Liputan6.com, Tokyo - Jumlah orang Jepang yang menikah di tahun 2022 diprediki berkurang karena dampak COVID-19. Faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah kurang waktu sosialisasi dan urusan keuangan.Â
Dilansir Kyodo, Selasa (9/8/2022), jumlah pernikahan tahun ini diperkirakan akan 150 ribu lebih sedikit dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa membuat jumlah bayi yang lahir berkurang 234 ribu jika tingkat pernikahan tidak pulih.Â
Advertisement
Baca Juga
Temuan itu berasal dari studi oleh Asako Chiba, postdoctoral fellow di Tokyo Foundation for Policy Research dan Taisuke Nakata, associate professor di University of Tokyo.Â
Stres finansial yang bertambah disebut berpengaruh pada rendahnya angka pernikahan di Jepang.Â
Mereka menyebut angka pernikahan di tahun 2020 adalah sekitar 526 ribu, sekitar 50 ribu lebih rendah dari proyeksi. Sementara, angka tahun 2021 adalah 501 ribu. Angka itu 63 ribu lebih rendah dari perkiraan.
Turunnya angka pernikahan tersebut diprediksi berlanjut di 2022, meski ada tanda-tanda pemulihan. Total pernikahan diperkirakan mencapai 515 ribu, sekitar 38 ribu lebih rendah dari perkiraan.
"Dampak sosial dan ekonomi dari virus corona butuh waktu untuk bermanifestasi," ujar Chiba. "Pembuat kebijakan perlu mengenali krisis yang secara tegas mendekat."Â
Angka pernikahan tahunan di Jepang terus turun sejak memuncak pada 1 juta pernikahan di awal 1970-an. Angka kelahiran juga terus menurun. Pada 2021, angka kelahiran baru adalah 810 ribu dibanding 2 juta kelahiran pada tahun 1973.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
8 Agustus 2022: Infeksi Jepang Nomor 1, Muncul 28 Juta Kasus COVID-19 dalam 28 Hari
Kasus COVID-19 sedang meningkat di negara-negara Asia. Jepang kini ada di posisi satu kasus baru COVID-19 terbanyak dalam 28 hari terakhir.
Berdasarkan data Johns Hopkins University, Senin (8/8), ada 28,8 juta kasus baru dalam 28 hari terakhir. Pada periode yang sama ada 63 ribu kematian.Â
Total kasus mingguan telah kembali meninggi seperti Maret-April 2022 setelah melandai pada Mei-Juni 2022.
Berikut 10 negara dan wilayah dengan kasus baru tertinggi dalam 28 hari terakhir, beserta total kasus selama pandemi per 8 Agustus 2022:
1. Jepang: 4,4 juta kasus (total 14,2 juta)
2. Amerika Serikat: 3,5 juta kasus (total 92,1 juta)
3. Jerman: 2,2 juta kasus (total 31,2 juta)
4. Korea Selatan: 1,97 juta kasus (total 20,5 juta)
5. Italia: 1,92 juta kasus (total 21,3 juta)
6. Prancis: 1,92 juta kasus (total 34,2 juta)
7. Australia: 1,14 juta kasus (total 9,6 juta)
8. Brasil: 1,13 juta kasus (total 34 juta)
9. Turki: 1,1 juta kasus (total 16,2 juta)
10. Taiwan: 662 ribu kasus (total 4,7 juta)
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Deretan Mitos Tentang Covid-19 yang Masih Dipercaya Banyak Orang
Saat ini sudah dua tahun masyarakat di seluruh dunia hidup di tengah pandemi Covid-19. Pandemi mengajarkan kita untuk berhati-hati, waspada, dan terinformasi dengan baik tentang mikroorganisme yang hidup bersama kita di lingkungan yang sama.
Namun, terlepas dari beberapa teori yang didukung sains dan upaya penelitian untuk mengemukakan misteri dan pertanyaan yang belum terpecahkan seputar Covid-19, banyak dari kita lebih suka mempercayai mitos yang telah tersebar di sekitar tentang infeksi, vaksin, dan proses pengobatannya.Â
Dilansir dari Bestlifeonline, Senin (8/8), berikut adalah deretan mitos umum tentang Covid-19 yang harus kita hentikan sekarang:
Covid-19 menyebar dengan cepat selama musim hujan
Tidak, Covid-19 menyebar dengan cepat setiap kali mendapat kesempatan untuk menyebar. Covid-19 bukanlah infeksi musiman. Virus corona yang menyebabkan Covid-19 selalu mencari inang baru. Saat ia menemukan inang baru, ia mulai berkembang biak dan menyebar.
Jumlah kasus Covid-19 selama musim panas, ketika lingkungan panas dan lembab tidak berdampak pada penularan infeksi. Dari data infeksi Covid-19 terlihat bahwa jumlah kasus aktif tidak tergantung pada kondisi iklim.
Vaksin Covid-19 menyebarkan cacar monyet
Dengan munculnya infeksi baru, dimulailah serangkaian rumor yang begitu dipelintir dalam narasinya sehingga seseorang dengan pengetahuan kurang pasti akan mempercayainya.
Pada bulan Juni, beredar isu yang mengklaim bahwa vaksin Covid-19 menyebarkan cacar monyet. Desas-desus mengatakan vektor adenovirus simpanse yang digunakan dalam vaksin Covid-19 AstraZeneca berada di balik wabah dan cacar monyet adalah efek samping dari vaksin.
Yang benar adalah adenovirus dan poxvirus tidak sama. Meskipun AstraZeneca menggunakan vektor adenovirus simpanse dalam formulanya, ia telah bermutasi untuk mencegah pertumbuhan di dalam tubuh manusia.
Selanjutnya
Masalah Konsumsi
Daging dan ikan tidak menyebarkan infeksi virus. Bahkan setelah seseorang sembuh dari infeksi, dianjurkan agar mereka makan daging dan ikan yang cukup untuk mendapatkan energi dan kembali ke kehidupan normal.
Namun, daging dan ikan berpotensi sebagai pembawa mikroorganisme dan kuman patogen. Jika kurang matang atau dimakan mentah, mereka dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia.
Hewan bisa menularkan Covid-19
Pada awal pandemi, rumor lain menyebar secara besar-besaran. Desas-desus ini adalah bahwa hewan, termasuk yang liar dan yang dijinakkan, dapat menyebarkan virus corona. Klaim semacam itu telah dilakukan beberapa kali. Namun, penelitian tidak mendukung klaim ini. Tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan klaim ini benar.
Hoaks VaksinÂ
Hingga saat ini, banyak orang yang tidak percaya bahwa vaksin Covid-19 sebenarnya aman dan efektif untuk melindungi diri dari virus corona. Vaksin Covid-19 adalah sebagian alasan mengapa kasus ringan terlihat selama Omicron memimpin gelombang ketiga Covid-19.
Ini juga dianggap sebagai alasan mengapa penurunan kasus rawat inap terlihat selama gelombang ketiga. Perlu ditegaskan kembali bahwa sistem rumah sakit di seluruh negeri telah mogok selama gelombang kedua Covid-19 yang menghancurkan yang disebabkan oleh gelombang Delta.
Konsumsi Bumbu dan rempah dapat membunuh virus corona
Tidak! Herbal dan rempah-rempah memang baik untuk tubuh manusia. Ini membantu metabolisme, meningkatkan kekebalan dan membantu dalam beberapa fungsi tubuh lainnya. Namun, jumlah jamu dan rempah yang benar-benar bermanfaat bagi tubuh jauh lebih sedikit daripada yang dikonsumsi karena ketidaktahuan tentang Covid-19.
Advertisement