Liputan6.com, Brasilia - Anggota terakhir dari suku pedalaman di negara bagian Rondônia, Brasil, dinyatakan meninggal dunia. Laki-laki itu hidup sebatang kara selama 26 tahun terakhir usai anggota sukunya dibunuh beberapa dekade lalu.
Berdasarkan laporan BBC, Senin (29/8/2022), tubuhnya ditemukan pada 23 Agustus 2022 pada sebuah hammock di depan gubuk jerami miliknya. Tak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya atau tempat tinggalnya.
Advertisement
Baca Juga
Mayoritas anggota sukunya dibunuh pada awal 1970-an oleh para peternak yang ingin memperluas lahan. Enam rekan dari sukunya dibunuh pada 1995. Sejak saat itu, ia sendirian.
Sebatang Kara
Sejak 1996, laki-laki itu telah dipantau oleh Badan Urusan Pribumi di Brasil (Funai), meski ia tetap memilih hidup sendiri. Menurut laporan The Guardian, agen Funai kerap memberikan hadiah untuk orang tersebut, tetapi ditolak.
Ada dugaan bahwa dulu sukunya diberikan gula oleh para peternak ilegal, namun ternyata malah mengandung racun tikus yang membunuh anggota-anggota sukunya.
Kabar kematiannya juga viral di Twitter dan mengundang simpati mendalam dari para netizen.
Yesterday, the last survivor of an uncontacted Amazonian tribe died in Northern Brazil, effectively wiping out his community.Known as "Indian of the Hole" (indio do buraco), the man had lived uncontacted in complete isolation for the last 30 years, and his language is unknown pic.twitter.com/RZT9f9QNUO
— Shoko Asahara Appreciation Consortium 🇷🇼 (@Citizen09372364) August 28, 2022
Terakhir kali orang suku pedalaman itu terlihat adalah tahun 2018. Ia terlihat memotong pohon dengan sesuatu seperti kapak. Sejak itu ia tak pernah terlihat lagi, meski agen dari Funai mengetahui lokasi gubuk-gubuk orang itu, serta lubang yang ia gali.
Usia orang itu diperkirakan sekitar 60 tahun. Ia dijuluki Man of the Hole atau Pria Lubang karena memakai lubang sebagai tempat persembunyian atau menjebak binatang.
Petugas menyimpulkan anggota suku pedalaman itu meninggal karena sebab alami. Namun, polisi Brasil tetap akan melakukan investigasi.
Hak Masyarakat Adat
Beralih ke isu hak masyarakat adat di dalam negeri, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak Gubernur Riau Syamsuar membuat kebijakan yang memperhatikan masyarakat adat. Jika dalam sebulan tak direalisasikan, Walhi akan menempuh jalur hukum bersama masyarakat adat.
Tak hanya gubernur, gugatan ini juga bisa menyasar bupati atau wali kota di Bumi Lancang Kuning. Pasalnya di setiap daerah masih ada masyarakat adat yang kurang diperhatikan pemerintah.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Even Sembiring menjelaskan, Gubernur Riau sempat mengakomodasi masyarakat adat dalam Program Riau Hijau. Hal itu tertuang Peraturan Gubernur Riau Nomor 9 Tahun 2021 tapi belum ada tindakan nyata.
Menurut Even, ini seharusnya tidak terjadi karena terdapat dua Perda yang dapat digunakan untuk mengakselerasi komitmen mengakomodir masyarakat adat. Keduanya adalah Perda Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dan Perda Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di sisa masa jabatannya, tambah Even, Gubernur Syamsuar seharusnya menaruh urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Riau dalam kerangka Riau Hijau sebagai prioritas.
"Apabila dalam satu bulan ini tidak ada progres kebijakan dan tindakan signifikan yang dilakukan Gubernur, Walhi Riau menawarkan peluang penggunaan jalur litigasi kepada masyarakat adat, sama halnya, ketika kami pada 2017 memfasilitasi beberapa masyarakat adat untuk menggunakan hak gugatnya untuk menguji Perda Nomor 10/2014," jelas Even.
"Bukan hanya Gubernur Riau, bahkan para bupati dan wali kota se Provinsi Riau bisa kami tarik menjadi tergugat karena abai atau sengaja tidak menggunakan kewenangannya menerbitkan kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat," sebut Even.
Advertisement
Belajar dari Duano
Sementara itu, Ketua Ikatan Keluarga Duano Riau Hasanuddin, menceritakan masa kecilnya yang serba susah sebagai masyarakat adat Suku Duano. Dia mengakui adanya kelemahan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga masyarakat kesulitan.
Hasanuddin menceritakan, masyarakat Duano mempunyai kearifan yang baik dalam perlidungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat adat Duano yang tinggal di wilayah pesisir memposisikan hutan mangrove sebagai ekosistem penting.
Bagi masyarakat Duano, mangrove merupakan nafas kehidupan. Ekosistem tersebut adalah tempat masyarakat Duano mengumpul hasil hutan untuk kebutuhan dan menjadi pelindung dari ancaman abrasi.
Sayangnya, kearifan menjaga mangrove diganggu aktivitas tebang liar sekelompok orang yang tidak bertangung jawab. Gangguan tersebut tidak terlepas dari masyarakat adat Duano yang belum diakui sebagai subjek hukum sehingga legalitas atas wilayah adatnya tidak diakui.
Selain itu, masyarakat adat dalam menangkap ikan dengan alat tangkap ramah lingkungan lagi-lagi diganggu oleh nelayan luar yang menangkap ikan dengan alat tangkap yang merusak, yang mana ukuran alat tangkapnya mengambil habis ikan hingga ukuran kecil.
"Saat ini, masyarakat Duano juga membutuhkan hutan adat yang berada di wilayah darat," jelasnya.
Hal ini, sambung Hasanuddin, terlepas dari kondisi cuaca, karena pada musim selatan, masyarakat Duano tidak dapat melaut dalam waktu satu hingga dua bulan. Sedangkan, di musim utara, pada saat musim gadai sulit untuk melaut juga.
Keadaan ini menyulitkan masyarakat Duano memenuhi kebutuhan hidupnya. Mitigasi utamanya, masyarakat adat Duano harus mulai bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhannya.
"Legalitas merupakan kebutuhan masyarakat Duano," tegas Hasanuddin.
Sebatas Tari-tarian
Budy Utami sebagai penulis di Riau menyebut fokus Riau Hijau dalam perlindungan masyarakat adat tidak masuk pada persoalan substansi. Belum menyentuh kebutuhan pembentukan kelembagaan dan penguatan substansi produk hukum.
Pasalnya selama ini, keindahan budaya masyarakat adat hanya disajikan dalam tari-tarian, dianggap objek indah tapi tidak mendudukkan mereka seutuhnya sebagai subjek.
"Kepekaan pemerintah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Riau harus dilakukan dengan memposisikan mereka selaku negara sebagai bagian dari masyarakat adat," terang Budy.
Budy menghimbau pemerintah mengambil posisi sebagai outsider tapi menjadi bagian dari masyarakat adat. Sehingga derita dan kesusahan masyarakat adat membuat Gubernur dan pemerintah lain dapat mereka rasakan dan mengesahkan terbitnya peraturan dan tindakan yang dibutuhkan.
Advertisement