Liputan6.com, Beijing- China mengkonfirmasi bahwa Xi Jinping berencana untuk melakukan perjalanan ke Asia Tengah pekan ini.
Perjalanan ini merupakan yang pertama bagi presiden China ke luar negeri sejak pandemi COVID-19 melanda lebih dari dua tahun lalu.
Baca Juga
Presiden China Xi Jinping kabarnya akan mengunjungi Kazakhstan dan Uzbekistan pada 14-16 September 2022.
Advertisement
Dikutip dari The Straits Times, Senin (12/9/2022), Xi Jinping akan menghadiri pertemuan puncak para pemimpin Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) di Samarkand, Uzbekistan, dan "melakukan kunjungan kenegaraan ke Kazakhstan dan Uzbekistan", kata kantor berita Xinhua.
Pada hari Minggu, Kazakhstan dan Kremlin mengatakan bahwa Xi akan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, tepat sebulan sebelum ia ditetapkan sebagai pemimpin China paling kuat sejak Mao Zedong.
Uzbekistan sebagai negara tuan rumah KTT Organisasi Kerjasama Shanghai, yang akan memberi Xi Jinping kesempatan untuk bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk pertama kalinya sejak Moskow memulai invasinya ke Ukraina pada bulan Februari lalu.
Ajudan kebijakan luar negeri Putin, Yuri Ushakov, mengatakan kepada wartawan pekan lalu bahwa presiden Rusia diperkirakan akan bertemu Xi di KTT SCO. Akan tetapi, Kremlin menolak untuk memberikan rincian tentang pembicaraan mereka.
Pertemuan itu akan memberi Xi kesempatan untuk menegaskan pengaruhnya, sementara Putin dapat menunjukkan keberpihakan Rusia terhadap Asia; kedua pemimpin dapat menunjukkan oposisi mereka terhadap Amerika Serikat, saat Barat berusaha menghukum Rusia atas perang Ukraina.
Rusia-China akan 'Mengalahkan' Barat
"Xi dalam pandangan saya: dia ingin menunjukkan seberapa percaya diri dia di dalam negeri dan untuk dilihat sebagai pemimpin internasional dari negara-negara yang menentang hegemoni Barat," kata George Magnus, penulis "Red Flags", sebuah buku tentang tantangan Xi.
"Secara pribadi saya membayangkan bahwa Xi akan sangat cemas tentang bagaimana berjalannya perang yang diinisiasi oleh Putin, dan jika memang Putin atau Rusia bermain-main terkait hal ini, ini dikarenakan China masih membutuhkan kepemimpinan anti-Barat di Moskow.”
Rusia menderita kekalahan terburuknya dalam perang minggu lalu, dan meninggalkan benteng utamanya di timur laut Ukraina.
Hubungan kerja sama "tanpa batas" yang semakin dalam antara negara adidaya yang sedang naik daun, Tiongkok, dan raksasa sumber daya alam Rusia, adalah salah satu perkembangan geopolitik yang paling menarik dalam beberapa tahun terakhir - dan yang sedang diamati oleh Barat dengan cemas.
Setelah menjadi ‘pasangan senior’ dalam hirarki Komunis global, Rusia-setelah runtuhnya Uni Soviet tahun 1991-sekarang dianggap sebagai rekan junior dari Tiongkok-komunis yang bangkit kembali-yang diperkirakan akan mengalahkan Amerika Serikat di dekade berikutnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Meskipun terdapat banyak kontradiksi historis dalam hubungan keduanya, kedua pemimpin berusia 69 tahun itu malah mempererat hubungan mereka.
Perdagangan melonjak hingga hampir sepertiga antara Rusia dan China dalam tujuh bulan pertama tahun 2022.
Kunjungan tersebut "menunjukkan bahwa Tiongkok bersedia untuk tidak hanya melanjutkan 'bisnis seperti biasa' dengan Rusia, tetapi bahkan menunjukkan dukungan eksplisit dan mempercepat penguatan hubungan antara Tiongko-Rusia," kata Alexander Korolev, dosen senior di bidang politik dan hubungan internasional di UNSW Sydney.
"Beijing enggan menjauhkan diri dari Moskow bahkan ketika menghadapi masalah reputasi yang serius dan munculnya risiko menjadi target sanksi ekonomi berikutnya."
Advertisement
Sinyal Dukungan Xi Jinping
Xi terakhir kali pergi ke luar negeri pada Januari 2020 untuk kunjungan kenegaraan ke Myanmar. Beberapa hari setelah kepulangannya, seluruh kota Wuhan ditutup karena wabah COVID-19 yang semakin parah.
