, Hokkaido - Perubahan iklim membuat perubahan signifikan terhadap lanskap pedesaan di Jepang ternyata telah menyebabkan perubahan perilaku hewan liar di negara itu. Hal tersebut konon mengarah pada pemberontakan mereka terhadap manusia.
Alhasil hewan-hewan itu pun menjadi lebih ganas, dan pemberontakan pun kerap terjadi.
Baca Juga
Di tahun-tahun sebelumnya, mengutip DW Indonesia, Sabtu (13/8/2022), beruang mendominasi serangan terhadap manusia, bersamaan dengan amukan dari babi hutan sesekali. Namun, terdapat peningkatan tajam dari jumlah laporan serangan kawanan monyet pada musim panas ini. Sementara itu, pihak berwenang di salah satu kota pesisir juga telah memperingatkan adanya perlawanan agresif dari kawanan lumba-lumba terhadap para perenang.
Advertisement
Padahal di masa lalu, konfrontasi semacam itu hanya terjadi ketika manusia tengah tersesat di hutan atau saat para pencari jamur dan sayuran di gunung yang diserang oleh beruang. Namun, sekarang insiden semacam itu justru semakin banyak terjadi di pinggiran beberapa kota terbesar di Jepang.
Beruang Cokelat Ditembak Mati
Pada Juni 2021, pemburu dipanggil untuk menembak beruang cokelat yang telah melukai empat orang di wilayah pinggiran Sapporo, kota terbesar di pulau utara Hokkaido. Pihak berwenang bahkan sampai menutup bandara kota, 42 sekolah, dan mengunci pangkalan militer mereka, sebelum akhirnya beruang setinggi 2 meter itu dieksekusi.
Dalam waktu enam bulan hingga November 2020, rekor dengan total 13.670 beruang terlihat di seluruh wilayah Jepang. Tidak kurang dari 63 warga Jepang terluka dalam serangan tersebut, bahkan dua di antaranya meninggal.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Babi Hutan dan Monyet Agresif
Di selatan Jepang, penduduk pulau kecil Kakara tengah mempertimbangkan untuk mengungsi karena babi hutan telah mengambil alih teritorial mereka, hingga menghancurkan tanaman labu dan juga ubi jalar milik warga, bahkan babi hutan itu juga menjadi semakin agresif.
Situasi menjadi sangat buruk sehingga orang tua tidak dapat mengizinkan anak-anak mereka kembali bermain di luar rumah, karena takut anak-anak mereka akan diserang oleh hewan-hewan liar itu.
Pada musim panas ini, media Jepang juga telah meliput sejumlah laporan bentrokan antara pasukan monyet dan penduduk setempat. Dalam beberapa kasus, simpanse nakal itu telah memasuki pekarangan rumah warga, bahkan membuka jendela dan tak segan-segan merobek tirai nyamuk, menggigit, dan mencakar hingga melukai warga.
Otoritas setempat di Prefektur Yamaguchi telah melaporkan sebanyak 66 insiden yang terjadi hanya pada bulan Juli lalu dan mengimbau kepada penduduk setempat untuk tidak melakukan kontak mata dengan monyet-monyet tersebut, karena dapat dianggap sebagai tantangan dan menjadi faktor pemicu serangan.
Pihak berwenang juga telah memasang beberapa perangkap dan melakukan patroli. Alhasil, dua monyet yang sangat agresif berhasil ditangkap dan disuntik mati.
"Saya pikir, statistik telah mengonfirmasi bahwa kita melihat lebih banyak kasus dalam beberapa tahun terakhir daripada tahun-tahun sebelumnya," kata Mariko Abe, perwakilan dari Masyarakat Konservasi Alam Jepang.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Dampak Perubahan Iklim
"Tampaknya ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan inside-insiden ini, tapi saya pikir salah satu faktor terbesar, terutama yang terjadi pada tahun ini adalah efek dari perubahan iklim," tambah Abe kepada tim DW.
"Selama sekitar satu dekade terakhir, musim hujan bulan Juni yang biasanya berlangsung selama sekitar satu bulan itu menjadi lebih pendek dan curah hujan pun menurun," katanya. "Dan tahun ini sangat ekstrem."
"Ada tutupan awan selama bulan Juni, tetapi tidak cukup curah hujan dan sekarang kita berada pada rekor suhu tertinggi di seluruh negeri," ungkap Abe lebih lanjut.
Akibatnya sumber makanan di hutan dan pegunungan belum menghasilkan jumlah yang cukup untuk populasi kera-kera tersebut. Itu artinya, mereka harus pergi mencari makan. Dan hal itu yang membawa mereka ke daerah tempat tinggal manusia.
Menurut Abe, pinggiran kota yang terus-menerus merayap lebih jauh ke dalam habitat hewan-hewan liar menjadi salah satu faktor penyebab lainnya. Kevin Short, seorang profesor yang ahli dalam pendidikan lingkungan di Universitas Ilmu Informasi Tokyo, setuju bahwa hilangnya habitat asli mereka adalah alasan utama meningkatnya jumlah intrusi hewan liar ke daerah perkotaan.
Short juga menunjukkan bahwa akibat dari menyusutnya populasi pedesaan di Jepang, ada lebih sedikit pemburu untuk memusnahkan satwa liar tersebut. Hal itu mengakibatkan ledakan populasi beruang, babi hutan, dan monyet dalam beberapa tahun terakhir.
"Dulu, desa-desa ini berfungsi sebagai semacam zona penyangga antara hutan dan pinggiran kota, dan penduduk desa akan memusnahkan hewan yang mengambil tanaman mereka dan sebagainya," kata Short.
"Dengan menghilangnya semua anak-anak muda dari desa-desa ini dan secara bertahap terus menyusut, semakin sedikit pula yang menghentikan satwa liar untuk mengambil alih (wilayah),” tambah Short.
Tidak Takut pada Manusia
"Saya juga merasa bahwa itu berarti, hewan-hewan itu tidak lagi takut pada manusia," kata Short.
"Monyet Jepang, misalnya, sangat cerdas dan begitu mereka menyadari bahwa mereka tidak perlu takut pada manusia dan bahwa mereka dapat secara efektif menggertak kita, maka itu menyebar ke dalam kawanan mereka dengan sangat cepat."
"Mereka juga telah belajar bahwa pinggiran kota dan kota-kota di Jepang menyediakan sumber makanan yang lebih menarik dan mudah," tambahnya.
Sementara warga lebih sering bertemu dengan beruang, babi hutan, dan monyet dalam beberapa tahun terakhir, laporan tentang lumba-lumba yang menggigit para perenang di pusat kota Fukui telah mengejutkan banyak penduduk Jepang.
Pemerintah setempat juga telah memperkenalkan patroli pantai dan pelampung yang memancarkan gelombang suara ultrasonik untuk menjauhkan lumba-lumba itu dari pantai, dan memasang tanda peringatan agar orang tidak mendekati hewan itu.
"Intinya ini adalah hewan liar di habitat aslinya," kata Abe. "Manusia menyusup ke ruang mereka, mereka bukan hewan peliharaan dan warga jelas tidak bisa bermain dengan mereka. Warga perlu belajar untuk menjauh dari satwa liar."
Advertisement