Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Human Rights Watch Kutuk Rusia yang Pakai Bom Tandan di Ukraina

Penggunaan bom tandan (cluster munitions) oleh Rusia menuai kecaman keras dari Human Rights Watch (HRW).

Liputan6.com, Kyiv - Senjata yang Rusia gunakan di invasinya ke Ukraina dikritik keras oleh Human Rights Watch (HRW). Pasalnya, Rusia menggunakan bom tandan (cluster munitions) yang telah dilarang oleh banyak negara.

Bom tandan bisa menyebarkan "bomblet". Pemakaiannya dilarang berdasarkan Convention on Cluster Munitions (CCM) di Oslo pada 2008. Namun, Amerika Serikat dan Rusia sama-sama belum menandatangani konvensi ini.

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (26/8/2022), bom tandan yang dipakai militer Rusia dalam perang melawan Ukraina telah menyebabkan kerugian dan penderitaan yang berkepanjangan bagi ratusan warga, menurut laporan Human Rights Watch yang diterbitkan hari Kamis (25/8).

Dalam laporan Pengawasan Bom Tandan 2022 global yang disusunnya, organisasi pemantau HAM yang bermarkas di New York itu mengatakan bahwa Ukraina adalah satu-satunya negara di mana bom tandan digunakan saat ini. HRW mendesak Rusia dan Ukraina untuk berhenti menggunakan alat peledak itu dan bergabung dengan perjanjian internasional yang melarang penggunaannya.

Rusia telah menggunakan bom tandan secara ekstensif sejak menginvasi Ukraina 24 Februari lalu, sementara pasukan Ukraina tampaknya juga menggunakan alat yang sama setidaknya tiga kali dalam perang itu, menurut laporan tersebut.

Bom tandan, yang dapat ditembakkan dengan artileri dan roket atau dijatuhkan dari pesawat, terbuka di udara, menyebarkan banyak bom atau submunisi ke wilayah yang luas. Bom-bom iitu bisa membunuh  personel militer maupun warga sipil Ukraina, termasuk anak-anak.

2 dari 4 halaman

Ratusan Warga Sipil Jadi Korban

Laporan itu menyebut bahwa sedikitnya terdapat 689 warga sipil yang dilaporkan menjadi korban jiwa akibat serangan bom tandan di Ukraina sejak invasi Rusia dimulai hingga bulan Juli.

Laporan itu mengatakan ratusan serangan bom tandan Rusia telah didokumentasikan, dilaporkan, atau diduga dilancarkan di setidaknya 10 dari 24 wilayah Ukraina.

Rusia tidak membantah menggunakan bom tandan di Ukraina. Negara itu menganggap bom tandan sebagai “bentuk munisi yang legal,” yang “hanya berbahaya jika disalahgunakan.”

Laporan itu juga menyebut bahwa Ukraina pun tampaknya telah menggunakan bom tandan pada setidaknya tiga serangan di lokasi-lokasi yang dikuasai pasukan bersenjata Rusia atau kelompok bersenjata afiliasinya pada saat itu.

Seperti Rusia, Ukraina tidak membantah penggunaan bom tandan dalam konflik itu. Akan tetapi, pihak Ukraina menyatakan bahwa “Pasukan Bersenjata Ukraina mematuhi norma-norma hukum kemanusiaan internasional dengan ketat,” tulis laporan itu.

Rusia maupun Ukraina tidak menjadi bagian dari Konvensi Bom Tandan 2008 yang melarang penggunaan amunisi jenis tersebut dan telah diratifikasi oleh sedikitnya 110 negara dan ditandatangani oleh 13 negara lainnya.

Laporan itu menyebut penyelidikan HRW di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina, menemukan bahwa pasukan Rusia meluncurkan roket bom tandan. Submunisinya menghantam rumah-rumah, jalan-jalan dan taman-taman kota, serta klinik rawat jalan di sebuah rumah sakit bersalin dan sebuah pusat kebudayaan pada bulan Mei dan Juni.

3 dari 4 halaman

Ukraina Tak Pakai Bom Tandan

Serangan pada 12 Mei terhadap kota Derhachi, di dekat Kharkiv, langsung menewaskan seorang perempuan yang tengah memasak di kebun rumahnya dan melukai kedua kaki sang suami, yang kemudian juga meninggal dunia.

Penurunan jumlah korban bom tandan dalam beberapa tahun terakhir kini tertutupi oleh penggunaan alat itu di Ukraina semenjak invasi Rusia Februari lalu, menurut laporan HRW.

Rusia menggunakan pasokan bom tandan lama dan yang baru diproduksi dalam serangannya di Ukraina, ungkap laporan itu.

Pada sisi lain, HRW tidak menemukan bukti bahwa pasokan bom tandan termasuk di antara artileri, sistem roket, maupun senjata lain yang diterima pemerintah Ukraina dari negara-negara lain tahun ini.

AS terakhir kali memproduksi bom tandan pada tahun 2016, kata laporan itu. Akan tetapi, Washington belum bergabung dalam konvensi bom tandan atau berkomitmen untuk tidak akan lagi memproduksinya pada masa depan.

Laporan itu juga menyebut Tiongkok dan Iran sebagai pihak-pihak yang secara aktif terlibat dalam penelitian dan pengembangan jenis-jenis baru bom tandan.

Laporan itu akan dipresentasikan di hadapan negara-negara yang menghadiri pertemuan tahunan Konvensi Bom Tandan ke-19 di markas PBB di Jenewa pada 30 Agustus hingga 2 September.

4 dari 4 halaman

Kepala Urusan HAM PBB Desak Putin Akhiri Perang Ukraina

Sebelumnya dilaporkan, Kepala urusan HAM PBB Michelle Bachelet, Kamis (25/8), meminta Presiden Rusia Vladimir Putin agar “menghentikan serangan bersenjata terhadap Ukraina.”

Berbicara sehari setelah konflik itu memasuki bulan keenam, Bachelet menyoroti situasi terkait pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Zaporizhzhia, dengan mengatakan pertempuran di daerah itu menimbulkan “risiko yang tidak dapat dibayangkan” terhadap warga sipil dan lingkungan.

Rusia dan Ukraina telah saling menuding pihak laik terkait serangan di dekat PLTN itu. Badan Energi Atom Internasional menyatakan siap mengirim tim-tim ke lokasi tersebut untuk memastikan keamanannya.

Bachelet pada Kamis juga mengatakan bahwa pasukan Rusia maupun Ukraina harus mematuhi hukum HAM internasional, sementara masyarakat internasional harus memastikan pertanggungjawaban atas pelanggarannya.

Para pejabat Ukraina Kamis mengatakan korban tewas akibat serangan rudal Rusia terhadap sebuah stasiun kereta di Ukraina Timur bertambah menjadi 25 setelah beberapa mayat lagi ditemukan di antara puing-puing di kota Chaplyne.

“Serangan rudal Rusia terhadap stasiun kereta api yang penuh warga sipil di Ukraina cocok dengan pola kekejaman,” cuit Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken. “Kami, bersama dengan mitra-mitra kami dari seluruh dunia, akan terus mendukung Ukraina dan menuntut pertanggungjawaban para pejabat Rusia.”