Sukses

Survei SMRC: 67 Persen Orang Indonesia Tidak Tahu G20

Mayoritas warga Indonesia sepertinya tidak tertarik dengan G20.

Liputan6.com, Jakarta - Survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia tidak tahu soal G20, padahal sudah berbulan-bulan berbagai forum G20 dilangsungkan. Sangat sedikit sekali orang Indonesia yang mengetahui acara tersebut.

"Hanya 33 persen publik Indonesia yang mengetahui tentang G20," tulis rilis resmi dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Selasa (30/8/2022).

Pertanyaan dari SMRC adalah: Apakah Ibu/Bapak tahu (mendengar, membaca, melihat) negara-negara di dunia yang berkumpul dalam wadah yang disebut 20 negara yang ekonominya terbesar di dunia (G20)?

Hasilnya, 33 persen menjawab Ya, sementara 67 persen menjawab tidak.

Selanjutnya, hanya 18,5 persen responden yang sudah tahu bahwa Indonesia bergabung dengan G20 sejak 1999. 

Sedikit pula responden yang tahu kalau Indonesia saat ini memimpin G20, yakni hanya 23 persen. Ketika yang mengetahui kepemimpinan G20 ditanya apakah Indonesia mampu memimpin G20, jumlah yang menjawab setuju mencapai 83 persen (atau 19 persen dari total populasi).

Acara puncak akan digelar pada 15-16 November 2022 di Bali. Presiden Joko Widodo telah mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk ikut hadir. 

Yang mengetahui pertemuan puncak itu juga sedikit.

"Lebih jauh survei ini juga menemukan bahwa ada 24 persen warga yang mengetahui Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang akan dilaksanakan pada November 2022. Mayoritas dari yang tahu (88 persen) yakin Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo bisa melaksanakan KTT tersebut dengan baik. Hanya ada 11 persen yang tidak yakin dan 1 persen yang belum menjawab," tulis pihak SMRC.

 

2 dari 4 halaman

G20 Penting Bagi Indonesia

Selanjutnya, mayoritas publik menganggap pertemuan anggota G20 penting bagi Indonesia, meski banyak responden yang tidak mengetahui G20. 

"Hasil survei yang disampaikan Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, tersebut menunjukkan sebanyak 90 persen publik yang tahu Indonesia menjadi tuan rumah bagi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G20 menilai pertemuan ini penting bagi Indonesia. Hanya 9 persen yang menganggap forum ini tidak penting dan 1 persen yang tidak menjawab," tulis keterangan pihak SMRC. 

Di antara yang tahu Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20, ada 81 persen yang sangat atau cukup yakin KTT ini akan membawa manfaat bagi Pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kenaikan harga. Hanya ada 14 persen yang tidak yakin dan 4 persen yang tidak menjawab.

Survei ini dilakukan secara tatap muka pada 5-13 Agustus 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 1220 responden. 

Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1053 atau 86%. Sebanyak 1053 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling).

3 dari 4 halaman

Wapres Ma’ruf Amin Tinjau Venue KTT G20

Wakil Presiden Ma’ruf Amin meninjau salah satu venue KTT G20 di Hotel The Apurva Kempinski, Nusa Dua Bali, Selasa (30/8). Ma’ruf berharap Indonesia akan menjadi tuan rumah yang baik dengan memberikan pelayanan sempurna kepada seluruh delegasi.

Sebagai pemegang Presidensi G20 2022, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 mendatang. 

"Saya tadi diberikan berbagai informasi tentang persiapan penyelenggaraan KTT G20 dan saya berharap bahwa kita memang harus menjadi tuan rumah yang baik. Tuan rumah yang bisa memberikan pelayanan yang sempurna," kata Ma'ruf saat memberikan arahan kepada peserta Rapat Koordinasi Penyelenggaraan KTT G20 Indonesia, The Apurva Kempinski Bali, Selasa (30/8).

Ma’ruf meminta agar panitia nasional KTT G20 Indonesia belajar dari penyelenggaraan KTT G20 yang lalu, sehingga dapat memperbaiki segala kekurangan dan tidak mengulangi kesalahan sebelumnya.

"Jangan kita nanti kesannya (tidak baik). Ada dua hal yang tentu secara agenda, yakni agenda yang kita siapkan dan juga pelayanan yang harus kita berikan. Keduanya harus sempurna dan menjadi kesan yang terbaik," tegasnya

"Agenda kita juga agenda yang ingin membawa kebaikan bersama, bangkit bersama, tangguh bersama, dalam menghadapi berbagai tantangan dan pemulihan, tetapi juga penyelenggaraan kita di berbagai aspeknya, dari pelayanan pengamanan hingga akomodasinya," imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Kepentingan Nasional di Tengah Dinamika Global

Ketua Program Studi Studi Wilayah Eropa Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Universitas Indonesia (SKSG-UI) Henny Saptatia mengatakan secara alamiah negara-negara kaya akan selalu menggunakann kekuatannya untuk memaksakan kepentingan mereka pada level global. 

Pemaksaan kepentingan oleh negara-negara kaya ini tak jarang dilakukan dengan cuci tangan atas dampak buruk yang kerap dihasilkan. Lebih parah, mereka justru sering membebankan negara-negara lemah untuk bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.

Hal tersebut disampaikan Henny Saptatia sebagai narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia bertajuk Kolaborasi Kepemimpinan G20: Konektivitas dan Rantai Pasok Global, pekan lalu di Jakarta.

“Negara-negara kaya menggunakan berbagai cara seperti menggunakan pihak ketiga untuk membebankan eksternalitas negatif dari perekonomian dunia kepada negara-negara lemah. Padahal, penyumbang terbesar dari eksternalitas tersebut justru negara-negara kaya,” kata Henny, dikutip Kamis (25/8/2022).

Sementara Professor Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani menambahkan bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia juga merupakan refleksi dari kebijakan politik dalam negerinya.

“Sehingga butuh soliditas dalam perpektif pengambil kebijakan strategis Indonesia. Dengan demikian, Indonesia mampu membangun kemandirian untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar negara. Kemandirian ini juga sangat penting sebagai modal Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam kancah global,” jelas Evi.