Sukses

Setahun Pasca-Pemilu, PBB Desak Irak Berdialog Akhiri Kebuntuan Politik

Setahun setelah pemilihan umum terakhir berlangsung di Irak, misi PBB mendesak faksi-faksi politik untuk mengakhiri kebuntuan yang melumpuhkan negara tersebut.

Liputan6.com, Baghdad - Setahun setelah pemilihan umum terakhir berlangsung di Irak, misi PBB mendesak faksi-faksi politik untuk mengakhiri kebuntuan yang melumpuhkan negara yang kaya akan minyak itu. Badan dunia itu memperingatkan bahwa “Irak sudah kehabisan waktu.”

“Krisis yang berlarut-larut itu menimbulkan ketidakstabilan lebih lanjut ... Itu mengancam kehidupan masyarakat,” kata Misi Bantuan PBB di Irak, seraya mendesak agar diadakan “dialog tanpa prasyarat” menuju pemerintahan yang stabil di negara yang porak-porandak karena dikoyak perang itu.

Rakyat Irak terakhir memberikan suara pada 10 Oktober 2021 dalam pemilihan yang sebelumnya dipicu oleh gelombang protes massal menentang korupsi endemik, pengangguran yang merajalela, dan infrastruktur yang memburuk.

Satu tahun kemudian, Irak belum membentuk pemerintahan baru sehingga Perdana Menteri sementara Mustafa al-Kadhemi tidak dapat meminta parlemen meloloskan anggaran belanja baru.

PBB mengatakan bahwa pemungutan suara setahun yang lalu “adalah pemilihan yang diperoleh dengan susah payah, yang disebabkan oleh tekanan publik dengan protes nasional di mana beberapa ratus pemuda Irak kehilangan nyawa dan ribuan lainnya terluka.”

“Patut disesalkan bahwa penegasan kembali demokrasi (melalui pemilu) ini diikuti oleh politik yang memecah belah, menghasilkan kekecewaan publik yang mendalam,” tambah pernyataan tersebut.

Faksi-faksi Muslim Syiah yang bersaing di parlemen telah berusaha untuk mendapatkan pengaruh dan hak untuk memilih perdana menteri dan pemerintahan baru.

Kebuntuan demikian telah menyebabkan kedua pihak mendirikan dua kamp protes dan kadang-kadang memicu bentrokan di jalanan yang mematikan.

2 dari 4 halaman

Istana Kepresidenan Irak Diserbu Usai Ulama Syiah Pensiun dari Politik

Warga Irak sempat menyerbu istana kepresidenan usai kabar pensiunnya tokoh politik dan ulama Syiah, Moqtada Al-Sadr (48). Belasan orang dilaporkan tewas.

Dilaporkan BBC, Selasa (30/8/2022), Moqtada Al-Sadr adalah salah satu tokoh sentral dalam dunia politik Irak. Pada Oktober 2022, aliansi politiknya berhasl meraih banyak kursi di parlemen, namun mereka akhirnya mundur karena tak akur dengan rival mereka di parlemen yang sama-sama Syiah.

Ketidakcocokan itu dipicu oleh masalah pengangkatan perdana menteri Irak. Kini, Moqtada Al-Sadr memutuskan tidak lagi terlibat politik.

AP News melaporan bahwa ratusan pengikutnya menyerang istana pemerintahan dan menimbulkan bentrok dengan pasukan keamanan. Setidaknya 15 prostester terbunuh.

Usai merobohkan bagian depan istana, para protester juga menerobos masuk ke ruangan istana yang menjadi tempat pertemuan pemimpin Irak dengan para tamu-tamu kehormatan dari luar negeri.

Tim medis berkata lusinan protester terluka oleh senjata api, gas air mata, serta bentrok fisik dengan aparat. Setidaknya satu tentara dari divisi pasukan khusus dilaporkan terbunuh. Ada juga seorang wanita sipil yang terluka.

Kondisi politik Iran memang sedang berada dalam ketidakpastian usai kubu Moqtada Al-Sadr menolak menegosiasi soal perdana menteri baru.

Militer Irak telah mengumumkan jam malam, sesi kabinet ditunda akibat kerusuhan yang terjadi.

Berbeda dari Iran yang sepenuhnya dikendalikan pemerintahan Syiah, politik di Irak terbagi antara Syiah dan Sunni. Kelompok Syiah tertindas di masa Saddam Hussein hingga akhirnya ia dilengserkan lewat invasi yang dipimpin AS. Kini, kelompok Syiah masih memperebutkan kekuatan politik, serta ada juga elemen intervensi dari Iran.

3 dari 4 halaman

Sudah Dikepung Sejak Juli

Sebelumnya dilaporkan, ratusan pengunjuk rasa telah melanggar zona keamanan tinggi di Baghdad dan masuk ke gedung parlemen Irak.

Dilansir BBC, Kamis (28/7), para pendukung ulama Muqtada al-Sadr menentang pencalonan calon perdana menteri yang bersaing.

Aliansi politik Sadr memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Oktober lalu, tetapi tidak berkuasa karena kebuntuan politik setelah pemungutan suara.

Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah pengunjuk rasa. Tidak ada anggota parlemen yang hadir pada saat itu.

Kelompok itu menembus Zona Hijau yang dijaga ketat di Baghdad - yang merupakan rumah bagi sejumlah bangunan paling penting di ibu kota termasuk kedutaan.

Sebuah sumber keamanan mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa pasukan keamanan pada awalnya tampaknya telah menghentikan para penyusup, tetapi mereka kemudian "menyerbu parlemen".

Perdana Menteri Irak saat ini, Mustafa al-Kadhimi, meminta pengunjuk rasa untuk meninggalkan gedung sementara orang banyak bernyanyi, menari dan berbaring di atas meja.

Kerusuhan menyusul sembilan bulan kebuntuan, di mana perselisihan antara faksi politik yang berbeda di negara itu telah mencegah pembentukan pemerintahan baru.

Sadr, seorang ulama Syiah yang menentang intervensi Amerika di Irak, mengklaim kemenangan gerakan nasionalis Saeroun setelah pemilihan Oktober.

Tetapi sejak itu terbukti tidak mungkin untuk membangun koalisi pemerintahan baru, karena Sadr telah menolak untuk bekerja dengan saingannya.

Dia dan pendukungnya telah menentang pencalonan Mohammed al-Sudani sebagai perdana menteri, karena mereka percaya dia terlalu dekat dengan Iran. 

4 dari 4 halaman

Krisis di Irak

Adegan yang terjadi pada hari Rabu berfungsi sebagai pengingat berbagai krisis yang dihadapi Irak, meskipun statusnya kaya minyak. 

Protes massal meletus pada 2019 di tengah kemarahan publik atas korupsi, pengangguran, dan keadaan layanan publik.

Ratusan orang dibunuh oleh pasukan keamanan pada saat itu, menurut Human Rights Watch.

Pendukung Sadr juga mengatur pembobolan parlemen lainnya selama kerusuhan pada 2016.

Pada hari Rabu, misi PBB di Irak mengatakan pengunjuk rasa memiliki hak untuk berdemonstrasi - selama tindakan mereka tetap damai dan legal.