Liputan6.com, Leshoto - Perdana Menteri Lesotho Thomas Thabane pada hari Sabtu, 30 Agustus 2014 menuduh tentara negaranya melakukan kudeta terhadapnya dan mengatakan dia sengaja melarikan diri ke Afrika Selatan, tetapi militer membantah berusaha untuk menggulingkannya dan mengatakan tentaranya telah kembali ke barak.
Tembakan terdengar di Maseru, ibu kota kerajaan Afrika Selatan dan unit-unit tentara menduduki markas polisi serta mengepung kediaman perdana menteri, kata penduduk dan diplomat.
“Ini kudeta militer karena dipimpin oleh militer. Dan militer berada di luar instruksi panglima tertinggi, yang adalah saya sendiri,” kata Thabane kepada ENCA TV Afrika Selatan melalui telepon.
Advertisement
Thabane mengatakan kepada BBC bahwa dia telah melarikan diri ke negara tetangga Afrika Selatan.
"Saya akan kembali segera setelah hidup saya tidak dalam bahaya," katanya.
Lokasi tepatnya tidak segera diketahui.
Thabane mengatakan, dia akan bertemu dengan para pemimpin Afrika Selatan, yang mewakili Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC) regional pada Sabtu malam untuk membahas krisis di Lesotho, yang mengikuti ketegangan antara faksi-faksi saingan dari koalisi pemerintahan yang berusia dua tahun.
Dugaan Adanya Kudeta Militer
Penduduk dan diplomat mengatakan bahwa tentara bersenjata lengkap telah mengepung Istana Negara dan juga menduduki markas utama kepolisian.
Para diplomat mengatakan bahwa tentara sebagian besar setia kepada Wakil Perdana Menteri Mothetjoa Metsing, yang telah bersumpah untuk membentuk koalisi baru yang akan menggulingkan Thabane, yang pada bulan Juni di tahun itu menangguhkan parlemen untuk menghindari mosi tidak percaya.
Angkatan Pertahanan Lesotho membantah upaya kudeta terhadap Thabane, dengan mengatakan pihaknya telah bergerak melawan elemen polisi yang diduga berencana mempersenjatai faksi politik, kata seorang juru bicara militer.
"Tidak ada yang seperti itu, situasi telah kembali normal militer telah kembali ke barak mereka," kata Mayor Ntlele Ntoi kepada Reuters. Dia menambahkan militer “mendukung pemerintah yang dipilih secara demokratis saat itu.”
Dilansir dari france24 Sabtu (30/8/2014) Sumber-sumber diplomatik mengatakan tentara mengambil tindakan setelah perdana menteri memecat komandan tentara, Letnan Jenderal. Kennedy Tlali Kamoli. Juru bicara militer mengatakan Kamoli masih bertanggung jawab atas militer.
Advertisement
Aktivitas Warga Terhenti Sementara
Warga mengatakan, jalan-jalan ibu kota tenang, meskipun beberapa toko tetap tutup.
Afrika Selatan dan kelompok regional SADC diperkirakan akan mengeluarkan seruan untuk tenang dan memperingatkan saingan politik Lesotho bahwa tidak ada perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional yang akan ditoleransi.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1966, Lesotho telah mengalami sejumlah kudeta militer. Pada tahun 1998 setidaknya 58 penduduk setempat dan delapan tentara Afrika Selatan tewas dan sebagian besar Maseru rusak selama pertikaian politik dan pertempuran berikutnya.
Selain ekspor tekstil dan sepotong penerimaan bea cukai regional, penghasil besar Lesotho lainnya adalah tenaga air yang diekspor ke Afrika Selatan dari pegunungan besar yang menjadikannya favorit penggemar trivia sebagai "negara tertinggi di dunia" an juga titik terendahnya adalah 1.380 meter ( 4.528 kaki) di atas permukaan laut.
Audiensi dengan Raja
Setelah kurang lebih 4 hari melarikan diri ke negara tetangga yaitu Afrika Selatan
Sebuah sumber di Maseru mengatakan kepada BBC bahwa Thabane dan Metsing dikawal ke ibu kota oleh polisi Afrika Selatan.
Dilaporkan kota tenang, dengan bisnis berjalan seperti biasa.
Polisi Afrika Selatan menjaga rumah negara, kediaman resmi perdana menteri, dan rumah Metsing, kata sumber tersebut.
Perdana Menteri Thabane dan para wakilnya akan menghadap Raja Letsie III nanti untuk menyampaikan laporan tentang pertemuan yang diadakan pada hari Minggu dan Senin di Afrika Selatan untuk menyelesaikan krisis.
Dilansir dari BBC News Rabu (3/9/2014) Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma mengadakan pembicaraan terpisah, di bawah naungan blok regional Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC), dengan Tabane dan Metsing.
Setelah itu, SADC mengatakan bahwa pertemuan yan dilakukan dengan tujuan untuk mengirim tim pengamat ke Lesotho dan kedua pemimpin sepakat untuk "menghapus jadwal" yang akan mengarah pada pemulihan parlemen.
Advertisement