Sukses

Angka Perceraian di Korea Utara Meroket Akibat Stres Masalah Ekonomi

Pasutri di Korea Utara merasakan beban ekonomi, sehingga rela menyogok demi cerai.

Liputan6.com, Pyongyang - Kasus perceraian di Korea Utara sudah sangat parah. Salah satu pemicu cerai adalah stres akibat masalah ekonomi.

Pemerintah Korea Utara lantas mencoba mencegah perceraian dengan menggunakan taktik kuota cerai, sehingga sejumlah pasutri yang ingin cerai harus menunggu beberapa tahun. Namun, aksi menyogok malah terjadi.

Menurut laporan Radio Free Asia, Senin (8/8/2022), aksi cerai disebut pemerintah Korea Utara sebagai "anti-sosialis". Pejabat pun diminta jangan langsung menyetujui perceraian.

"Baru-baru ini, cekcok keluarga semakin parah akibat alasan-alasan ekonomi dan jumlah keluarga yang ingin cerai bertambah, tetapi pejabat berwenang memerintahkan pengadilan agar tidak mudah menyetujui perceraian," ujar seorang warga kabupaten Kyongsong kepada RFA.

Saksi mata yang memilih identitas anonim tersebut berkata kerap melihat pasangan cerai yang masih muda.

"Ketika saya terkadang melewati kantor pengadilan, saya selalu melihat selusin pria dan wanita muda berkumpul di depan gerbang utama. Banyak pasangan-pasangan muda ingin bertemu seorang hakim atau pengacara untuk meminta cerai," ujarnya.

Sumber itu juga menjelaskan bahwa pengadilan di Korut biasanya tidak mengizinkan cerai kecuali ada "alasan yang tak bisa dihindari." Pisah rumah pun tidak berarti langsung bisa cerai.

Turut dijelaskan bahwa perceraian dipandang negatif di Korea Utara karena dianggap bisa membuat kegaduhan. Sumber itu juga mendengar dari sahabatnya, yang menikahi pejabat pengadilan, bahwa angka perceraian dibatasi sesuai jumlah populasi.

Kabupaten Kyongsong yang punya 106 ribu populasi hanya bisa memberikan 40 perceraian per tahun.

"Jika pengadilan melebihkan kuota cerai mereka, itu akan dipertanyakan oleh pihak berwenang," ujar wanita itu yang mengaku kaget pada kuota perceraian.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Pilih Cerai Saja

Cerai sempat dianggap sebagai hal negatif di Korea Utara. Pandangan itu kini berubah. 

"Dalam beberapa tahun terakhir, pertikaian keluarga telah meningkat karena kesulitan dalam hidup, jadinya jumlah keluarga yang ingin bercerai bertambah. Dulu ada kecenderungan dipermalukan saat bercerai, tetapi tidak begitu lagi sekarang," ujar seorang warga di kabupaten Unhung.

Kesulitan ekonomi yang terjadi tak terlepas dari pandemi COVID-19. Korea Utara sangat bergantung pada China, namun pandemi mempersulit perdagangan. 

Saksi mata yang juga memilih anonim itu menyebut sogokan menjadi alternatif agar perceraian lebih mulus.

"Orang-orang ingin bercerai secepat mungkin, tetapi itu tidak mudah. Jumlah sogokan ke hakim pengadilan atau pengacara menentukan apakan perceraian bisa dikabulkan dan seberapa lama," ujarnya.

Lebih lanjut, saksi tersebut menyorot bahwa ada banyak yang ingin cerai, sehingga otomatis sulit melewati tahap awal dokumen tanpa menyogok.

"Realitanya adalah jika kamu tidak membayar sogokan, kamu tidak akan mendapat perceraianmu bahkan setelah menunggu tiga sampai lima tahun," ujarnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Kasus COVID-19 di Korea Utara

Korea Utara menyatakan semua pasien demamnya telah pulih, menandai berakhirnya gelombang pertama pandemi virus corona COVID-19. Namun, kini Korea Utara menghadapi tantangan kesulitan ekonomi yang semakin dalam dan populasi yang tidak divaksinasi akan memunculkan gelombang baru COVID-19.

Dilansir dari laman Channel News Asia, Jumat (5/8), sementara media pemerintah mengatakan "situasi anti-epidemi telah memasuki fase stabilitas yang pasti", daripada menyombongkan kemenangan, Korea Utara mengatakan akan "menggandakan upaya untuk mempertahankan kesempurnaan dalam pelaksanaan kebijakan anti-epidemi negara". 

Negara tertutup itu tidak pernah mengonfirmasi berapa banyak orang yang tertular COVID-19, yang diduga karena kekurangan pasokan pengujian. Tetapi sekitar 4,77 juta pasien demam dilaporkan telah pulih sepenuhnya dan 74 meninggal sejak akhir April 2022. Tidak ada kasus demam baru yang dilaporkan sejak 30 Juli.

Pejabat Korea Selatan dan pakar medis meragukan angka tersebut, terutama jumlah kematian.

Shin Young-jeon, seorang profesor di sekolah kedokteran Universitas Hanyang di Seoul, mengatakan sementara puncak gelombang pertama COVID-19 mungkin telah berlalu, kematian yang dinyatakan hampir "tidak mungkin" dan mungkin ada hingga 50.000 kematian.

"Keberhasilan mereka, jika ada, seharusnya terletak pada kenyataan bahwa wabah itu tidak mengarah pada kekacauan politik atau sosial. Apakah respons COVID-19 mereka berhasil adalah masalah lain."

Menteri Unifikasi Korea Selatan Kwon Young-se, yang bertanggung jawab untuk urusan antar-Korea, mengatakan minggu ini ada "masalah kredibilitas" dengan data Korea Utara tetapi situasi COVID-19 tampaknya "agak terkendali."

4 dari 4 halaman

Akhir Gelombang

Sebagai tanda meredanya wabah, Partai Buruh yang berkuasa mengadakan acara besar tanpa topeng pada akhir Juli, mengundang ratusan veteran Perang Korea.

Liga sepak bola nasional memulai musimnya minggu ini setelah terhenti selama tiga tahun, media pemerintah melaporkan, seperti halnya kompetisi renang, yacht dan bowling.

Sebagian besar pertandingan tampaknya diadakan tanpa penonton, tetapi foto pertandingan taekwondo yang disiarkan pada hari Senin oleh surat kabar resmi Rodong Sinmun menunjukkan penonton mengenakan topeng dan duduk terpisah.

Beberapa analis mengatakan tantangan di sekitar ekonomi, ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat tetap ada dan dapat lebih diperburuk jika infeksi kembali seperti yang terlihat di negara tetangga Asia di tengah penyebaran sub-varian Omicron.