Liputan6.com, Tibet - Upaya pembatasan perebakan COVID-19 yang diberlakukan oleh China di seluruh Tibet memicu kebencian publik di ibu kota Tibet, Lhasa, di mana warga yang hasil tesnya positif terjangkit COVID-19 harus menjalani karantina di stadion kosong, sekolah, gudang dan bangunan yang belum selesai.
Tindakan Beijing di Tibet ini mencerminkan kebijakan “nol-Covid” yang kejam dan menyebabkan ketidakpuasan, dan bahkan protes di kota-kota seperti Shanghai.
Video di media-media sosial dari Lhasa menunjukkan sekumpulan orang tengah menunggu bus di malam hari menuju ke sekitar 20 kamp karantina darurat. Bagi warga Lhasa, “bus tengah malam” itu mewakili ketakutan mereka akan apa yang mungkin mereka temukan di tempat karantina yang padat dan terkunci itu.
Advertisement
Dalam salah satu video di media sosial yang tampaknya diambil di pemukiman Muslim Wobaling, sejumlah penumpang terlihat menaiki bus yang di parkir di salah satu dari dua masjid di kota itu.
VOA Tibet berulangkali menelepon kedutaan besar China di Washington DC untuk mendapatkan komentar, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Presiden Xi Jinping telah membuat kebijakan “nol-Covid” sebagai kebijakan utama untuk meredam perebakan virus mematikan itu dengan menutup sebagian wilayah dan menghentikan kegiatan, serta mendorong pengujian, pelacakan dan karantina.
Keputusasaan warga Tibet mendorong mereka menyampaikan suara di platform Weibo, Douyin dan platform media sosial lain di China guna menarik perhatian terhadap situasi di kamp-kamp yang kekurangan makanan dan perawatan medis yang memadai.
Kasus COVID-19 Picu Istana Potala yang Terkenal di Tibet Ditutup
Pihak berwenang China telah menutup Istana Potala yang terkenal di Tibet setelah wabah COVID-19 dilaporkan terjadi di wilayah Himalaya.
Tindakan tersebut menggarisbawahi kepatuhan China yang berkelanjutan terhadap kebijakan "nol-COVID", yang mewajibkan lockdown, karantina, dan pembatasan perjalanan, bahkan ketika sebagian besar negara lain telah dibuka kembali.
Sebuah pemberitahuan di situs media sosial Weixin menyebut pihak istana mengatakan lokasi bersejarah itu merupakan rumah bagi para pemimpin Buddha Tibet.
Bangunan itu akan ditutup mulai Selasa (9/8) akibat COVID-19, dengan tanggal pembukaan kembali yang akan diumumkan kemudian, demikian dikutip dari Channel News Asia, Selasa (9/8/2022).
Ekonomi Tibet sangat bergantung pada pariwisata dan Potala adalah daya tarik utama.
China mengatakan, kebijakan kerasnya telah berhasil mencegah rawat inap dan kematian skala besar, sementara para kritikus termasuk Organisasi Kesehatan Dunia telah mencela dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat dan mengatakan itu tidak sejalan dengan sifat virus yang berubah dan metode pencegahan dan pengobatan terbaru.
China mengumumkan 828 kasus baru penularan domestik pada Selasa, 22 di antaranya di Tibet. Sebagian besar kasus tersebut tidak menunjukkan gejala.
Advertisement
80 Ribu Wisatawan di Sanya China Terjebak
Sebelumnya, Kota Sanya di China selatan memberlakukan penguncian dan membatasi jaringan transportasi untuk mencoba membendung wabah COVID-19 yang datang ketika sekitar 80.000 pengunjung menikmati pantainya pada musim liburan.
Pembatasan mulai berlaku pada pukul 6 pagi waktu setempat setelah pihak berwenang mengatakan situasi COVID-19 "sangat parah" dan pergerakan orang dibatasi.
Pihak berwenang tidak mengatakan kapan tindakan itu akan dicabut. Mereka mengatakan, wisatawan yang ingin meninggalkan kota, yang berada di pulau Hainan, harus menunjukkan lima tes PCR negatif selama tujuh hari, seperti dikutip dari laman VOA News, Minggu (7/8/2022).
"Kami mendesak masyarakat umum dan wisatawan untuk memahami dan memberikan dukungan mereka," kata pihak berwenang dalam sebuah pernyataan di akun WeChat pemerintah kota.
Kota ini melaporkan 263 kasus COVID-19 untuk hari Jumat, naik dari dua hari sebelumnya. Pihak berwenang mengatakan mereka telah mendeteksi subvarian Omicron BA.5.1.3.
Penguncian terjadi di musim liburan dan Sanya merupakan rumah bagi beberapa hotel kelas atas yang dijalankan oleh perusahaan internasional termasuk IHG dan Marriott International.
Hotel di China
Wakil walikota Sanya, He Shigang, mengatakan kepada penyiar CCTV bahwa ada sekitar 80.000 turis di kota itu tetapi kasus-kasus itu sebagian besar terjadi di kalangan penduduk.
Para pejabat mengatakan pada konferensi pers pada hari Sabtu bahwa wisatawan akan mendapatkan hotel dengan setengah harga jika mereka harus memperpanjang masa tinggal mereka.
"Benar-benar menyebalkan," kata Micah Hostetter, seorang konsultan bisnis yang berbasis di Shanghai yang dijadwalkan berangkat pada Minggu setelah tinggal selama seminggu.
"Kami tidak tahu berapa lama kami akan berada di sini, kami berharap tidak selama itu," kata Hostetter, yang mengalami penguncian hampir dua setengah bulan di Shanghai awal tahun ini.
Penjualan tiket kereta api dari Sanya ditangguhkan, CCTV melaporkan, mengutip operator nasional, dan lebih dari 80% penerbangan ke dan dari Sanya telah dibatalkan, menurut penyedia data Variflight.
Advertisement