Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Rusia dan Ukraina di Indonesia sama-sama meragukan akan terjadi perdamaian di KTT G20 Bali. Hari puncak G20 Bali akan digelar kurang dari sebulan lagi pada November 2022. Acara akan digelar di tengah perang Ukraina-Rusia.
Berikut argumen Duta Besar Ukraina Vasyly Hamianin dan Duta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva terkait keraguan mereka terkait potensi perdamaian di KTT G20.
Advertisement
Baca Juga
Dubes Ukraina
Sebelumnya, Ukraina telah menegaskan tidak akan memberikan wilayahnya demi kedamaian. Upaya mediasi perdamaian masih diharapakan Ukraina, tetapi Dubes Vasyl ragu itu bisa terjadi di G20, sebab Ukraina tak mau melepas wilayah kedaulatannya.
"Saya tidak berpikir itu akan terjadi. Saya tidak berpikir hal itu memungkinkan, bukan karena Ukraina, tetapi karena Rusia tidak mampu negosiasi perdamaian," ujar Dubes Ukraina untuk RI Vasyl Hamianin saat memperingati kemerdekaan negaranya di markas Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jakarta, Rabu 24 Agustus 2022.Â
"Kami tidak ingin memperdagangkan negara kita," kata Dubes Ukraina.
Pada September 2022, Rusia baru saja menganeksasi wilayah-wilayah Ukraina melalui referendum. Pihak Ukraina lantas telah menegaskan tidak akan damai hingga Rusia angkat kaki terlebih dahulu.Â
Dubes Rusia
Dubes Vorobieva turut meragukan bahwa perdamaian bisa terjadi di G20 Bali. Namun, ia tidak mengungkap alasan keraguannya.Â
"Saya tidak yakin bahwa KTT G20 ini bisa menghasilkan sesuatu untuk masalah ini, tapi kami yakin Indonesia telah mencoba usaha terbaiknya," ujar Dubes Rusia dalam press briefing di rumah dinasnya di Jakarta, Rabu 12 Oktober 2022.Â
Hingga kini, belum ada kepastian apakah Presiden Rusia Vladimir Putin atau Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan menghadiri G20 di Bali.
Wakil Ketua Parlemen Ukraina Tertawakan Ucapan Fadli Zon
Sebelumnya dilaporkan, perwakilan parlemen Ukraina di Parliamentary 20 (P20) tertawa ketika mendengar ucapan Fadli Zon soal perang dan perdamaian. Pasalnya, Fadli Zon menyebut Rusia sudah siap damai, sementara Ukraina malah enggan.
Hal itu diucapkan Fadli Zon setelah pihak Rusia dan Ukraina hadir di acara P20.
"Dari pihak Rusianya ingin menawarkan langsung kan kemarin. Ayo mumpung kita duduk, kenapa kita tidak bicara? Tapi kelihatannya belum bisa dari pihak Ukraina maupun Uni Eropa," kata Fadli Zon seperti dilaporkan Merdeka.com, Jumat (7/10).Â
Ketika dikonfirmasi mengenai anggapan bahwa Ukraina enggan damai, Wakil Ketua Parlemen Ukraina Olena Kondratiuk malah tertawa mendengar hal tersebut. Olena berkata ucapan tersebut tidak sesuai konteks.Â
"Rusia adalah profesional dalam propaganda dan disinformasi. Kita belajar dengan cepat, dan kita tahu bagaimana menghadapi propaganda dan disinformasi untuk menghadapinya," ujar Olena Kondratiuk saat wawancara eksklusif dengan Liputan6.com, Sabtu (8/10).
Wanita itu lantas bercerita bahwa saat pidato di P20 ia menjelaskan tentang berbagai hal yang dilakukan Rusia di negaranya, mulai dari pendudukan wilayah, aneksasi, referendum tipu-tipu, penyiksaan, hingga deportasi paksa pada anak-anak.Â
Namun, Ketua Parlemen Rusia Valentina Matviyenko melakukan interupsi dan berkata negaranya siap damai. Padahal, ia baru saja melegalkan aneksasi wilayah Ukraina.
"Ada interupsi dari Matviyenko bahwa 'kami siap untuk duduk dan bicara'. Tetapi ia tidak menyebut bahwa dua hari sebelumnya ia menandatangani aturan aneksasi wilayah Ukraina. Baru kemarin. Dan ia lalu mengajak bicara," ujar Olena Kondratiuk.
