata adalah berita buruk bagi tatanan non-proliferasi yang sudah rapuh. Materi di atas kapal selam sangat menantang untuk dilacak oleh IAEA," katanya kepada ABC.

Dr Zala mengatakan tidak ada bukti bahwa Indonesia menduga Australia benar-benar akan mengalihkan bahan nuklir dari kapal selam menjadi program persenjataan, tetapi Pemerintah Indonesia tampaknya khawatir AUKUS dapat menjadi preseden yang memprihatinkan.

"Belum tentu perhatian Indonesia adalah tentang Australia atau niat Australia, tetapi tentang bagaimana hal ini bisa melemahkan upaya internasional untuk menutup jalur proliferasi," katanya.

ABC tengah mencoba menghubungi Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk memberikan komentar.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Australia dan AUKUS Target Utama Pengajuan Keberatan Indonesia di PBB?

Dalam laporan Fairfax yang mengutip Achsanul Habib, direktur keamanan internasional dan perlucutan senjata di Kementerian Luar Negeri RI, dikatakan bahwa dokumen Indonesia di PBB "sama sekali tidak dimaksudkan untuk menanggapi AUKUS".

"Kertas kerja Indonesia itu diajukan untuk mengisi gap regulasi NPT terkait propulsi nuklir angkatan laut yang masih kurang regulasinya," ujarnya.

Namun, Dr Zala mengatakan sangat jelas terlihat jika Australia dan AUKUS menjadi target utama pengajuan keberatan Indonesia.

"Tidak diragukan lagi dokumen dari delegasi Indonesia merupakan konsekuensi langsung dari keputusan AUKUS," katanya. "Secara hipotetis, kekhawatiran ini telah ada untuk waktu yang lama dan biasanya Australia membagikannya, tetapi Indonesia sekarang meningkatkannya karena Australia berencana menjadi negara pertama yang benar-benar mengeksploitasi celah ini di NPT."

 

4 dari 4 halaman

Potensi Ketegangan Hubungan Indonesia dan Australia

China sudah mengisyaratkan mereka akan menggunakan pertemuan bulan depan untuk menggalang penolakan pakta AUKUS.

Para pejabat Australia secara pribadi menuduh Pemerintah China munafik, dengan merujuk bahwa negara itu memiliki armada kapal selam bertenaga nuklir yang terus bertambah sambil dengan cepat membangun gudang senjata nuklirnya sendiri.

Awal pekan ini, perwakilan khusus AS untuk non-proliferasi nuklir, Adam Scheinman, membuat poin serupa dengan mengatakan China telah "[gagal] mengakui tindakan China sendiri di kawasan yang telah menyebabkan para mitra menutup celah keamanan.”

Delegasi yang terdiri dari enam belas pejabat pemerintah akan mewakili Australia pada waktu yang berbeda selama satu bulan dalam pertemuan peninjauan di New York, termasuk Duta Besar Australia untuk Pengendalian Senjata dan Kontra-Proliferasi, Ian Biggs, dan Duta Besar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa dan Duta Besar untuk Perlucutan Senjata, Amanda Gorely.

Dalam sebuah pernyataan, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan bahwa “Australia memiliki tradisi yang membanggakan dalam keterlibatan internasional yang konstruktif dan pragmatis untuk mendukung non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir.”

Dr Zala mengatakan meskipun dia tidak percaya rencana kapal selam nuklir akan menjadi “titik utama” dalam hubungan Indonesia-Australia, namun hal itu akan "menambah ketegangan".

Ia juga memperkirakan delegasi Australia akan "ditanyakan beberapa pertanyaan yang cukup tajam" pada konferensi di New York.

"Mengingat tantangan nyata dari kapal selam terkait antisipasi preseden yang kemungkinan terjadi, tidak akan selalu ada jawaban yang bisa memuaskan tetangga kita," katanya.