Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara G7 sedang melaksanakan kampanye price cap terhadap penjualan barel minyak Rusia. Pihak Amerika Serikat (AS) berkata kebijakan itu bisa menguntungkan bagi para negara berkembang.
Salah satu motif dari price cap itu adalah supaya Rusia tidak bisa mendapatkan uang untuk mendanai perang mereka di Ukraina. Pejabat kementerian keuangan AS juga percaya ini bisa membuat ekonomi dunia lebih stabil.
Advertisement
Baca Juga
"Jika G7 tidak menerapkan kebijakan price cap ini, kami mengantisipasi terjadinya kenaikan harga global yang signifikan yang akan merugikan para konsumen dan bisnis di seluruh dunia dan banyak negara tempat kalian berada," ujar Asisten Sekretaris untuk Pendanaan Teroris dan Kejahatan Finansial di Kementerian Luar Negeri AS Elizabeth Rosenberg dalam teleconference Jumat (9/9/2022).
Rosenberg berkata G7 bisa memakai kebijakan price cap lewat perusahaan asuransi pengiriman minyak dari negara-negara G7. Negara yang membeli di tak berdasarkan price cap dapat diminta melakukan penyesuaian.
Menurut artikel Carnegie Endowment for International Peace, negara-negara G7 dan koalisinya memang mengendalikan pasar asuransi, meski Rusia sedang berusaha membuat asuransinya sendiri.
Lebih lanjut, Rosenberg berkata G7 belum menentukan batas price cap. Pertemuan akan dilakukan dalam beberapa pekan ke depan, serta aturan berpotensi diumumkan di akhir 2022.
Menguntungkan
Pihak Kementerian Energi AS berkata bahwa kebijakan price cap ke minyak Rusia bakal menguntungkan bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Mereka bakal jadi punya daya tawar agar mendapat harga terbaik.
"Kami berharap negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dapat membeli minyak-minyak murah Rusia di bawah sistem baru ini," Ben Harris, Konselor Menteri Energi AS.
Harris juga berkata negara-negara berkembang tidak perlu secara formal mengikuti koalisi price cap bersama G7, namun kebijakan ini tetap bisa menguntungkan mereka sebagai leverage saat membeli minyak Rusia.
Terkait Rusia yang sudah diskon minyak hingga 30 persen, Harris menilai itu pertanda bahwa Rusia sedang gelisah.
"Kami sudah melihat laporan-laporan publik bahwa Rusia menawarkan kontrak-kontrak jangka panjang dengan diskon signifikan 30 persen atau lebih, sebab mereka takut pada price cap. Ini berarti price cap berfungsi sebagaimana negara-negara memakai ini sebagai cara menawar dengan Rusia tanpa secara formal bergabung ke koalisi," ujar Ben Harris.
Dubes Rusia Tolak Price Cap
Pada Selasa (6/9), Komisioner Energi Kadri Simson dari Komisi Eropa juga mempromosikan agar negara-negara dunia menerapkan price cap jika ingin membeli minyak dari Rusia. Simson juga berharap Indonesia menerapkan kebijakan tersebut.
Menjawab hal tersebut, Dubes Rusia berkata tidak akan menjual minyak ke pihak-pihak yang lakukan price cap. Selain itu, price cap dinilai melanggar regulasi hukum dari World Trade Organization (WTO).
"Jika kamu ingin price cap, kita tidak menjual kepadamu minyak," ujar Dubes Lyudmila Vorobieva di rumah dinasnya, Jakarta, Rabu (7/9/2022). "Harganya harus dinegosiasi atau harus berdasarkan kontrak."
Jika Indonesia tidak mau beli, Dubes Rusia berkata itu tidak masalah, sebab ia menyebut masih banyak calon peminat minyak dari Rusia.
Sebelumnya anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa juga meminta agar pemerintah membeli minyak Rusia yang sedang diskon.