Sejak itu, Xi melakukan diplomasinya sebagian besar secara virtual, tetapi ia masih menerima beberapa pemimpin asing selama Olimpiade Musim Dingin Beijing pada bulan Februari - pertemuan langsung pertamanya dengan para pemimpin asing sejak pandemi.
Xi secara umum diperkirakan akan melanggar preseden pada kongres Partai Komunis yang dimulai pada 16 Oktober dan mengamankan masa kepemimpinan lima tahun untuk ketiga kalinya.
Sementara Xi telah bertemu langsung dengan Putin sebanyak 38 kali sejak menjadi presiden China pada tahun 2013, ia belum pernah bertemu langsung dengan Joe Biden sejak Putin menjadi Presiden AS pada tahun 2021.
Xi terakhir kali bertemu Putin pada bulan Februari, tepat beberapa minggu sebelum presiden Rusia memerintahkan invasi ke Ukraina yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan menimbulkan kekacauan di perekonomian global.
Pada pertemuan di pembukaan Olimpiade Musim Dingin, Xi dan Putin menyatakan sebuah hubungan kerja sama "tanpa batas", yang saling mendukung satu sama lain atas konflik di Ukraina dan Taiwan dengan janji untuk bekerjasama lebih banyak untuk melawan Barat.
China telah menahan diri untuk tidak mengutuk operasi Rusia terhadap Ukraina atau menyebutnya sebagai "invasi" sejalan dengan Kremlin yang menganggap perang tersebut sebagai "operasi militer khusus".
"Pesan yang lebih besar sebenarnya bukan bahwa Xi mendukung Putin, karena sudah cukup jelas bahwa Xi mendukung Putin," kata Profesor Steve Tsang, direktur China Institute di School of Oriental and African Studies di London.
Presiden China Xi akan mengunjungi Kazakhstan, Uzbekistan minggu ini, perjalanan luar negerinya yang pertama sejak pandemi COVID-19.
"Sinyal yang lebih besar adalah bahwa Xi Jinping akan pergi ke luar China untuk pertama kalinya sejak pandemi menjelang Kongres partai. Jika akan ada plotting terhadapnya, inilah saat plotting itu akan terjadi. Dan dia jelas yakin bahwa plotting tidak akan terjadi karena dia berada di luar negeri."
Xi, putra seorang revolusioner komunis, siap untuk mengamankan masa kepemimpinan ketiga yang bersejarah di Kongres Partai Komunis ke-20 yang dimulai pada 16 Oktober. Dia terakhir kali meninggalkan Tiongkok pada Januari 2020, sebelum dunia mulai fase lockdown COVID-19.
Rusia Berbalik Arah
Setelah Barat menjatuhkan sanksi paling berat dalam sejarah modern kepada Moskow akibat perang di Ukraina, Putin mengatakan bahwa Rusia beralih ke Asia setelah berabad-abad memandang Barat sebagai wadah pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan perang.
Dengan menyebut Barat sebagai koalisi yang semakin melemah dan didominasi oleh AS yang bertujuan untuk membelenggu - atau bahkan menghancurkan - Rusia, pandangan dunia Putin sejalan dengan pandangan Xi, yang menghadirkan China sebagai alternatif dari tatanan pasca-Perang Dunia II yang dipimpin AS.
Ajudan Putin, Ushakov, mengatakan bahwa pertemuan Xi-Putin akan "sangat penting". Dia tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Ketika Eropa berusaha untuk berpaling dari impor energi Rusia, Putin akan berusaha untuk meningkatkan ekspor energi ke China dan Asia.
Putin mengatakan pekan lalu bahwa rute ekspor gas utama ke China melalui Mongolia telah disepakati. Gazprom telah bertahun-tahun mempelajari kemungkinan untuk pipa gas baru yang besar - Power of Siberia 2 - untuk melakukan perjalanan melalui Mongolia membawa gas Rusia ke China.
Pipa ini akan membawa 50 miliar meter kubik gas per tahun, sekitar sepertiga dari apa yang biasanya dijual Rusia ke Eropa - atau setara dengan volume tahunan Nord Stream 1.
Organisasi Kerjasama Shanghai, yang mencakup Rusia, Cina, India, Pakistan, dan empat negara Asia Tengah, akan mengakui Iran, salah satu sekutu utama Moskow di Timur Tengah.
Advertisement