Ia lantas berkata narasi dari Rusia adalah manipulasi saja. Selain itu, ia juga menyorot bahwa anggota parlemen Rusia berkata-kata ofensif di media sosial.
"Ini murni manipulasi. Dan walau mereka mengajak bicara, mereka terus meroket dan membombardir rakyat sipil Ukraina non-stop," ujar Olena. "Jadi niatnya tulus? Tidak."
Advertisement
Rusia Terus Salahkan Barat Jadi Penyebab Perang dengan Ukraina Tak Kunjung Usai
Rusia beranggapan bahwa ini semua disebabkan oleh negara Barat, yang dianggap justru menginginkan agar konflik ini berkepanjangan dan tak kunjung usai.Â
Hal ini disampaikan langsung oleh Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva dalam pers briefing. Dalam kesempatan tersebut, ia menyebutkan bahwa kemungkinan negara Barat yang menginginkan perang ini berlangsung lama.Â
"Jika mereka benar-benar menginginkan konflik ini berakhir, mereka harusnya tidak memikirkan senjata apa yang harus dikirim untuk Ukraina, namun mereka akan berdisuksi untuk mengajak Ukraina duduk berdiskusi dan berdialog dengan Rusia," ujarnya.
"Jika mereka mengatakannya, pasti Zelensky akan melakukannya karena ia adalah boneka dari Washington dan Brussel," sambungnya lagi.Â
Hal itu pun meyakinkan Rusia bahwa Barat bermaksud untuk memperpanjang konflik ini, bahkan siap untuk melawan Rusia.Â
"Itu adalah posisi yang sangat kejam, karena mereka tidak punya rasa kasihan terhadap warga Ukraina. Mereka akan mengirim ribuan orang menuju kematian," katanya lagi.Â
Lyudmila menegaskan bahwa kondisi tersebut tentu tidak akan membantu untuk menyelesaikan konflik.Â
Dubes Rusia yang sudah lama bertugas di Jakarta itu pun kembali menekankan bahwa target operasi Rusia bukanlah warga sipil.Â
"Bahkan dalam serangan terakhir oleh pasukan kami, hanya ada sedikit sekali jumlah korban tewas. Itu terjadi karena sasaran kami sangat tepat dan sesuai target, tapi justru dipandang lemah oleh Barat," ujar Lyudmila lagi.
Presiden Uni Emirat Arab Turun Tangan Lobi Perdamaian Perang Ukraina-Rusia
Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al-Nahyan ikut turun tangan agar perang Rusia-Ukraina bisa selesai. Ia ikut melobi agar adanya negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai.Â
Sheikh Mohammed bin Zayed diketahui bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di St. Petersburg, Selasa 11 Oktober 2022. Â
"Kami membahas sejumlah isu keprihatinan bersama, termasuk krisis Ukraina, dan pentingnya melakukan dialog untuk mengurangi ketegangan dan mencapai solusi diplomatik," tulis Sheikh Mohammed bin Zayed melalui Twitter resminya.
Berdasarkan laporan Arab News, penasihat diplomatik Presiden Uni Emirat Arab menilai bahwa perlu ada solusi urgent di perang Ukraina.Â
Selain membahas perang, kedua pemimpin juga melakukan review pada isu-isu kawasan dan internasional, termasuk keputusan OPEC+ yang ingin memangkas output sebesar 2 juta barel per hari. Pemangkasan itu dimulai pada November 2022.
Keputusan itu membuat kecewa Presiden Amerika Serikat Joe Biden. The Washington Post menyebut keputusan OPEC+ menguntungkan pihak Rusia.
Presiden Putin membantah bahwa ada aliansi untuk merugikan pihak mana pun.Â
"Tindakan-tindakan kami bertujuan menciptakan stabilitas di pasar energi global," ujar Presiden Putin yang berkata aksinya bisa membuat pihak yang terlibat di produksi maupun konsumen bisa merasa tenang.
Sementara, Turki meragukan bahwa perang akan segera berakhir. Rusia dan Ukraina disebut semakin jauh dari diplomasi. Turki menilai kedaulatan Ukraina harus dihormati.
"Gencatan senjata harus dilaksanakan secepat mungkin, dan lebih cepat lebih baik," ujar Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.Â
"Harus ada perdamaian yang adil bagi Ukraina. Di mana perangnya berlangsung? Di tanah Ukraina. Sebuah proses yang akan memastikan perbatasan Ukraina dan integritas wilayah semestinya dimulai," tegas Menlu Turki.
Advertisement