Liputan6.com, Kabul - Tanggal 15 Agustus adalah peringatan satu tahun kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 2021. Kisah ini mencakup laporan saksi mata pada hari jatuhnya Kabul, kisah-kisah pengungsi Afghanistan di seluruh dunia, dan analisis yang berdasarkan data tentang catatan pemerintahan dan hak azasi manusia di pemerintahan Taliban, di antara topik-topik lain.
Ketika sebuah stasiun berita televisi lokal di negara bagian New York menampilkan kisah seorang wartawan Afghanistan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, wartawan itu - Esmatullah Bilal Ahmadzai tidak hanya sekadar mendapat liputan, namun juga pekerjaan di kantor berita televisi.
Advertisement
Baca Juga
“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya tidak percaya pada akhirnya saya akan menjadi wartawan lagi,” katanya.
Pada waktu yang sama tahun lalu, Esmatullah menjadi pembawa berita untuk TV Shamshad, Afghanistan.
Ia selamat dari serangan terhadapnya dan stasiun TV tempatnya bekerja. Ia bahkan pernah melompat dari jendela lantai dua, untuk melarikan diri dari orang-orang bersenjata. Namun ia tetap berencana tinggal di negaranya, bahkan ketika Taliban sedikit demi sedikit merebut bagian-bagian Afghanistan tahun lalu.
Tetapi ketika para militan mencapai Kabul, ia dengan enggan memutuskan untuk pergi.
“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya meneteskan air mata. Saya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Saya tahu ketika saya masuk pesawat, Afghanistan memasuki zaman kegelapan,” ujar Ahmadzai.
Ratusan wartawan telah melarikan diri dari Afghanistan, tetapi banyak yang merasa kesulitan mendapat pekerjaan di media.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Janji Taliban: Afghanistan Tak Akan Ancam Negara Lain
Sebelumnya dilaporkan, pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Haibatullah Akhundzada, menegaskan bahwa tanah Afghanistan tidak akan dipakai untuk mengancam negara lain. Ia pun meminta agar komunitas internasional tidak mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.
Dilansir Arab News, Kamis (7/7), Taliban berkata mengikuti persetujuan yang mereka buat dengan Amerika Serikat di 2020 sebelum mengambil kekuasaan, yakni mereka janji akan melawan teroris. Afghanistan terus berjanji bahwa negaranya tidak akan menjadi basis untuk melancarkan serangan ke negara-negara lain.
"Kami memastikan ke tetangga-tetangga kami, kawasan, dan dunia bahwa kita tidak akan mengizinkan siapapun menggunakan kawasan kita untuk mengancam keamanan ngara lain. Kami juga ingin negara-negara lain tidak ikut campur masalah-masalah dalam negeri kami," ujar Akhundzada dalam pidato sebelum Hari Raya Idul Adha.
Sebelumnya, pemerintah Taliban dijatuhkan koalisi AS pada 2001 karena menampung Osama bin Laden. Taliban kembali merebut kekuasaan pada 2020 pada kudeta yang berlangsung cepat. Mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyelamatkan diri ke Uni Emirat Arab.
Sosok Akhundzada yang reklusif menjadi pemimpin spiritual Taliban sejak pendahulunya, Mullah Akhtar Mansour, terbunuh oleh serangan drone AS pada 2016.
Usai berkuasa, Akhundzada mendapat dukungan dari Ayman Al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda.
Namun, ia kini berkata berkomitmen ingin memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.
"Di dalam kerangka interaksi dan komitmen bersama, kami ingin relasi diplomatik, ekonomi, dan politik yang baik dengan dunia, termsuk Amerika Serikat, dan kami menganggap ini kepentingan semua pihak," ujar Akhundzada.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Dukungan Ulama
Ulama Afghanistan menegaskan dukungan mereka terhadap Taliban. Komunitas internasional pun diminta ikut mendukung pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (4/7), dukungan itu ditegaskan pada sebuah pertemuan ulama Islam dan tetua suku yang berlangsung selama tiga hari dan berakhir Sabtu (2/7). Pihak yang hadir sepakat memberikan dukungan bagi Taliban dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Pertemuan di Kabul itu dirancang sesuai dengan Loya Jirga Afghanistan – yaitu semacam dewan yang terdiri dari para tetua suku, pemimpin dan tokoh terkemuka – dan membahas masalah kebijakan di Afghanistan. Tetapi mayoritas yang hadir dalam pertemuan kali ini adalah pejabat dan pendukung Taliban, kebanyakan ulama Islam.
Tidak seperti Loya Jirga terakhir yang dilangsungkan di bawah pemerintah sebelumnya yang didukung Amerika, kali ini perempuan tidak diizinkan hadir.
Bekas kelompok gerilyawan yang telah sepenuhnya berkuasa untuk mengambil keputusan sejak mengambilalih negara itu pertengahan Agustus 2021 lalu, menyebut pertemuan itu sebagai forum untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi Afghanistan.
Ansari mengatakan lebih dari 4.500 ulama dan tokoh terkemuka Islam yang menghadiri forum itu telah memperbarui kesetiaan dan kepatuhan pada pemimpin tertinggi dan kepala spiritual Taliban, Haibatullah Akhundzada.
Mengutip 11 poin pernyataan yang dirilis di akhir pertemuan itu, ulama Mujib-ul Rahman Ansari mendesak negara-negara di kawasan dan di dunia, PBB, bersama organisasi Islam dan lainnya untuk mengakui Afghanistan yang dipimpin Taliban. Ia juga menyerukan dihapusnya semua sanksi yang diberlakukan sejak Taliban berkuasa dan dicairkannya aset-aset Afghanistan di luar negeri.
Pengaruh Digital Taliban Berkurang
Dulu, juru bicara Taliban dikenal sebagai ahli propaganda online ketika melawan Amerika Serikat. Namun, popularitas kelompoknya sedang merosot di media sosial.
Juru bicara kepala Taliban, Zabihullah Mujahid, mempunyai lebih dari 630.000 pengikut di akun Twitter resminya.
Dilaporkan VOA Indonesia, Sabtu (28/7), kini sebagai pemerintah de facto Afghanistan, penggunaan media digital di kalangan kelompok Taliban menghadapi sejumlah tantangah seperti penolakan layanan, kampanye permusuhan, dan penghapusan akun dari platform media sosial.
Baru-baru ini, Meta, perusahaan induk Facebook, menutup akun FB dan Instagram Radio Television Afghanistan (RTA) yang dikelola pemerintah dan Kantor Berita Bakhtar.
Akun itu dibuat oleh pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung AS dan diserahkan kepada Taliban, yang menggunakannya untuk menyebarkan berita tentang pemerintah mereka.
“Taliban dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum AS, dan mereka dilarang menggunakan layanan kami berdasarkan kebijakan kami tentang Organisasi Berbahaya,” kata juru bicara Meta kepada VOA.
“Itu berarti kami menghapus akun yang dikelola oleh atau mengatasnamakan Taliban, serta melarang pujian, dukungan dan perwakilan dari kelompok tersebut.”
Ketika mencari komentar tentang berita ini, tautan ke saluran radio YouTube Taliban dikirim ke Google sebagai referensi. Dalam waktu kurang dari 24 jam, saluran itu kini hilang.
“Google bertekad mematuhi Undang-undang sanksi AS yang berlaku dan menegakkan kebijakan terkait berdasarkan persyaratan layanannya. Karena itu, jika kami mendapati ada akun milik Taliban, kami akan menghentikannya,” kata juru bicara Google kepada VOA.
Advertisement