Sukses

Pejabat Taiwan Bagian Produksi Rudal Ditemukan Tewas di Hotel, Ini Penyebabnya

Seorang pejabat tinggi yang terlibat dalam produksi rudal Taiwan ditemukan meninggal di sebuah hotel.

Liputan6.com, Hengchun - Seorang pejabat tinggi yang terlibat dalam produksi rudal Taiwan ditemukan meninggal di sebuah hotel.

Ia diidentifikasi sebagai Ouyang Li-hsing, wakil presiden Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan. Sang pejabat dilaporkan melakukan perjalanan ke selatan pulau untuk bisnis, Central News Agency (CNA) Taiwan melaporkan seperti dikutip dari AFP, Sabtu (6/8/2022).

Dalam sebuah pernyataan yang diposting di situs webnya, lembaga tersebut mengkonfirmasi bahwa Ouyang ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah hotel di Hengchun, daerah Pingtung pada Sabtu pagi.

Menurut institut milik tentara tempat Ouyang Li-hsing bekerja, dia disebut meninggal karena masalah jantung pada hari Sabtu (6 Agustus).

"Pemeriksaan forensik menemukan bahwa penyebab kematian adalah infark miokard dan angina pektoris," kata pihak Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan.

Ouyang menjabat di posisi saat ini sejak awal tahun. Ia ditugaskan untuk mengawasi "produksi berbagai jenis rudal", kata CNA.

Kematiannya terjadi ketika Beijing terus maju dengan latihan yang bertujuan untuk mempraktekkan blokade dan invasi terakhir ke Taiwan, setelah kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi membuat marah pemerintah China.

Beijing menerbangkan beberapa rudal langsung di atas pulau utama Taiwan dalam latihan tersebut, media pemerintah China mengatakan Jumat (5 Agustus). Tetapi Taipei telah menolak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal jalur penerbangan, dengan alasan kekhawatiran intelijen.

Pemerintah pulau itu berusaha untuk mempercepat produksi rudalnya sendiri dalam menghadapi meningkatnya ancaman militer yang ditimbulkan oleh China.

Partai Komunis China yang berkuasa melihat pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya dan telah berjanji suatu hari akan mengambilnya, dengan paksa jika perlu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Konflik China dan Taiwan Makin Panas, Apa Dampaknya bagi Dunia? Ini Penjelasan Pengamat

Konflik yang kian tegang antara Taiwan dan China semenjak kedatangan Ketua DPR AS Nancy Pelosi memicu pertanyaan, "Akankah berakhir seperti Rusia dan Ukraina?"

Teuku Rezasyah, selaku ahli hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.

"Konflik China-Taiwan tak akan berkembang menjadi konflik seperti Rusia-Ukraina," tegasnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (5/8/2022). 

Hal tersebut ia sampaikan dengan alasan bahwa masyarakat Taiwan dan pemerintahnya memiliki militansi yang sangat tinggi untuk mempertahankan sistem politik dan sistem demokrasi yang lama mereka, dan sudah terbukti menjadikan Taiwan sebagai negara unggulan saat ini. 

Menurutnya China memahami bahwa konflik bersenjata antara keduanya akan menjerumuskan Amerika Serikat dan para sekutunya dalam ANZUS, Quad, dan AUKUS, termasuk pelibatan persenjataan dengan teknologi terkini. Dengan demikian, ada resiko penggunaan senjata Nuklir dalam skala kecil.

"Karena itu, China tetap mengamuk seraya menahan diri, dan menjawabnya dengan terus menyelenggarskan latihan militer diperbatasan lautnya dengan Taiwan," tambahnya lagi. 

Sementara China melakukan latihan besar-besaran dan mengirimkan serangan drone ke selat Taiwan, China diperkirakan akan memperluas latihan militernya hingga perairan Laut China Selatan, dan sekali-sekali mendekati wilayah yang dipersengketakan dengan beberapa negara dalam ASEAN dan juga Taiwan.

Selengkapnya di sini...

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan Berpotensi Picu Perang Besar di Asia, Ini Kata Pengamat

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan menimbulkan sejumlah dampak global. Tak hanya dirasakan oleh AS, namun juga terhadap dunia. 

Kegeraman China terkait hal tersebut rupanya berpotensi menimbulkan perang besar di Asia. Hal ini disampaikan oleh Siti Rohmawati atau yang lebih akrab disapa Irma, Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair).

"Kasus Nancy Pelosi kapan hari memang bisa menimbulkan potensi perang besar di Asia. Tapi, untunglah Pelosi segera keluar dari Taiwan, jika terlambat sedikit bisa fatal bagi perdamaian dunia," ujarnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (6/8/2022). 

Irma menjelaskan bahwa meskipun konflik ini berusaha diredam oleh AS, namun insiden ini akan menjadi kartu turf China untuk memainkan perannya di isu Taiwan nantinya.

"Kalo pun bisa meledak menjadi konflik terbuka, maka potensinya bisa lebih besar dibanding perang Ukraina-Rusia," tambahnya lagi.

Irma menambahkan, ini juga yang dipakai oleh China untuk senantiasa mengembangkan pertahanannya di wilayah sekitar Taiwan, demi menjaga keamanan dari terulangnya insiden Pelosi.

Dari sisi AS, Menteri Luar Negeri Antony Blinken menekankan Amerika Serikat senantiasa memiliki kepentingan yang tetap untuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

"Kami menentang segala upaya sepihak untuk mengubah status quo, terutama dengan kekerasan. Kami tetap berkomitmen terhadap kebijakan 'satu China', dipandu oleh komitmen kami di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act), tiga Komunike bersama (Three Communiqués), dan Enam Jaminan (Six Assurances)," kata Blinken dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN-AS.

Selengkapnya klik di sini...

4 dari 4 halaman

Akankah Konflik China dan Taiwan Berpotensi Seperti Rusia-Ukraina? Ini Kata Pengamat

 Kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan telah membuat heboh, terutama ketika China mulai menunjukkan kegeramannya dengan kekuatan militer. 

Dengan konflik yang semakin panas, apakah ada kemungkinan bahwa konflik tersebut akan menjadi seperti Rusia-Ukraina?

Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI menilai bahwa China berpotensi untuk melancarkan serangan senjata ke Taiwan sama seperti Rusia melancarkan Special Military Operation.

Dasar yang digunakan adalah menjaga integritas teritorial China dimana Taiwan melakukan pemberontakan dan memisahkan diri dari China.

"Serangan China akan dikuakifikasi sebagai tindakan polisionil terhadap wilayahnya yang hendak memberontak," ujarnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (5/8/2022). 

Ia menambahkan bahwa AS seperti langkah yang diambil di Ukraina tidak akan terlibat perang dengan China secara langsung.

"AS seperti di Ukraina hanya akan memasok senjata, uang dan mengajak sekutu-sekutunya untuk melakukan embargo ekonomi," katanya lagi. 

Hikmahanto juga mengatakan bahwa AS tidak akan terlibat dalam perang karena China seperti Rusia memiliki senjata nuklir dan hak veto di DK PBB.

Selengkapnya di sini...