Liputan6.com, Jakarta - AS mengemukakan dalam sebuah laporan hari Rabu (24/8) bahwa China berupaya “memanipulasi dan mendominasi wacana global mengenai Xinjiang dan mendiskreditkan sumber-sumber independen yang melaporkan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang tengah berlangsung terhadap warga Uighur yang mayoritas Muslim” dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Dilansir VOA Indonesia, Minggu (26/8/2022), laporan Departemen Luar Negeri AS itu mengatakan metode yang digunakan China antara lain menekan laporan mengenai kekejaman dan membanjiri jaringan media sosial dengan cerita-cerita positif dan bohong mengenai Xinjiang.
Baca Juga
Taktik lain yang disebut dalam laporan itu adalah penggunaan kampanye intimidasi untuk membungkam pengkritik, yang dapat berupa ancaman kematian dan serangan, serangan siber dan pelecehan lainnya.
Advertisement
Departemen Luar Negeri mengatakan Komisi Urusan Dunia Siber dan Departemen Propaganda Pusat China memiliki jutaan karyawan dan sukarelawan yang melakukan upaya semacam itu. Mereka menarget orang-orang di dalam China maupun diaspora Tionghoa.
Pekan lalu, pakar PBB mengenai perbudakan mengeluarkan laporan yang mengatakan “masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kerja paksa di kalangan warga etnik Uighur, Kazakh dan etnik minoritas lainnya dalam berbagai sektor seperti pertanian dan manufaktur telah terjadi di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di China.”China telah membantah tuduhan mengenai pelecehan terhadap warga Uighur di Xinjiang.
Kecam Dugaan Genosida Etnis Uighur, AS Akan Blokir Impor dari Xinjiang China
Kementerian Luar Negeri China pada Kamis (2/6) menanggapi dengan marah pengumuman bahwa akhir bulan ini pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan mulai memberlakukan undang-undang baru yang melarang impor produk-produk buatan tenaga kerja paksa di provinsi Xinjiang ke Amerika Serikat.
Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA), yang ditandatangani Biden pada Desember lalu, mulai berlaku pada 21 Juni mendatang.
Di bawah undang-undang tersebut, badan Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai AS akan memperlakukan barang apa pun yang dibuat di Xinjiang, baik seluruhnya atau sebagian, sebagai produk kerja paksa, kecuali jika importir bisa menunjukkan “bukti yang jelas dan meyakinkan” bahwa barang itu bukan produk kerja paksa.
Advertisement
Genosida Terhadap Uighur
Undang-undang itu disahkan dengan dukungan bipartisan yang kuat, seiring bergabungnya para anggota Kongres AS dari kedua partai untuk mengutuk perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (4/6/2022).
Amerika, Kanada, Inggris, Belanda dan berbagai kelompok hak asasi manusia menuduh China melakukan genosida terhadap warga Uighur, dengan rezim yang mencakup aksi pemenjaraan massal dan kerja paksa, pendirian kamp “pendidikan ulang” besar-besaran, sterilisasi paksa, pengawasan secara menyeluruh terhadap warga Uighur, serta pemisahan anak-anak dari keluarga mereka.
China sendiri telah membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan tegas. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Kamis (2/6) mengulangi bantahan tersebut sambil mengutuk pengumuman AS bahwa UFLPA akan segera berlaku.
Konsekuensi Mengerikan
Zhao memperingatkan konsekuensi mengerikan yang akan dikenakan menyusul diberlakukannya undang-undang tersebut.
“Apabila diberlakukan, undang-undang itu akan secara serius mengganggu kerja sama normal antara para pengusaha China dan Amerika, merusak stabilitas rantai pasokan global, dan pada akhirnya merugikan kepentingan AS sendiri,” katanya.
“Kami mendesak AS untuk menahan diri agar tidak memberlakukan undang-undang itu, berhenti menggunakan isu terkait Xinjiang untuk mencampuri urusan dalam negeri China dan menahan perkembangan China. Apabila AS tetap bertekad melakukannya, maka China akan mengambil tindakan tegas untuk membela kepentingan dan martabatnya sendiri dengan tegas.”
Advertisement