Liputan6.com, Tehran - Para wanita Iran masih marah kepada pemerintah setelah kematian wanita bernama Mahsa Amini setelah ditangkap polisi moral. Wanita itu ditangkap karena dianggap salah pakai hijab, dan pihak keluarga menuding ada kekerasan polisi.
Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Senin (10/10/2022), para mahasiswi di Teheran lantas meneriakkan "pergi" ketika Presiden Iran Ebrahim Raisi mengunjungi kampus mereka dan mengecam para demonstran yang marah akan kematian seorang perempuan dalam tahanan polisi, menurut video-video yang beredar di media sosial.
Advertisement
Baca Juga
Insiden pengusiran itu terjadi pada Sabtu (8/10). Presiden Raisi berpidato di hadapan para profesor dan mahasiswa di Universitas Alzahra di Teheran, membaca sebuah puisi yang menyamakan "perusuh" dengan lalat, sementara unjuk rasa nasional memasuki pekan keempat.
"Mereka berharap mereka bisa mencapai tujuan jahat mereka di universitas," kata Raisi di TV milik pemerintah. "Tanpa mereka sadari, mahasiswa dan profesor kami bersiaga dan tidak akan membiarkan musuh untuk mewujudkan tujuan jahat mereka."
Sebuah video yang diunggah ke Twitter oleh aktivis 1500tasvir menunjukkan apa yang dikatakannya mahasiswa meneriakkan "Raisi pergi" dan "Mullahs pergi" ketika presiden mengunjungi kampus mereka. Sebuah video lain memperlihatkan para mahasiswa meneriakkan: "Kami tak ingin tamu yang korup," merujuk ke Raisi.
Reuters belum segera bisa memverifikasi video-video itu.
Sebuah laporan koroner membantah bahwa Mahsa Amini, 22, tewas akibat pukulan di kepala dan anggota tubuh ketika dalam tahanan polisi moral. Koroner mengaitkan kematiannya dengan kondisi medis yang sudah ada, kata media pemerintah pada Jumat (10/7).
Amini, seorang perempuan Kurdi Iran, ditangkap di Teheran pada 13 September karena mengenakan "busana tak pantas" dan tewas tiga hari kemudian.
Iran Memanas, Prancis Desak Warga Negaranya Segera Evakuasi
Prancis pada Jumat (7/10) mendesak semua warga negaranya untuk meninggalkan Iran sesegera mungkin karena mereka dianggap berisiko mengalami penahanan sewenang-wenang.
"Warga Prancis yang berkunjung, termasuk yang memiliki kewarganegaraan ganda, menghadapi risiko tinggi penangkapan, penahanan sewenang-wenang, dan persidangan yang tidak adil," kata kementerian luar negeri Prancis di lamannya.
Prancis pekan ini mengecam Iran atas "praktik-praktik kediktatoran" serta penahanan yang dialami dua warga negaranya, demikian seperti dikutip dari Antara, Sabtu (8/10).
Penahanan itu dilakukan Iran setelah kedua warga Prancis itu dalam sebuah video yang disiarkan pada hari Kamis (6/10) terlihat mengaku melakukan pemata-mataan.
Penahanan juga terjadi di tengah kerusuhan, yang sudah berjalan berminggu-minggu dan dituding pemerintah Teheran ada kaitannya dengan musuh-musuh dari negara asing.
Kemenlu Prancis sebelumnya pada hari Jumat mendesak Iran untuk segera membebaskan kedua warganya.
Advertisement
WNI Diminta Jangan Ikut-Ikutan
Saat ini masih ada warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran yang mayoritas mahasiswa. Perwakilan RI terus menjalin komunikasi dengan para WNI.
"Saat ini KBRI Tehran terus memantau kondisi yang ada di wilayah Iran. Jumlah WNI di Iran ada sebanyak 397 yang tersebar di 14 kota. Mayoritas mereka mahasiswa," ujar Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha dalam virtual press briefing, Jumat (7/10/2022).
Judha menegaskan, sampai sekarang tidak ada WNI yang menjadi korban demonstrasi dan kerusuhan tersebut. "KBRI Tehran juga menyampaikan imbauan kepada seluruh masyarakat Indonesia di Iran untuk tetap waspada, berhati-hati, tidak ikut serta dengan kegiatan politik lokal di sana," tegas Judha.
Sementara, pihak KBRI Tehran berkata sudah ada penyelidikan tentang kematian Mahsa Amini.
Dalam rilis resminya, pihak kedutaan menyebut setelah peristiwa meninggalnya Mahsa Amini, beberapa tim investigasi dan pencari fakta khusus dibentuk untuk mengklarifikasi semua aspek insiden ini dan menemukan kebenaran.
Lebh lanjut, tim-tim tersebut dibentuk di berbagai badan dan lembaga Republik Islam Iran antara lain: tim investigasi yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri sesuai Perintah Presiden; tim penyelidikan yang dibentuk oleh Jaksa Agung kota Tehran; tim penyelidikan lain yang dibentuk oleh Badan Administrasi Kehakiman Provinsi Tehran; tim penyidik yang terdiri dari para ahli yang dibentuk oleh Badan Kepolisian Forensik; dan tim pencari fakta yang dibentuk oleh Parlemen Republik Islam Iran.
Bantah Ada Kekerasan
Pihak Iran juga menyorot pemberitaan media-media barat hingga pernyataan Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang menyebut bahwa Mahsa Amini diserang dan dipukuli di kepala.
Kesimpulan seperti ini terlalu dini untuk disampaikan mengingat investigasi dan penyelidikan masih berlangsung. Kesimpulan yang dituduhkan oleh mereka merupakan sebuah tindakan provokatif dan tidak beralasan.
Menurut Direktur Jenderal Badan Kepolisian Forensik Provinsi Tehran, penyelidikan terkait penyebab kematian Mahsa Amini memerlukan bukti yang kuat dan terperinci, dimana dalam kasus Mahsa Amini hingga saat ini, satu-satunya dokumentasi medis yang dapat dikutip adalah satu kasus rawat inap untuk operasi otak di Tehran pada tahun 2007 ketika Mahsa Amini berusia 8 tahun.
Meski ayah korban ikut menuding ada kekerasan dari kepolisian, pihak pemerintah Iran mengklaim bahwa tidak terdapat tanda-tanda cedera pada kepala dan wajah tubuh Mahsa Amini. Hasil otopsi juga tidak menunjukkan jejak pendarahan, penghancuran, atau pecahnya organ dalam tubuh. Sementara itu, menentukan sebab kematian adalah hal yang membutuhkan waktu.
Advertisement