Liputan6.com, Jacobabad- Cuaca ekstrem yang terjadi dalam waktu singkat telah menyebabkan kerusakan di seluruh Jacobabad, Pakistan dan menyebabkan ratusan orang tewas, serta rumah-rumah dan infrastruktur pemerintah hancur.
Belum lama ini, Sara Khan, kepala sekolah di sekolah untuk anak perempuan yang kurang beruntung di Jacobabad, Pakistan Selatan, melihat beberapa siswa pingsan karena kepanasan di depan matanya sendiri, di kota terpanas di dunia, sekitar bulan Mei lalu.
Baca Juga
Setelah hujan monsun yang lebat menenggelamkan sebagian besar wilayah Jacobabad, kali ini, ruang kelasnya terendam banjir dan sekitar 200 siswanya kehilangan tempat tinggal, berebutan makanan, dan harus merawat sanak saudara yang terluka.
Advertisement
Peristiwa tersebut dalam waktu singkat telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri, menewaskan ratusan orang, memutus hubungan antar kelompok masyarakat, merusak rumah dan infrastruktur, serta meningkatkan masalah kesehatan dan ketahanan pangan.
Dikutip dari France 24, Menteri Perubahan Iklim Sherry Rehman, yang pada hari Rabu menyebut banjir sebagai "bencana skala dahsyat", mengatakan bahwa pemerintah telah mengumumkan keadaan darurat, dan meminta bantuan internasional.
Pakistan berada di urutan kedelapan dalam Indeks Risiko Iklim Global, sebuah daftar yang disusun oleh LSM lingkungan Germanwatch tentang negara-negara yang dianggap paling rentan terhadap cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Dikutip dari Aljazeera, Kamis (1/9/22), Jacobabad adalah kota yang tidak luput dari bencana. Pada bulan Mei, suhu disana menyentuh 50C (122F), mengeringkan dasar kanal dan menyebabkan beberapa penduduk pingsan karena kepanasan. Saat ini, sebagian kota terendam air, meskipun banjir telah berangsur-angsur surut dari pusatnya.
Korban Jiwa dan Kerusakan Parah
Di wilayah tempat tinggal Khan, di timur kota, rumah-rumah dilaporkan rusak parah. Khan juga mengatakan bahwa dia mendengar tangisan dari rumah tetangganya ketika atapnya runtuh karena kerusakan air, yang menewaskan putra mereka yang berusia sembilan tahun.
Banyak murid-muridnya yang tidak dapat kembali ke sekolah selama berbulan-bulan, yang menyebabkan mereka kehilangan waktu belajar selama gelombang musim panas yang ekstrem.
"Jacobabad adalah kota terpanas di dunia, ada begitu banyak masalah ... setelah masyarakat mengalami gelombang panas, sekarang mereka kehilangan rumah mereka yang hampir semuanya terendam banjir. Kini mereka telah menjadi tunawisma," kata Khan kepada kantor berita Reuters.
Menurut wakil komisaris kota, sembilan belas orang di kota berpenduduk sekitar 200.000 orang itu dipastikan tewas dalam banjir, termasuk anak-anak, sementara rumah sakit setempat melaporkan lebih banyak lagi yang sakit atau terluka.
Lebih dari 40.000 orang tinggal di tempat pengungsian sementara, sebagian besar mengungsi di sekolah-sekolah yang sesak dengan akses makanan yang terbatas.
Salah satu pengungsi, Dur Bibi yang berusia 40 tahun, duduk di bawah tenda di halaman sekolah dan mengenang saat dia melarikan diri ketika air melahap rumahnya dalam semalam.
"Saya menggendong anak-anak saya dan bergegas keluar rumah dengan kaki telanjang," katanya, seraya menambahkan bahwa satu-satunya hal yang sempat mereka bawa adalah salinan Al-Quran.
Empat hari kemudian, dia belum bisa mendapatkan obat untuk putrinya yang menderita demam.
"Saya tidak punya apa-apa, selain anak-anak. Semua barang di rumah saya telah tersapu bersih," katanya.
Advertisement
Cuaca Ekstrem
Tingkat kekacauan di Jacobabad, di mana banyak orang hidup dalam kemiskinan, memperlihatkan beberapa masalah yang dapat ditimbulkan dari cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim.
"Manifestasi dari perubahan iklim adalah semakin sering dan semakin intensnya cuaca ekstrem terjadi, yang akan kita lihat akan sama seperti yang kita saksikan di Jacobabad serta di tempat lain secara global selama beberapa bulan terakhir," kata Athar Hussain, kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim di COMSATS University, Islamabad.
Sebuah studi awal tahun ini oleh kelompok Atribusi Cuaca Dunia, salah satu tim ilmuwan internasional, menemukan bahwa gelombang panas yang melanda Pakistan pada bulan Maret dan April ternyata 30 kali lebih mungkin terjadi akibat adanya perubahan iklim.
Pemanasan global juga kemungkinan memperburuk banjir baru-baru ini, kata Liz Stephens, seorang ilmuwan iklim di University of Reading di Inggris. Hal itu disebabkan oleh atmosfer yang lebih panas yang dapat menahan lebih banyak uap air, dan pada akhirnya dilepaskan dalam bentuk hujan lebat.
Menteri Luar Negeri Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari mengatakan negaranya yang sangat mengandalkan pertanian, sedang terguncang.
"Jika Anda seorang petani di Jacobabad, Anda tidak bisa menanam tanaman Anda karena kelangkaan air dan suhu ekstrem selama gelombang panas lalu sekarang tanaman Anda rusak akibat musim hujan dan banjir," katanya kepada Reuters, dalam sebuah wawancara.
Membebani Layanan Vital
Di Jacobabad, pejabat kesehatan, pendidikan, dan pembangunan setempat mengatakan bahwa rekor suhu ekstrem yang diikuti oleh hujan lebat yang tidak biasa, telah membebani layanan vital kota.
Rumah sakit yang mendirikan pusat tanggap darurat panas pada bulan Mei, kini melaporkan bahwa banyak orang yang terluka akibat banjir dan pasien yang menderita gastroenteritis dan kondisi kulit yang buruk berdatangan.
Institut Ilmu Kedokteran Jacobabad (JIMS) mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir mereka telah merawat sekitar 70 orang yang cedera akibat puing-puing dalam banjir, termasuk luka dalam dan patah tulang.
Pada bulan Agustus lebih dari 800 anak dirawat di JIMS karena gastroenteritis, jumlah tersebut lebih banyak dua kali lipat daripada bulan sebelumnya yang hanya 380 anak.
Di Rumah Sakit Sipil sekitarnya, di mana sebagian lahannya terendam air, Dr Vijay Kumar mengatakan bahwa kasus-kasus pasien yang menderita gastroenteritis dan penyakit lainnya setidaknya meningkat tiga kali lipat sejak banjir.
Rizwan Shaikh, kepala petugas di Kantor Meteorologi Jacobabad, mencatat suhu tinggi 51C (123,8F) pada bulan Mei. Sekarang dia melacak suhu yang terus menerus lebih tinggi
Advertisement