Sukses

Kudeta Militer Burkina Faso, Kapten Gulingkan Letnan Paul-Henri Damiba

Kudeta militer! Seorang kapten tentara di Burkina Faso mengumumkan di televisi nasional bahwa ia telah menggulingkan pemimpin militer negara tersebut, Letnan Kolonel Paul-Henri Damiba.

Liputan6.com, Ouagadougou - Kudeta militer kembali terjadi di Burkina Faso.

Seorang kapten tentara di Burkina Faso mengumumkan di televisi nasional bahwa ia telah menggulingkan pemimpin militer negara tersebut, Letnan Kolonel Paul-Henri Damiba.

Mengutip BBC, Sabtu (1/10/2022), Kapten Ibrahim Traore mengatakan bahwa ketidakmampuan Letnan Kolonel Damiba untuk menangani para pemberontak atau militan Islam sebagai alasannya.

Dia juga mengumumkan bahwa perbatasan ditutup tanpa batas waktu dan semua kegiatan politik dihentikan.

Junta Letnan Kolonel Damiba melakukan kudeta, menggulingkan pemerintah terpilih pada Januari, dengan alasan kegagalan untuk menghentikan serangan militan Islam. Namun pemerintahannya juga belum mampu memadamkan kekerasan para militan tersebut.

Pada Senin 26 September, 11 tentara tewas ketika mereka mengawal konvoi kendaraan sipil di utara negara itu.

Sebelumnya pada hari Jumat, Letnan Kolonel Damiba mendesak penduduk untuk tetap tenang setelah tembakan keras terdengar di beberapa bagian ibu kota.

Lebih dari 20 tentara bersenjata - sebagian besar dengan wajah tertutup - muncul di TV pemerintah sesaat sebelum pukul 20.00 waktu setempat.

"Menghadapi situasi yang memburuk, kami mencoba beberapa kali untuk membuat Damiba memfokuskan kembali transisi pada pertanyaan keamanan," kata pernyataan yang ditandatangani oleh Traore.

"Tindakan Damiba secara bertahap meyakinkan kami bahwa ambisinya menyimpang dari apa yang kami rencanakan. Kami memutuskan hari ini untuk mencopot Damiba," katanya.

Jam malam dari pukul 21.00 hingga 05.00 juga diumumkan.

Keberadaan Letkol Damiba tidak diketahui.

 

2 dari 4 halaman

AS Prihatin, Imbau Warganya di Burkina Faso untuk Batasi Pergerakan

Amerika Serikat (AS) mengatakan "sangat prihatin" dengan peristiwa di Burkina Faso dan mendorong warganya untuk membatasi pergerakan di negara itu.

"Kami menyerukan agar semua pihak kembali tenang dan menahan diri," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS.

The Economic Community of West African States (ECOWAS)/ Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat mengutuk langkah itu, dengan menyatakan "menegaskan kembali penentangannya terhadap pengambilan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak konstitusional".

Sebelum fajar, tembakan dan ledakan terdengar di ibu kota, Ouagadougou, beberapa di antaranya datang dari dekat istana presiden dan barak militer utama.

Setelah matahari terbit, kota yang biasanya ramai itu sebagian besar sepi, dengan tentara di jalan-jalan memblokir beberapa jalan dan menjaga titik-titik strategis utama.

Televisi pemerintah telah menghentikan siaran. Selain itu terdengar lebih banyak suara tembakan.

 

3 dari 4 halaman

8 Kudeta Sejak Merdeka

Sebelumnya Letnan Kolonel Damiba mengatakan ada "situasi membingungkan" yang diciptakan oleh "perubahan suasana hati" di antara beberapa tentara ketika rumor kudeta meningkat.

Ia mendesak orang untuk tetap tenang dan menghindari spekulasi media sosial, pemimpin militer mengatakan ada "negosiasi sedang berlangsung untuk mengembalikan ketenangan dan kedamaian".

Pada bulan Januari, Letnan Kolonel Damiba menggulingkan Presiden Roch Kaboré, dengan mengatakan bahwa dia telah gagal untuk menangani kekerasan militan Islam yang berkembang.

"Kami memiliki lebih dari apa yang diperlukan untuk memenangkan perang ini," kata kepala junta ketika dia dilantik sebagai presiden pada Februari.

Tetapi banyak warga tidak merasa lebih aman dan ada protes di berbagai bagian negara minggu ini.

Pada Jumat sore, beberapa pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan ibu kota menyerukan pencopotan Letnan Kolonel Damiba.

Pemberontakan Islam pecah di Burkina Faso pada 2015, menewaskan ribuan orang dan memaksa sekitar dua juta orang meninggalkan rumah mereka.

Negara ini telah mengalami delapan kudeta yang berhasil sejak kemerdekaan pada tahun 1960.

4 dari 4 halaman

Presiden Burkina Faso Mundur Setelah 27 Tahun Berkuasa

Sebelumnya, Presiden Burkina Faso Blaise Compaore mengundurkan diri setelah diprotes para demonstran untuk hengkang dari jabatannya, setelah 27 tahun berkuasa.

Dalam pernyataan pengunduran dirinya, Blaise meminta pemerintahan transisi segera menggelar pemilu dalam kurun waktu 90 hari mendatang.

"Demi menegakkan demonstrasi dan perdamaian, saya mencabut kekuasaan saya untuk memungkinkan pembentukan transisi pemerintahan menuju pemilu yang bebas dan adil dalam waktu paling lama 90 hari," kata Blaise, seperti dimuat BBC, Jumat (31/10/2014).

"Bagi saya, saya sudah memenuhi kewajiban saya," imbuh mantan Kepala Negara di Afrika Barat tersebut.

Untuk sementara, pemerintahan Burkina Faso diambil alih oleh Kepala Angkatan Bersenjata Jenderal Honore Traore. Kepala Militer Burkina Faso itu sebelumnya mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi, menyatakan pembubaran parlemen, dan memberlakukan jam malam.

Blaise sebelumnya bersikukuh mempertahankan jabatannya selama setahun di bawah pemerintahan transisi, meski pengunjuk rasa membakar gedung parlemen. Dia mengatakan hanya akan menyerahkan kekuasaan begitu pemerintahan transisi merampungkan tugas selama 12 bulan.

Keputusan Compaore untuk mempertahankan jabatannya memicu demonstrasi massa. Yacouba Ouedraogo, wartawan BBC yang melaporkan dari ibukota Burkina Faso, Ouagadougou, mengatakan massa telah membakar gedung parlemen.

Mereka juga membakar balaikota, hotel mewah, rumah-rumah anggota parlemen, dan markas partai yang berkuasa. Kerumunan orang tersebut kemudian bergerak ke arah istana presiden.

Puluhan tentara dilaporkan bergabung dengan para demonstran, termasuk mantan Menteri Pertahanan Jenderal Kouame Lougue. Demonstrasi serupa dilaporkan juga terjadi di Kota Bobo Dioulasso dan beberapa kota lainnya.

Blaise berkuasa melalui kudeta pada 1987. Sejak itu, dia telah memenangi empat pemilihan umum yang dipertanyakan keabsahannya. Dia disebut-sebut merupakan sekutu dekat Amerika Serikat dan Prancis. Kedua negara tersebut memakai Burkina Faso sebagai titik tolak dalam operasi militer menghadapi kelompok militan di kawasan Sahel.