Sukses

Wawancara Eksklusif: Ukraina Sebut Mitos Imperialis Telah Hancur, Rusia Mulai Panik

Ukraina makin percaya diri dengan serangan balik ke Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Ukraina semakin percaya diri karena serangan balik terhadap Rusia mulai menunjukkan hasil nyata. Pada September 2022, mereka berhasil merebut Kharkiv, dan militer Ukraina menggunakan momentum tersebut untuk membebaskan daerah-daerah dan desa-desa yang dijajah Rusia. 

Wakil Parlemen Ukraina (Verkhonva Rada) Olena Kondratiuk menegaskan bahwa negaranya berhasil mematahkan mitos bahwa Rusia tidak bisa dikalahkan. 

"Ukraina telah mendapat banyak bantuan militer dari negara-negara NATO. Alat-alat yang paling modern.  Secara bertahap, Ukraina telah menghancurkan mitos di abad ini yang dibuat oleh dibuat negara imperialis tetangga kita Federasi Rusia bahwa ia tak bisa dikalahkan. Mitos besar itu telah dihancurkan," ujar Olena Kondratiuk dalam wawancara bersama Liputan6.com, Sabtu (8/10/2022).

Kondratiuk sedang datang ke Indonesia dalam rangka menghadiri Parliamentary 20 (P20) di Jakarta. Ia menegaskan negaranya siap berdamai, tetapi Rusia terus melanggar hak wilayah Ukraina.

Olena juga membagikan kabar terkini bahwa negaranya berhasil menyerang jembatan Krimea (jembatan Kerch) yang konon disebut Rusia tak bisa diserang. 

Serangan itu dianggap sebagai hal yang simbolis bagi Ukraina. 

"Hari ini kita melakukan sesuatu yang simbolis. Jembatan Krimea yang terkenal sedang terbakar, dan hancur secara parsial. Ini sangat simbolis. Dan kami berharap dalam beberapa pekan kita akan mendapatkan berita-berita yang lebih baik," ujar Olena Kondratianuk.

2 dari 4 halaman

Rusia Dianggap Panik

Olena Kondratiuk juga merespons mobilitasi parsial yang dilaksanakan pemerintahan Vladimir Putin. Program wajib militer itu membuat puluhan ribu orang Rusia meninggalkan negara mereka. 

"Kami melihatnya sebagai tanda bahwa Rusia mulai panik. Dan kepanikannya disebabkan harga diri mereka. Bahwa mayoritas dari orang-orang yang dimobilisasi tidak ingin pergi perang. Mereka mencari cara-cara untuk lari, untuk meninggalkan wilayah Rusia," ujar Olena Kondratiuk. 

Salah satu hal yang disorot oleh politisi wanita itu adalah program wamil turut berdampak pada warga Muslim di Krimea. Olena berkata orang-orang tersebut masih menganggap diri mereka sebagai orang Ukraina. 

Wilayah Krimea telah dianeksasi Rusia pada 2014. Referendum juga digelar di Krimea sehingga memberikan kesan legalitas pada pencaplokan tersebut. Namun, referendum itu tak diakui PBB. 

"Mereka mendeklarasikan bahwa Tatar, para Muslim Krimea, akan dimobilisasi juga. Bahwa mereka harus melawan saudara-saudara mereka sendiri," ujar Olena.

"Meski mereka tinggal di daerah pendudukan, mereka masih percaya bahwa mereka berasal dari Ukraina dan mereka tinggal di wilayah Ukraina. Ini membuat situasi yang rumit dan berbahaya, bahwa orang-orang yang dipanggil mobilisasi mereka tidak ingin bertempur dan tidak bisa bertempur karena mereka menganggap diri mereka sebagai rakyat Ukraina," tegasnya.

3 dari 4 halaman

Tentara Rusia Menyerah di Garis Depan

Selain berkata bahwa rakyat Muslim di Krimea ogah berparang, Olena juga berkata bahwa tentara-tentara Rusia menyerah di garis depan. 

"Banyak tentara Rusia yang menyerah. Mereka datang ke garis depan dan menyerah," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga mendorong agar para tentara Rusia menyerah di garis depan. Ia berjanji para tentara yang membelot itu akan diperlakukan dengan baik.

Sementara, Rusia menambah hukuman bagi rakyatnya yang membelot saat berperang. Mereka juga memberikan bonus puluhan juta rupiah bagi para peserta mobilisasi dan sukarelawan perang.

Target mobilisasi Rusia adalah tambahan 300 ribu pasukan. Olena Kondratiuk menyadari bahwa Rusia memiliki populasi yang besar, tetapi ia berkata negaranya tidak gentar. 

"Kami paham bahwa orang-orang yang dimobilisasi akan memegang senjata, dan bahwa ada banyak orang Rusia, tetapi kami siap untuk itu," ujarnya.

 

Klik di sini untuk membaca wawancara eksklusif Olena Kondratiuk.

4 dari 4 halaman

AS Kembali Bantu Ukraina, Kali Ini Senilai Rp 9,5 Triliun

Amerika Serikat, pada Selasa (4/10), mengumumkan rencana untuk menyediakan kembali bantuan militer senilai US$ 625 juta atau setara Rp 9,5 triliun untuk Ukraina, sebuah paket bantuan yang mencakup sistem roket canggih yang terbukti membantu negara itu mencapai momentum militer dalam upayanya melawan invasi pasukan Rusia.

Presiden Joe Biden memberikan rincian paket terbaru ini, termasuk Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi atau HIMARS, amunisi, dan kendaraan lapis baja, dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (6/10). 

Juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan kepada reporter bahwa dana terbaru untuk paket bantuan tersebut merupakan pemanfaatan ke-22 dari wewenang alokasi kepresidenan (PDA) untuk Ukraina.

Pemimpin AS dan Ukraina berbicara lewat telepon pada Selasa pagi sementara majelis tinggi parlemen Rusia pada hari yang sama secara resmi menyetujui aneksasi teritori Ukraina menyusul referendum yang terjadi di beberapa wilayah Ukraina yang dikontrol Rusia. Ukraina dan sekutu Baratnya menyatakan bahwa referendum tersebut tidak sah.

“Presiden Biden juga mempertegas kesediaan AS untuk memberlakukan biaya tinggi terhadap setiap individu, entitas, atau negara yang memberi dukungan pada aneksasi Rusia ini,” tulis Gedung Putih dalam pernyataannya.