Sukses

Ledakan Mematikan di Restoran Kabul Tewaskan 3 Orang, ISIS Afghanistan Dalangnya?

Ledakan mematikan kembali mengguncang Afghanistan. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dunia.

Liputan6.com, Kabul - Ledakan mematikan kembali mengguncang Afghanistan. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dunia.

"Sebuah ledakan di ibu kota Afghanistan menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai 13 orang lainnya," kata pejabat Taliban pada Rabu 21 September 2022 seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Menurut Khalid Zadran, juru bicara kepala Kepolisian Kabul yang ditunjuk Taliban, ledakan itu terjadi di dalam sebuah restoran di barat kota Kabul, di area Dehmazang.

Satu tim polisi telah tiba di lokasi untuk mencari tahu penyebab ledakan, tambahnya.

"Putra saya berada di restoran itu untuk makan siang. Lima menit kemudian kami dikabari bahwa putra saya tewas dalam ledakan itu," kata Mohammad Mukhtar, ayah korban. "Siapa yang bisa saya mintai pertanggungjawaban atas kematiannya," tanyanya sambil terisak.

Belum ada pihak yang segera mengklaim bertanggung jawab atas ledakan itu.

Afiliasi regional ISIS di Provinsi Khorasan kabarnya telah meningkatkan serangannya terhadap masjid dan kelompok minoritas di seluruh penjuru Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan Agustus 2021.

ISIS, yang muncul di timur Afghanistan pada tahun 2014, dianggap sebagai tantangan keamanan terbesar yang dihadapi penguasa baru Taliban di negara itu.

Menyusul pengambilalihan mereka setahun lalu, Taliban telah menindak keras ISIS di berbagai wilayah.

2 dari 4 halaman

PBB Kecam Setahun Penutupan Sekolah Bagi Anak Perempuan di Afghanistan

Sementara itu, PBB, pada Minggu (18/9), kembali menyerukan Taliban Afghanistan untuk segera membuka kembali sekolah-sekolah untuk remaja perempuan. Seruan itu disampaikan setahun setelah Taliban melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. PBB menyebut hal itu sebagai sesuatu yang "tragis, memalukan, dan bisa dihindari."

Sejak merebut kontrol dari negara yang dilanda konflik pada Agustus tahun lalu, kelompok Islamis itu memerintahkan anak perempuan kelas 7 hingga 12 untuk diam di rumah, yang berdampak pada anak perempuan berusia 12 hingga 18 tahun.

"Dilarangnya anak perempuan untuk menempuh pendidikan di SMA tidak bisa dibenarkan dan tidak terjadi di belahan manapun di dunia," kata Markus Potzel, pemimpin Misi Bantuan PBB di Afghanistan dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (20/9/2022).

“Hal itu sangat merugikan generasi anak perempuan dan masa depan Afghanistan itu sendiri,” katanya.

Taliban membuka kembali SMA bagi anak laki-laki pada 18 September tahun lalu, tapi mengabaikan seruan internasional untuk mengizinkan siswa perempuan kembali ke sekolah.

Kelompok penguasa garis keras itu juga telah memerintahkan perempuan untuk menutupi wajah di tempat umum dan memberitahu staf perempuan di banyak sektor publik agar diam di rumah, mengatakan peraturan itu sesuai dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.

3 dari 4 halaman

Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat, VOA Indonesia, Rabu (15/9/2022).

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati anak perempuan dan perempuan, khususnya sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan itu adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan, yang membaik setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kembali memburuk, kata Bennett.

 

4 dari 4 halaman

PBB Tak Akui Taliban

Dia mengungkapkan bahwa dia telah menerima banyak laporan tentang warga sipil yang menjadi sasaran penggeledahan dari rumah ke rumah dan apa yang tampaknya merupakan hukuman kolektif.

“Saya sangat prihatin bahwa mantan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dan pejabat-pejabat lain dari pemerintahan sebelumnya tetap menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hokum, dan penghilangan paksa, meskipun Taliban menyatakan akan memberi amnesti,” tambah Bennett.

Bennett menambahkan, mereka yang melakukan kejahatan ini tampaknya bertindak tanpa hukuman dan menciptakan suasana teror.

PBB tidak mengakui legitimasi pemerintahan Taliban. Nasir Ahmad Andisha tetap mewakili pemerintah sebelumnya sebagai duta besar Afghanistan untuk PBB di Jenewa.

Menanggapi apa yang disampaikan Bennett, ia meminta dewan agar membentuk mekanisme guna mengidentifikasi mereka yang melakukan kejahatan.

Ia berpendapat, informasi terdokumentasi ini mungkin bisa digunakan Pengadilan Kriminal Internasional dan badan-badan PBB lainnya untuk mengadili pelaku dan memberikan keadilan bagi para korban.