Liputan6.com, Yerusalem - Pemimpin Palestina Yasser Arafat, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres dinobatkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian pada 1994.
Akan tetapi, pengumuman itu dirusak atas pengunduran diri salah satu anggota komite Nobel, Kare Kristiansen -- komite dari Norwegia -- keberatan dengan kehormatan yang diberikan kepada pemimpin Palestin Liberation Organization (PLO) yang ia gambarkan sebagai "terlalu ternoda oleh kekerasan, teror, dan penyiksaan".
Baca Juga
Pengharagaan itu juga dibayangi dengan penyelamatan serampangan atas penculikan tentara Israel oleh militan Palestina pada malam itu yang berakhir dengan kematian tawanan, tiga penculik, dan salah satu calon penyelamatnya.
Advertisement
Ini pertama kalinya hadiah Nobel dibagikan kepada lebih dari dua pemenang sekaligus, ini juga ketiga kalinya dalam 93 tahun sejarahnya ada anggota komite yang merusak peringkatnya di depan umum dan mundur, dikutip dari laman BBC, Kamis (13/10/2022).
Piala perdamaian ini mengikuti kejadian salaman bersejarah antara Pemimpin PLO Arafat dan Perdana Menteri Israel di halaman White House, AS pada 13 September 1993 yang menandai kesepakatan untuk memberikan otonomi terbatas kepada Palestina di Jalur Gaza dan di Kota Tepi Barat Jericho.
Komite Nobel menyatakan, penghargaan itu diberikan untuk menghormati tindakan politik, "Sesuatu yang menyerukan keberanian besar di kedua pihak. Dengan Oslo Accords itu, Arafat, Peres dan Rabin telah membuat kontribusi substansial untuk sebuah proses bersejarah di mana perdamaian dan kerjasama dapat menggantikan perang dan kebencian."
Meski Rabin, Arafat, dan Peres tetap menghadiri upacara penerimaan penghargaan perdamaian itu pada Desember 1994, tetapi upaya penyelamatan Kopral Israel Nahshon Waxman yang gagal telah menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di Timur Tengah.
Penculikan Kopral Israel oleh Hamas Palestina
Israel menuduh Hamas -- gerakan politik Islam di Palestina -- menahan Kopral Waxman di teritori PLO. Namun, setelah Pemimpin PLO melakukan pencarian dan menahan sekitar 150 tersangka, tentara itu ditemukan di wilayah Tepi Barat yang dikuasai oleh Israel.
Para penculik menuntut pembebasan pemimpin Hamas, Sheikh Ahmed Yassin, dan pembebasan 200 ekstrimis Hamas yang ditahan di penjara Israel, nyawa Kopral Waxman sebagai taruhannya.
PM Israel Rabin menolak bernegosiasi dan memerintahkan upaya penyelamatan -- satu jam sebelum batas waktu eksekusi Waxman.
"Saya dengan senang hati mengembalikan Penghargaan Nobel untuk mengembalikan kehidupan para tentara yang gugur," ujar Rabin setelah kejadian itu. "Siapapun yang ingin memajukan perdamaian harus melawan teroris radikal, teroris pembunuh Hamas dan Jihad Islam dan para penolak, karena merka adalah pembunuh perdamaian."
Pakar Timur Tengah terkejut dengan dinobatkannya Menlu Israel Peres dalam penghargaan itu. Meskipun Peres dan Rabin mewakili partai politik yang sama, tetapi mereka adalah rival berat. Keduanya mengeklaim pujian atas terobosoan kesepakatan 1993.
Hari itu, 14 Oktober 1994 adalah Nobel kedua yang dianugerahkan kepada pembuat perdamaian di Timur Tengah, Nobel yang pertama (1978) diberikan kepada Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin.
Advertisement
Penghargaan Kontroversial
Penghargaan itu kontroversial dan memicu banyak kritik.
Adrian Hamilton dari media The Observer menyebutnya sebagai "potongan oportunisme dari pada sebuah prinsip -- perdamaian".
David Horovitz dari media Financial Times mengatakan, keputusan itu berdasarkan harapan atas perdamaian tapi bukan perdamaian itu sendiri.
Rangkaian kejadian sejak 1994 cenderung membuktikan kebenaran kritikan itu.
PM Rabin dibunuh pada November 1995 oleh sayap kanan ekstrimis Yahudi yang melawan proses perdamaian.
Sedangkan Yesser Arafat meninggal pada 2004.
Pemilihan Januari 2005 dimenangkan oleh mantan PM Palestina Mahmoud Abbas. Di bawah kepemimpinanya, langkah-langkah tentatif menuju pembicaraan damai yang baru dilakukan meskipun kekerasan terus berlanjut di kedua belah pihak.
Sheikh Yassin akhirnya dibebaskan pada 1997 dan terbunuh saat serangan misil Israel pada 22 Maret 2004.
Perdana Dialog Tingkat Tinggi UE dan Israel Sejak 2012, Ini yang Dibahas
Sementara itu, bagaimana upaya global mewujudkan perdamaian Israel-Palestina hingga saat ini? Perdamaian Palestina-Israel bukan hanya menjadi masalah kedua negara itu saja, tapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak ke seluruh dunia.
Salah satu pihak luar yang mengupayakan perdamaian itu adalah Eropa. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, perwakilan dari Uni Eropa dan Israel menggelar pembicaraan tingkat tinggi. Pertemuan itu dilakukan pada Senin 3 Oktober 2022.
Dalam pertemuan di Brussels itu, Uni Eropa menyatakan, akan menekan Israel dalam upaya melanjutkan perdamaian yang terhenti di wilayah Palestina.
Dialog ini menjadi yang pertama setelah blok itu mengadakan pertemuan "Dewan Asosiasi" dengan Israel pada 2012.
Apa yang akan dibahas oleh Uni Eropa (UE)?
"Kami akan membahas secara terus terang dan terbuka tentang beberapa isu spesifik yang menjadi perhatian bersama kami," kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell pada awal pertemuan seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (5/10/2022).
"Saya berbicara tentang situasi di wilayah Palestina dan proses perdamaian Timur Tengah, yang terhenti," tambahnya.
Borrell menyatakan dukungannya untuk pidato Perdana Menteri Israel Yair Lapid di Majelis Umum PBB, di mana pemimpin Israel itu menyerukan "perjanjian dengan Palestina berdasarkan dua negara untuk dua bangsa."
"Ini juga yang ingin kami dorong," kata Borrell. "Kami ingin dimulainya kembali proses politik yang dapat mengarah pada solusi dua negara dan perdamaian regional yang komprehensif. Kami harus mengeksplorasi bagaimana kami dapat menerapkannya."
Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pidato yang disampaikan di depan Majelis Umum PBB setelah pidato Lapid mengatakan, "kepercayaan kami dalam mencapai perdamaian berdasarkan keadilan dan hukum internasional berkurang, karena kebijakan pendudukan Israel."
Reporter: Safinatun Nikmah
Advertisement