"Terkait dengan penawaran impor crude dari Rusia lebih murah 30 persen, kita ndak ambil alangkah gobloknya kita. Dengan crude murah nggak ada kenaikan BBM (subsidi). Malah turun kalau perlu harganya kan gitu," ujar anggota Komisi VII DPR RI asal Fraksi PKB Syaikhul Islam saat rapat dengan Menteri ESDM di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (24/8).
Pihak Kedutaan Besar Rusia berkata ada niat dari Indonesia untuk membeli, dan komunikasi telah dilakukan, tetapi tidak bisa menjanjikan bahwa harga bisa turun ketika impor dari Rusia.
"Tentang harga, prioritas pemerintah, tentu kami tidak akan berkomentar atau membuat prediksi. Tetapi kita siap (menjual minyak)," ujar Dubes Rusia.
Advertisement
OPEC+ Pangkas Produksi Minyak Mentah mulai Oktober 2022
Kelompok negara produsen minyak dunia para Senin setuju untuk mengurangi produksi minyak mentah. Pengurangan produksi ini yang akan dimulai pada bulan depan ini cukup kecil.
Keputusan kelompok eksportir minyak yang sering disebut dengan OPEC+ ini mengejutkan pasar energi karena dilakukan saat pasar energi bergejolak.
OPEC dan beberapa aliansi negara di luar OPEC memutuskan untuk memangkas target produksi sekitar 100 ribu barel per hari mulai Oktober 2022.
Analis energi padahal mengharapkan OPEC+ untuk tetap mengikuti kebijakan produksinya.
Bulan lalu, OPEC+ setuju untuk menaikkan produksi minyak hanya 100 ribu barel per hari. Dorongan yang sangat kecil itu secara luas ditafsirkan sebagai penolakan terhadap Presiden AS Joe Biden setelah kunjungannya ke Arab Saudi untuk meminta OPEC memompa lebih banyak untuk menurunkan harga dan membantu ekonomi global.
“Presiden (Joe Biden) telah mengambil tindakan termasuk melepas cadangan strategis dan bekerja dengan sekutu untuk membatasi harga minyak Rusia untuk memastikan kami mempertahankan pasokan minyak global. Bahkan saat kami menghukum Putin atas tindakannya,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean Pierre.
OPEC+ mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keputusan Senin untuk kembali ke tingkat produksi Agustus adalah karena penyesuaian ke atas "dimaksudkan hanya untuk bulan September."
Pertemuan OPEC+ berikutnya dijadwalkan pada 5 Oktober.
Presiden Partai Buruh Protes BBM Naik Saat Harga Minyak Dunia Turun
Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh menolak keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, kenaikan harga BBM ini justru dilakukan di tengah turunnya harga minyak dunia.
"Terlebih kenaikan ini dilakukan di tengah negara lain menurunkan harga BBM. Seperti di Malaysia, dengan Ron yang lebih tinggi dari pertalite, harganya jauh lebih murah," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal dikutip dari siaran persnya, Minggu (4/9).
Menurut dia, kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli yang saat ini sudah turun 30 persen. Dengan harga BBM naik, kata Iqbal, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50 persen.
"Penyebab turunnya daya beli adalah peningkatan angka inflansi menjadi 6.5 persen hingga - 8 persen sehingga harga kebutuhan pokok akan meroket," ujarnya.
Di sisi lain, Iqbal menuturkan upah buruh tidak naik dalam 3 tahun terakhir. Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan bahwa Pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021.
"Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi," tegas Iqbal.
Dia khawatir dengan naiknya harga BBM akan membuat ongkos energi industri melonjak. Hal itu bisa memicu terjadinya ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk itu, Partai Buruh dan Serikat Buruh akan melakukan aksi puluhan ribu buruh pada tanggal 6 September 2022 mendatang.
Di Jakarta, aksi demo akan dipusatkan di DPR RI untuk meminta Pimpinan DPR RI memanggil Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan para menteri yang terkait dengan kebijakan perekonomian.
"Pimpinan DPR dan Komisi terkait ESDM DPR RI harus berani membentuk Pansus atau Panja BBM," kata Said Iqbal menandaskan.
Advertisement