Sukses

Presiden Vladimir Putin dan Recep Tayyip Erdogan Akan Bertemu di Uzbekistan

Menanti efek pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Erdogan.

Liputan6.com, Ankara - Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Erdogan akan bertemu di Shanghai Cooperation Organization. Pertemuan ini terjadi di tengah krisis energi di Uni Eropa dan perang Ukraina

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (16/9/2022), pertemuan itu juga dilakukan ketika hubungan Erdogan dan Putin tengah menjadi sorotan tajam negara-negara sekutu Turki di Barat yang berusaha memperketat sanksi terhadap Rusia.

Loyalitas Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kemungkinan akan menghadapi sorotan luas negara-negara sekutunya di Barat ketika ia menghadiri pertemuan Organisasi Kerja Sama Shanghai pada hari Jumat (16/9) di Uzbekistan.

Kelompok keamanan Eurasia yang dipimpin Rusia dan Tiongkok itu disebut beberapa pengkritik sebagai aliansi anti-Barat.Kehadiran Erdogan dan jadwal pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang ketiga kalinya dalam beberapa bulan terakhir, akan memicu pertanyaan tentang loyalitas Turki terhadap Barat, kata Asli Aydintasbas, peneliti tamu lembaga think tank Brookings Institution.

“Erdogan suka melakukan langkah penyeimbangan seperti ini dan ia punya tujuan tertentu. Ia ingin memberi sinyal kepada Barat bahwa ia memiliki pilihan lain. Turki semakin dekat dengan Rusia, khususnya secara ekonomi, bahkan agak bergantung pada Rusia. Bukan saja tidak bergabung dengan negara-negara Barat dalam menjatuhkan sanksi, Ankara juga terus menjalin perdagangan dengan Rusia dan menerima pendanaan dari Rusia,” komentarnya.

Beberapa pengamat mengatakan perdagangan dengan Rusia menjadi semakin penting bagi perekonomian Turki yang sedang dilanda krisis, yang terbukti penting bagi Erdogan yang akan menghadapi pemilu tahun depan sebagai calon petahana.

2 dari 4 halaman

Isu Perdagangan

Pertemuan Putin dan Erdogan hari Jumat diperkirakan akan fokus membahas isu perdagangan.

Maria Shagina dari International Institute for Strategic Studies mengatakan, seiring upaya negara-negara Barat untuk memperketat sanksi bagi Moskow, Erdogan juga menjadi semakin penting bagi Putin.

“Rusia semakin kehabisan teman di sini. Ia punya China dan India ke mana ia dapat berporos. Akan tetapi, ruang untuk bermanuver, di mana Beijing dan New Delhi mungkin rela menghadapi sanksi sekunder, tidak ada. Jadi penting bagi Moskow untuk punya teman lain yang membutuhkan, dan Turki, tidak seperti China, sebenarnya lebih rentan terhadap risiko,”jelasnya.

Bulan lalu Erdogan menyerukan pelonggaran beberapa sanksi terhadap Rusia. Namun Ankara menegaskan pihaknya tidak melanggar sanksi internasional AS dan mengambil pendekatan yang berimbang terhadap Rusia dan Ukraina, di mana perusahaan persenjataannya terus memasok Kyiv.Sikap Erdogan terhadap Rusia diperkirakan akan menjadi agenda pertemuan utama apabila Erdogan bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York. Namun Aydintasbas meyakini Biden sendiri menghadapi dilema soal Turki.

“Washington juga melakukan langkah penyeimbangan tersendiri saat menghadapi Erdogan. Mereka tidak senang dengan kenyataan bahwa Turki tidak ikut menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dengan negara-negara Barat. Di sisi lain, mereka tidak ingin mendorong Turki semakin dekat dengan Rusia. Jadi, mereka menahan diri untuk tidak berbicara,” katanya.

Dengan perkiraan semakin diperketatnya sanksi Uni Eropa dan AS terhadap Rusia, para pengamat memperingatkan bahwa langkah penyeimbangan Turki terhadap Rusia bisa menjadi semakin sulit untuk dipertahankan.

3 dari 4 halaman

Ekspor Pangan dari Ukraina Mulai Mengalir, Tapi Pupuk dari Rusia Masih Kurang

Sebelumnya dilaporkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa ekspor pangan dari Ukraina dan Rusia telah meningkat sejak kesepakatan ekspor biji-bijian pada 22 Juli 2022. 

Namun, ekspor pupuk yang sangat dibutuhkan dari Rusia masih kurang meskipun sudah didorong oleh perjanjian ekspor. Hal ini dikarenakan biaya pengiriman yang masih menjadi masalah.  

Dilansir dari Associated Press, Rabu (14/9) Kepala perdagangan PBB Rebeca Grynspan, mengatakan bahwa Rusia melaporkan peningkatan ekspor pangan hingga 12 persen dari Juni hingga Juli 2022.

Meski sudah ada kemajuan, PBB masih mengkhawatirkan ekspor pupuk yang dibutuhkan pada bulan Oktober dan November mendatang, yang terbaru untuk musim tanam di wilayah utara.

Pada konferensi pers daring PBB dari Jenewa, Grynspan menyebut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB melaporkan penurunan harga pangan turun secara global pada Agustus untuk bulan kelima berturut-turut.

Tapi dia menyatakan keprihatinan bahwa penurunan ini belum terlihat di pasar domestik, dan negara-negara berkembang terutama masih berjuang dengan harga pangan yang tinggi serta inflasi, devaluasi mata uang hingga kenaikan suku bunga.

Sementara itu, koordinator PBB untuk kesepakatan pengiriman biji-bijian Ukraina, yakni Amir Abdulla mengatakan ada 129 kapal bermuatan penuh yang membawa lebih dari 2,8 juta ton biji-bijian telah meninggalkan tiga pelabuhan Laut Hitam Ukraina. 

Dengan turunnya harga biji-bijian, kata Abdulla, PBB telah melihat bahwa pihak yang menimbun biji-bijian untuk dijual dengan harga tinggi sekarang menjualnya di satu atau dua negara.

"Mudah-mudahan itu akan menurunkan sebagian dari harga lokal itu," katanya melalui pernyataan video dari Istanbul.

4 dari 4 halaman

PBB Juga Berupaya Dorong Ekspor Amonia dari Rusia

Selain ekspor biji-bijian dari Rusia dan Ukraina, Grynspan juga mengungkapkan bahwa PBB sedang melakukan semua upaya untuk memungkinkan ekspor amonia dari Rusia, bahan utama pupuk, untuk mencapai pasar dunia.

Diketahui bahwa Ukraina adalah salah satu pengekspor gandum, jagung, dan minyak bunga matahari terbesar di dunia, tetapi perang Rusia-Rusia yang pecah pada 24 Februari dan blokade laut di pelabuhan-pelabuhannya telah menghentikan pengiriman.

Beberapa biji-bijian Ukraina diangkut melalui Eropa dengan kereta api, jalan dan sungai, tetapi harga komoditas penting seperti gandum dan jelai telah melonjak sebelum kesepakatan ekspor biji-bijian, yang disebut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai perjanjian yang belum pernah terjadi sebelumnya antara dua negara yang terlibat dalam konflik.