Sukses

UNICEF: Anak yang Hidup dalam Krisis Kemanusiaan Hadapi Krisis Pendidikan

UNICEF ungkap kondisi anak di wilayah yang mengalami krisis kemanusiaan.

Liputan6.com, Kabul - Berbicara dalam Konferensi Transformasi Pendidikan, Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan “sangat jelas bahwa anak-anak, terutama anak-anak yang paling terpinggirkan – yaitu anak perempuan, penyandang disabilitas dan yang hidup dalam krisis kemanusiaan – menghadapi krisis pendidikan yang sesungguhnya.”

Russell berbicara dalam diskusi panel pada Senin (19/9) yang dilangsungkan di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York, demikian dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (21/9/2022).

Russell menegaskan pihaknya akan “bekerja keras untuk memastikan agar semua anak dapat belajar hal-hal mendasar mereka harus dapat membaca, berhitung, dan terus belajar. Kami akan mendukung kesehatan mental mereka dan memastikan inklusi digital.”

Ia menambahkan, “kita perlu mendukung guru, kepala sekolah dan orang tua dan kita perlu memantau dan mengukur kemajuan kita untuk memastikan keberhasilan dan mengetahui kegagalan mereka, jadi kita tahu dan dapat mengkajinya.”

Secara khusus, Russell menyoroti urgensi anggaran. “Pendanaan yang memadai sangat penting untuk mencapai hal ini, dan kita semua memiliki peran untuk membantu pemerintah mendanai pendidikan.”

Direktur Eksekutif UNAIDS, Winnie Byanyima, yang juga berbicara dalam diskusi itu, mengatakan setiap minggu terdapat sekitar 4.900 remaja putri berusia 15-24 tahun yang terinfeksi HIV. Di wilayah sub-Sahara Afrika, enam dari tujuh infeksi HIV baru di kalangan remaja berusia 15-19 tahun terjadi di kalangan anak perempuan.

Sementara Komisaris Tinggi PBB Untuk Pengungsi Filippo Grandi menyoroti soal pendidikan untuk anak-anak pengungsi.

“Fokusnya adalah memasukkan mereka ke dalam sistem pendidikan nasional. Inklusi tidak berarti integrasi selamanya, berarti inklusi selama periode di mana mereka membutuhkan perlindungan negara lain. Ini berlaku untuk pengungsi, anak-anak perempuan, kelompok disabilitas, semua orang yang terdampak krisis. Ini berarti kita memerlukan kebijakan inklusi yang baik, dan juga sumber daya,” ujarnya.

2 dari 4 halaman

PBB Kecam Setahun Penutupan Sekolah Bagi Anak Perempuan di Afghanistan

PBB pada Minggu (18/9), kembali menyerukan Taliban Afghanistan untuk segera membuka kembali sekolah-sekolah untuk remaja perempuan. Seruan itu disampaikan setahun setelah Taliban melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. PBB menyebut hal itu sebagai sesuatu yang "tragis, memalukan, dan bisa dihindari."

Sejak merebut kontrol dari negara yang dilanda konflik pada Agustus tahun lalu, kelompok Islamis itu memerintahkan anak perempuan kelas 7 hingga 12 untuk diam di rumah, yang berdampak pada anak perempuan berusia 12 hingga 18 tahun.

"Dilarangnya anak perempuan untuk menempuh pendidikan di SMA tidak bisa dibenarkan dan tidak terjadi di belahan manapun di dunia," kata Markus Potzel, pemimpin Misi Bantuan PBB di Afghanistan dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (20/9/2022).

“Hal itu sangat merugikan generasi anak perempuan dan masa depan Afghanistan itu sendiri,” katanya.

Taliban membuka kembali SMA bagi anak laki-laki pada 18 September tahun lalu, tapi mengabaikan seruan internasional untuk mengizinkan siswa perempuan kembali ke sekolah.

Kelompok penguasa garis keras itu juga telah memerintahkan perempuan untuk menutupi wajah di tempat umum dan memberitahu staf perempuan di banyak sektor publik agar diam di rumah, mengatakan peraturan itu sesuai dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.

3 dari 4 halaman

Taliban Desak Pengakuan dari Dunia Atas Pemerintahannya di Afganistan

Satu tahun berlalu sejak Taliban menguasai Afghanistan setelah hampir 20 tahun pendudukan AS.

Tetapi para penguasa Taliban memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan ketika mereka berjuang untuk menghidupkan kembali ekonomi negara yang tak bernyawa dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan.

Sementara itu, isolasi internasional Taliban tidak membantu penyebabnya.

Dilansir Al Jazeera, Selasa (16/8/2022), meskipun seruan dan upaya berulang-ulang oleh para pemimpin Taliban, tidak ada negara di dunia yang mengakui Imarah Islam Afghanistan (IEA), karena negara itu secara resmi dikenal di bawah pemerintahan Taliban.

Barat telah menuntut agar Taliban melonggarkan pembatasan hak-hak perempuan dan membuat pemerintah lebih representatif sebagai syarat untuk pengakuan. Taliban mengatakan Amerika Serikat melanggar Perjanjian Doha 2020 dengan tidak mengakui pemerintahnya.

Pembunuhan bulan lalu terhadap pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri dalam serangan pesawat tak berawak AS di Kabul telah menyebabkan pemerintah Barat menuduh pemerintah Taliban gagal memenuhi komitmennya di bawah Perjanjian Doha, yang mengharuskan Taliban untuk menolak tempat berlindung yang aman. Al-Qaeda dan kelompok bersenjata lainnya di Afghanistan dengan imbalan penarikan AS.

Beberapa serangan mematikan yang dikaitkan dengan Negara Islam di Provinsi Khorasan, ISKP (ISIS-K) telah meningkatkan kekhawatiran di ibu kota Barat tentang lanskap keamanan Afghanistan pasca-AS.

4 dari 4 halaman

Kepercayaan AS Menurun

Washington akan merasa sulit untuk mempercayai Taliban setelah pembunuhan al-Zawahiri, dengan Barat kemungkinan akan mengambil sikap keras terhadap pemerintah Taliban di tengah meningkatnya dukungan untuk sanksi yang dikenakan padanya.

Menurunnya kepercayaan AS pada Taliban bisa menjadi bencana dari sudut pandang kemanusiaan ketika negosiasi yang diadakan antara kedua belah pihak di Doha, ibukota Qatar, untuk pelepasan dana ke Afghanistan telah terhenti.

Nathan Sales, mantan duta besar AS dan koordinator kontraterorisme, mengatakan setelah pembunuhan al-Zawahiri bahwa “risikonya besar bahwa uang yang diberikan kepada [Taliban] akan menemukan jalan mereka secara tak terelakkan dan langsung masuk ke kantong al-Qaeda”.

Meskipun keterlibatan antara Barat dan Afghanistan "kemungkinan akan melambat" setelah pembunuhan al-Zawahiri, "sejauh ini tidak jelas apakah perkembangan ini akan berdampak pada keterlibatan regional dengan pemerintah de facto Taliban", kata Ibraheem Bahiss, seorang analis dengan International Crisis Group yang berfokus pada Afghanistan, dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera.

“Al-Qaeda bukanlah pertimbangan utama bagi banyak negara regional dan mungkin mereka dapat melanjutkan keterlibatan mereka meskipun ada perkembangan ini.”