Liputan6.com, Hai Phu - Pada 17 Agustus 1798, seorang remaja memerintahkan persekusi terhadap umat Katolik di Vietnam. Remaja itu adalah Kaisar Cảnh Thịnh yang usianya baru sekitar 15 tahun.
Akibat aturan itu, para umat Katolik berusaha melarikan diri, termasuk ke dalam hutan rimba. Hutan La Vang di Provinsi Quảng Trị menjadi salah satu lokasi para umat Katolik berlindung.
Advertisement
Baca Juga
Saat para umat Katolik kelaparan dan takut diterkam hewan buat, muncul sesosok perempuan yang bercahaya.
Menurut catatan situs Encyclopedia, Selasa (16/8/2022), wanita itu memanggil dirinya sebagai Bunda yang Diberkati. Ia menenangkan para pengungsi serta terus menjaga iman mereka. Wanita itu turut mengajari para pengungsi juga diajari cara mengumpulkan tanaman-tanaman obat.
Ketika persekusi selesai, warga mendirikan tempat suci (shrine) bagi wanita itu yang dikenal sebagai Our Lady of La Van. Sementara, Kaisar Cảnh Thịnh dieksekusi oleh lawan politiknya di tahun 1802.
Marian Apparation
Fenomena kemunculan sosok Bunda Maria itu dinamakan sebagai Marian apparation (kemunculan Maria). Hal serupa tercatat di berbagai lokasi lain, termasuk Prancis dan Jepang.
Di Jepang, fenomena itu muncul pada 1973. Kemunculan Maria disaksikan oleh seorang suster di Akita.
Situs University of Dayton menjelaskan bahwa Marian apparation dilaporkan di setiap benua di dunia. Namun, Gereja Katolik memilih berhati-hati dalam memverifikasi laporan tersebut.
Selama abad ke-20, ada 386 kasus Marian apparation. Gereja Katolik tidak membuat keputusan terkait 229 kasus, menolak 79 kasus, dan hanya delapan kasus yang mendapat respons positif, salah satunya di Akita.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Paus Fransiskus Minta Maaf ke Masyarakat Adat di Kanada Atas Penghancuran Budaya
Paus Fransiskus tiba di Kanada pada Minggu 24 Juli. Ia melalukan kunjungan bersejarah di mana ia secara pribadi meminta maaf atas kengerian yang terjadi di sekolah bagi suku lokal yang dikelola Gereja Katolik.
Dilansir DW Indonesia, Selasa (26/7), Paus bertemu dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Mary May Simon, seorang Inuk yang merupakan gubernur jenderal Pribumi pertama Kanada.
Pada Senin 25 Juli, pemberhentian pertama Paus adalah di kota Maskwacis, rumah bagi salah satu sekolah perumahan terbesar di negara itu. Di sana, ia berbicara kepada sekitar 15.000 orang, termasuk mantan siswa dari seluruh Kanada.
Berbicara kepada para korban di Maskwacis Senin sore, Paus Fransiskus mengungkapkan "kesedihannya", dan memohon para korban untuk mempraktikkan pengampunan, penyembuhan, dan rekonsiliasi terhadap Gereja Katolik atas peran yang dimainkannya dalam program sekolah bagi suku asli di Kanada.
Paus berbicara tentang "kemarahan" dan "rasa malu" yang dia rasakan atas ingatan tentang perlakuan buruk terhadap anak-anak Pribumi Kanada.
"Saya minta maaf. Saya meminta pengampunan, khususnya, atas cara-cara di mana banyak anggota Gereja dan komunitas religius bekerja sama, melalui ketidakpedulian mereka, dalam proyek penghancuran budaya dan asimilasi paksa," ungkap Paus.
"Tempat di mana kita berkumpul, membawa kembali rasa sakit dalam diri saya dan penyesalan yang mendalam yang saya rasakan dalam beberapa bulan terakhir ini,” kata Paus berusia 85 tahun itu, sebelum seorang perwakilan suku asli Kanada secara singkat menempatkan hiasan kepala tradisional pada Paus.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tuntut Vatikan
Dalam acara itu, ratusan orang hadir dan sebagian besar mengenakan pakaian adat mereka. Beberapa penyintas mengatakan kepada jurnalis bahwa mereka menghargai pidato dengan pesan yang "kuat" oleh Paus Fransiskus, tetapi menuntut agar Vatikan merilis catatan gereja dan data personel para imam dan biarawati untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Kata-kata Paus ditimbang dengan hati-hati oleh para pemimpin adat dan para penyintas yang hadir.
"Permintaan maaf tidak meringankan rasa sakit anak-anak yang hilang dan tidak pernah kembali ke rumah," kata Ketua Agung Majelis Kepala Manitoba, Cornell McLean. "Namun, kami mendorong gereja untuk bergerak maju dalam semangat rekonsiliasi dengan membuat komitmen nyata dan perbaikan sejati ke depan."
Penyintas dan pengacara kelompok pribumi setempat, Wilton Littlechild, mengatakan kepada Paus bahwa dia berharap, "pertemuan kami pagi ini, dan kata-kata yang Anda bagikan kepada kami, akan bergema dengan penyembuhan sejati dan harapan nyata di banyak generasi yang akan datang."
Masih Ada yang Kecewa
Paus menyebut kunjungannya selama seminggu sebagai "ziarah penyesalan" dari "penyembuhan dan rekonsiliasi" untuk mencari pengampunan di tanah Kanada atas "kejahatan" yang dilakukan terhadap penduduk asli oleh misionaris Katolik.
"Ini adalah perjalanan penebusan dosa. Katakanlah itu adalah semangatnya," katanya kepada wartawan di awal penerbangan dari Roma ke Kanada.
Dalam dekade mulai dari akhir 1800-an hingga 1990-an, hampir 150.000 anak-anak First Nations, Metis dan Inuit dikirim oleh pemerintah Kanada ke 139 sekolah berbasis asrama yang dijalankan oleh gereja sebagai bagian dari kebijakan asimilasi paksa yang gagal.
Anak-anak dipisahkan dari keluarga, bahasa dan budaya mereka selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Banyak yang menghadapi kekerasan fisik dan seksual di tangan kepala sekolah dan guru, sementara ribuan diyakini telah meninggal karena penelantaran, kekurangan gizi dan penyakit.
Sejak tahun lalu, ratusan jenazah anak-anak Pribumi di kuburan tak bertanda telah ditemukan di lokasi bekas sekolah, dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasi nasional mengecam "genosida budaya."
Vatikan menahan diri dari menggunakan istilah "genosida" dan malah meminta maaf atas "penghancuran budaya" di sekolah-sekolah.
Dalam pergeseran dari sebagian besar tur kepausan, protokol diplomatik akan mengambil kursi belakang untuk pertemuan pribadi dengan para penyintas First Nations, Metis dan Inuit.
Paus Fransiskus akan mengakhiri perjalanannya dengan kunjungan ke Iqaluit, Nunavut untuk meminta maaf kepada komunitas Inuit sebelum kembali ke Roma.
Jackson Pind, seorang sejarawan, mengatakan kepada DW bahwa masyarakat adat perlu melihat "tindakan nyata" dan "bukan hanya kata-kata."
Salah satu tindakan yang bisa dilakukan Vatikan adalah membuka arsip bagi para peneliti dan sejarawan lain untuk menemukan kebenaran tentang penyalahgunaan yang merajalela, kata Pind. Dia menambahkan bahwa Vatikan juga memiliki "sejumlah besar artefak" yang diambil ketika penduduk asli dipaksa masuk ke sekolah-sekolah ini yang harus dikembalikan.
Advertisement