Liputan6.com, Baghdad - Sedikitnya 23 orang tewas dalam beberapa insiden bentrokan dan keributan terburuk selama bertahun-tahun di ibu kota Irak, Baghdad.
Kerusuhan ini dipicu oleh keputusan seorang pemimpin dan ulama Irak yang mundur dari dunia politik, sehingga pendukungnya mengecam pemerintah.
Baca Juga
Tembakan terdengar ketika pendukung ulama Muslim Syiah Moqtada al-Sadr bentrok dengan pasukan keamanan dan milisi yang bersekutu dengan Iran, seperti dikutip dari laman BBC, Rabu (31/8/2022).
Advertisement
Sadr telah memerintahkan para pendukungnya untuk mundur dan pulang setelah berunjuk rasa di luar parlemen, tempat mereka melakukan protes selama berminggu-minggu.
Irak telah berada dalam keadaan lumpuh sejak pemilihan umum yang tidak meyakinkan pada tahun 2021.
Kekerasan dimulai pada Senin kemarin setelah Sadr, salah satu tokoh paling berpengaruh di Irak, mengatakan dia menarik diri dari urusan politik.
Blok dari Sadr memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan Oktober tahun lalu, tetapi tidak dapat bisa melakukan pembentukan pemerintahan baru dengan blok terbesar kedua, yang sebagian besar terdiri dari partai-partai yang didukung pertahana Iran.
Pernah menjadi sekutu Iran, Sadr kini telah memposisikan dirinya sebagai seorang nasionalis yang ingin mengakhiri pengaruh AS dan Iran atas urusan dalam negeri Irak.
Kerusuhan telah terjadi antara milisi Sadr, yang dikenal sebagai Brigade Perdamaian, milisi yang didukung oleh Iran, dan anggota pasukan keamanan Irak.
Sebagian besar kekerasan terkonsentrasi di sekitar Zona khusus pusat kota, daerah yang dijaga ketat yang menampung gedung-gedung pemerintah dan kedutaan asing. Staf kedutaan Belanda terpaksa pindah ke misi Jerman karena bentrokan.
Iran Tutup Perbatasan dengan Irak
Iran telah menutup perbatasannya dengan Irak sebagai tanggapan atas kerusuhan tersebut, dan Kuwait telah mendesak warganya untuk segera meninggalkan negara itu.
Semua yang tewas adalah pendukung Sadr, sementara sekitar 380 lainnya terluka, kata petugas medis Irak, menurut kantor berita AFP.
Seorang juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dia khawatir dengan peristiwa itu dan menyerukan "langkah-langkah segera untuk meredakan situasi".
Pada Selasa kemarin, Sadr meminta maaf kepada rakyat Irak atas kekerasan tersebut dan menginstruksikan para pendukungnya untuk meninggalkan protes.
"Ini bukan revolusi karena insiden ini telah kehilangan karakter damainya," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi.
"Menumpahkan darah di Irak sangat dilarang."
Moqtada al-Sadr (48) telah menjadi tokoh dominan dalam kehidupan publik dan politik Irak selama dua dekade terakhir.
Tentara Mahdi-nya muncul sebagai salah satu milisi paling kuat yang memerangi AS dan tentara baru Irak setelah invasi 2003 yang menggulingkan mantan penguasa Saddam Hussein.
Dia kemudian mengganti namanya menjadi Peace Brigades atau Brigade Perdamaian.
Advertisement
Istana Kepresidenan Irak Diserbu
Warga Irak menyerbu istana kepresidenan usai kabar pensiunnya tokoh politik dan ulama Syiah, Moqtada Al-Sadr (48). Belasan orang dilaporkan tewas.
Dilaporkan BBC, Selasa (30/8/2022), Moqtada Al-Sadr adalah salah satu tokoh sentral dalam dunia politik Irak. Pada Oktober 2022, aliansi politiknya berhasl meraih banyak kursi di parlemen, namun mereka akhirnya mundur karena tak akur dengan rival mereka di parlemen yang sama-sama Syiah.
Ketidakcocokan itu dipicu oleh masalah pengangkatan perdana menteri Irak. Kini, Moqtada Al-Sadr memutuskan tidak lagi terlibat politik.
AP News melaporan bahwa ratusan pengikutnya menyerang istana pemerintahan dan menimbulkan bentrok dengan pasukan keamanan. Setidaknya 15 prostester terbunuh.
Usai merobohkan bagian depan istana, para protester juga menerobos masuk ke ruangan istana yang menjadi tempat pertemuan pemimpin Irak dengan para tamu-tamu kehormatan dari luar negeri.
Tim medis berkata lusinan protester terluka oleh senjata api, gas air mata, serta bentrok fisik dengan aparat. Setidaknya satu tentara dari divisi pasukan khusus dilaporkan terbunuh. Ada juga seorang wanita sipil yang terluka.
Kondisi politik Iran memang sedang berada dalam ketidakpastian usai kubu Moqtada Al-Sadr menolak menegosiasi soal perdana menteri baru.
Militer Irak telah mengumumkan jam malam, sesi kabinet ditunda akibat kerusuhan yang terjadi.
Berbeda dari Iran yang sepenuhnya dikendalikan pemerintahan Syiah, politik di Irak terbagi antara Syiah dan Sunni. Kelompok Syiah tertindas di masa Saddam Hussein hingga akhirnya ia dilengserkan lewat invasi yang dipimpin AS. Kini, kelompok Syiah masih memperebutkan kekuatan politik, serta ada juga elemen intervensi dari Iran.
Sudah Dikepung Sejak Juli
Sebelumnya dilaporkan, ratusan pengunjuk rasa telah melanggar zona keamanan tinggi di Baghdad dan masuk ke gedung parlemen Irak.
Dilansir BBC, Kamis (28/7), para pendukung ulama Muqtada al-Sadr menentang pencalonan calon perdana menteri yang bersaing.
Aliansi politik Sadr memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Oktober lalu, tetapi tidak berkuasa karena kebuntuan politik setelah pemungutan suara.
Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah pengunjuk rasa. Tidak ada anggota parlemen yang hadir pada saat itu.
Kelompok itu menembus Zona Hijau yang dijaga ketat di Baghdad - yang merupakan rumah bagi sejumlah bangunan paling penting di ibu kota termasuk kedutaan.
Sebuah sumber keamanan mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa pasukan keamanan pada awalnya tampaknya telah menghentikan para penyusup, tetapi mereka kemudian "menyerbu parlemen".
Perdana Menteri Irak saat ini, Mustafa al-Kadhimi, meminta pengunjuk rasa untuk meninggalkan gedung sementara orang banyak bernyanyi, menari dan berbaring di atas meja.
Kerusuhan menyusul sembilan bulan kebuntuan, di mana perselisihan antara faksi politik yang berbeda di negara itu telah mencegah pembentukan pemerintahan baru.
Sadr, seorang ulama Syiah yang menentang intervensi Amerika di Irak, mengklaim kemenangan gerakan nasionalis Saeroun setelah pemilihan Oktober.
Tetapi sejak itu terbukti tidak mungkin untuk membangun koalisi pemerintahan baru, karena Sadr telah menolak untuk bekerja dengan saingannya.
Dia dan pendukungnya telah menentang pencalonan Mohammed al-Sudani sebagai perdana menteri, karena mereka percaya dia terlalu dekat dengan Iran.Â
Advertisement