Sukses

Iran Sukses Luncurkan Space Tug ke Ruang Angkasa, Ini Fungsinya

Iran meluncurkan Space Tug sebuah kapal ruang angkasa ke orbit untuk sebuah misi.

Liputan6.com, Teheran - Iran meluncurkan Space Tug sebuah kapal ruang angkasa ke orbit untuk sebuah misi.

Space Tug adalah jenis pesawat ruang angkasa yang digunakan untuk mentransfer kargo antariksa dari satu orbit ke orbit lain dengan karakteristik energi yang berbeda.

Space Tug ini diberi nama The Saman spacecraft yang dibangun oleh Pusat Penelitian Luar Angkasa Iran (ISRC).

Pesawat ini "berhasil" diluncurkan ke ruang suborbital oleh kementerian pertahanan Iran, kata laporan itu, dikutip dari laman Xinhua, Rabu (5/10/2022).

Dalam proses eksperimental, pengujian mesin penarik ruang angkasa dan mesin pembangkit rotasi serta de-rotating berhasil diselesaikan, kata Hassan Salarieh, penjabat kepala Badan Antariksa Iran.

“Sebagai bagian dari upaya untuk lebih memperluas teknologi telekomunikasi dalam negeri dan memproduksi satelit yang berputar pada orbit geostasioner, pengembangan di bidang ruang angkasa ditempatkan pada agenda ISRC,” tambah Salarieh.

Luncurkan Roket Pembawa Tiga Perangkat Penelitian ke Angkasa Luar

Sebelumnya, Iran dilaporkan telah meluncurkan roket pembawa satelit ke angkasa luar pada Kamis 30 Desember 2021.

Mengutip DW Indonesia, Teheran mengumumkan telah meluncurkan roket pembawa satelit ke luar angkasa dengan tiga perangkat penelitian di dalamnya. Langkah itu dilakukan di tengah pembicaraan kesepakatan nuklir yang sedang berlangsung.

Sebelumnya, sejumlah peluncuran roket Iran termasuk beberapa upaya yang gagal, telah menuai kritik keras dari Amerika Serikat (AS).

"Roket Simorgh yang membawa satelit berhasil meluncurkan tiga perangkat ke luar angkasa," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Ahmad Hosseini lewat televisi pemerintah.

"Untuk pertama kalinya, tiga perangkat diluncurkan secara bersamaan ke ketinggian 470 kilometer dengan kecepatan 7.350 meter per detik," tambah Hosseini.

Peluncuran roket tersebut diklaim sukses oleh Kementerian Pertahanan Iran, tetapi masih belum jelas apakah roket itu telah mencapai orbit.

Sebelumnya Garda Revolusi Iran, organisasi paramiliter yang sangat berpengaruh dan kuat di Iran, melakukan peluncuran satelit yang sukses ke orbit tahun lalu sebagai bagian dari program luar angkasa paralel mereka.

2 dari 4 halaman

Upaya Hidupkan Kembali Kesepakatan Nuklir

Peluncuran roket yang dilakukan pada Kamis (30/12) tersebut, terjadi bersamaan dengan pembicaraan putaran kedelapan yang sedang berlangsung di Wina, mengenai kemungkinan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran.

Keputusan untuk melakukan peluncuran di tengah negosiasi pelik yang sedang berlangsung, dinilai sebagai tipikal pemerintah di Teheran.

Presiden Iran Ebrahim Raisi, yang menggantikan Hassan Rouhani pada awal 2021 lalu, dipandang lebih dekat dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamanei dan lebih tidak percaya pada AS dan kekuatan Barat lainnya.

Kesepakatan nuklir, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), pertama kali ditandatangani pada 2015 oleh Iran dan AS, serta Uni Eropa (UE), Cina, dan Rusia.

Menurut kesepakatan itu, Teheran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi.

Namun, pada tahun 2018 mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari pakta tersebut dan menerapkan kembali sanksi keras. Sejak saat itu Iran telah bergerak maju dengan pengayaan uranium di luar batas yang ditetapkan dalam JCPOA.

Pemerintahan Biden saat ini berusaha untuk kembali ke kesepakatan, tetapi upaya mereka sejauh ini tidak membuahkan hasil. Teheran menginginkan jaminan, AS tidak akan begitu saja mengabaikan kesepakatan itu lagi di waktu yang akan datang.

3 dari 4 halaman

Menlu Iran: Kesepakatan Nuklir Akan Tercapai Jika AS Realistis

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian pada Senin mendesak Amerika Serikat untuk menjadi "realistis" untuk membantu mencapai kesepakatan dalam pembicaraan Wina yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Diplomat Iran mengatakan dalam sebuah tweet bahwa "tuntutan berlebihan" dari Amerika Serikat dapat menyebabkan jeda dalam negosiasi Wina karena Iran "tidak akan pernah menyerah" pada tuntutan tersebut.

Amir-Abdollahian juga menunjukkan bahwa "kesepakatan dapat dicapai jika Amerika Serikat realistis."

Sebelumnya pada hari itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas penundaan pembicaraan di Wina.

Iran menandatangani JCPOA dengan kekuatan dunia pada Juli 2015. Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Teheran, mendorong republik Islam itu untuk mengurangi beberapa komitmen nuklirnya di bawah kesepakatan sebagai pembalasan.

4 dari 4 halaman

Upaya Kembali Capai Kesepakatan

Sejak April 2021, delapan putaran pembicaraan telah diadakan di Wina antara Iran dan pihak-pihak JCPOA yang tersisa, yaitu China, Rusia, Inggris, Prancis, dan Jerman, untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.

Selama beberapa minggu terakhir, laporan dari Wina menunjukkan bahwa para perunding "dekat" dengan kesepakatan dengan beberapa masalah utama yang tersisa yang membutuhkan "keputusan politik" dari para pihak.