Liputan6.com, Teheran - Iran, Jumat (5/8), mengeluarkan pernyataan publik yang mengatakan sedang mengusahakan pembebasan seorang warga negara Iran yang telah ditahan oleh Arab Saudi sejak sebulan lalu, atau tepatnya sejak berlangsungnya kegiatan ibadah haji tahun ini.
Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan diplomat tertinggi negara itu, Hossein Amirabdollahian, mengungkapkan tuntutan pembebasan tersebut dalam percakapan telepon dengan sejawatnya dari Irak. Irak telah menjabat sebagai mediator dan fasilitator pembicaraan antara Arab Saudi dan Iran.
Advertisement
Baca Juga
Pernyataan itu tidak mengungkapkan identitas orang yang ditahan. Arab Saudi sendiri belum mengeluarkan pernyataan yang mengakui penahanan itu.
Irak memainkan peran kunci dalam memfasilitasi pembicaraan antara Iran dan Arab Saudi, termasuk menjadi tuan rumah beberapa putaran pembicaraan langsung antara pejabat keamanan dari kedua negara.
Iran -- negara Muslim Syiah terbesar di dunia -- dan Arab Saudi – negara yang mayoritas penduduknya beraliran Sunni -- memutuskan hubungan diplomatik pada 2016 setelah Arab Saudi mengeksekusi ulama Syiah Saudi terkemuka Nimr al-Nimr. Warga Iran yang marah memprotes eksekusi tersebut dan menyerbu dua misi diplomatik Saudi di Iran. Kedutaan dan konsulat Saudi ditutup sejak itu.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Arab Saudi Ajak Iran Kerja Sama di Kawasan
Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MbS), meminta agar Iran ikut bekerja sama dalam keamanan kawasan. Itu ia sampaikan pada pembukaan Jeddah Security and Development Summit yang melibatkan anggota Gulf Cooperation Council (GCC), serta Mesir, Yordania, dan Irak.
Negara-negara anggota GCC adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, dan Kuwait.
Dilaporkan Saudi Gazette, Minggu (17/7/2022), Pangeran Mohammed bin Salman menyebut perlunya upaya terpadu untuk mendukung ekonomi global. Ia juga membahas masalah kebijakan energi yang tidak realistis sehingga memicu inflasi.
Terkait Iran, ia meminta agar Iran bekerja sama dengan negara-negara lain di kawasan, serta tidak ikut campur urusan negara-negara lain.
Selama ini, Arab Saudi menyebut Iran sebagai pendukung Houthi yang terlibat dalam konflik di Yaman.
Masalah Yaman juga dibahas di Jeddah Summit. Saudi berjanji akan menjaga keamanan dan stabilitas di Yaman, serta mengirmkan bantuan.
Terkait energi, Pangeran MbS menyebut akan terus berinvestasi pada energi fosil sekaligus energi bersih dalam beberapa dekade ke depan. Arab Saudi pun berjanji akan menambah produksi minyak.
"Kerajaan berencana untuk menambah produksi minyak hingga 11 juta barel per hari (bph) dan setelahnya tidak punya kemampuan lagi untuk memabah produksi lebih jauh," ujarnya.
Pada Mei 2022, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman Al Saud menyebut bahwa Arab Saudi berekspektasi menambah produksi minyak harian agar melewati 13 juta bph pada 2027.
Pangeran Abdulaziz berkata kemungkinan produksi minyak menjadi 13,2 juta hingga 13,4 juta bph pada akhir 2026 atau awal 2027. Saat ini, kapasitas minyak harian Arab Saudi adalah 12 juta bph.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kebijakan Energi yang Realistis
Tak lupa, masalah iklim dibahas oleh Pangeran MbS. Ia menyorot Paris Agreement dan kebijakan yang realistis.
"Tantangan-tantangan yang dihadapi dunia, terutama perubahan iklim, membutuhkan tekat yang dikuatkan oleh komunitas internasional untuk menjaga temperatur Bumi di bawah batas yang dispesifikan oleh Paris Agreement," ujarnya."
Ia lantas turut mengingatkan bahwa solusi yang tidak praktis bisa memicu masalah ekonomi, seperti inflasi.
"Mengadopsi kebijakan-kebijakan yang tak praktis untuk mengurangi emisi yang merugikan, termasukan eksekusi sumber daya-sumber daya energi utama tanpa mempertimbangkan efek sosio-ekonomi dari kebijakan tersebut, bisa menyebabkan tingkat inflasi yang tak pernah terjadi sebelumnya, membuat harga energi dan pengangguran naik ke level baru, memperparah masalah sosial, ekonomi, dan keamanan, seperti kelaparan, kejahatan, ekstremisme, dan terorisme," ujar Pangeran MbS.
Dalam perkembangan ekonomi, Arab Saudi akan mengambil kebijakan yang seimbang antara menjaga persediaan energi dan mewujudkan target netralitas karbon.
Rencanan Arab Saudi juga fokus pada memastikan adanya diversifikasi ekonomi tanpa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi dan rantai pasokan.