Sukses

AS Sebut Kesepakatan Nuklir Iran Tak Mungkin Dihidupkan Kembali Dalam Waktu Dekat

Amerika Serikat pada Kamis (13/10) mengesampingkan kemungkinan dihidupkannya kembali kesepakatan nuklir Iran dalam waktu dekat.

Liputan6.com, Teheran - Amerika Serikat pada Kamis (13/10) mengesampingkan kemungkinan dihidupkannya kembali kesepakatan nuklir Iran dalam waktu dekat, melalui sebuah penilaian suram dari perundingan yang telah lama terhenti terkait perjanjian tahun 2015 itu.

Kesepakatan bersejarah bernama Joint Comprehensive Plan of Action (JPCOA) itu porak poranda semenjak presiden AS saat itu, Donald Trump, menarik AS dari kesepakatan tahun 2018, disusul Iran yang mundur dari beberapa komitmennya sendiri.

Perundingan yang terputus-putus dilakukan sejak 2021 untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu, di mana Iran diberikan keringanan sanksi yang amat dibutuhkannya sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.

“Bukannya kami tidak mau melihat diberlakukannya kembali JCPOA, tentu saja kami mau. Hanya saja kita berada pada titik di mana kesepakatan itu tidak dapat dihidupkan kembali dalam waktu dekat,” kata juru bicara Gedung Putih, John Kirby, kepada wartawan.

“Fokus kami sekarang adalah menuntut pertanggungjawaban rezim [Iran] atas apa yang mereka lakukan terhadap para pengunjuk rasa politik yang tidak bersalah ini.”

Demonstrasi dan kerusuhan telah melanda republik Islam itu sejak Mahsa Amini, 22 tahun, meninggal dunia pada 16 September lalu setelah ditangkap polisi moral Iran di Teheran karena diduga melanggara aturan berpakaian bagi perempuan di negara itu.

Agustus lalu Uni Eropa telah mengajukan draf akhir modifikasi kesepakatan nuklir untuk disepakati, namun ada beberapa poin penting yang mengganjal Teheran, Washington dan badan pemantau nuklir PBB.

Presiden AS Joe Biden “berkomitmen untuk tidak mengizinkan Iran memiliki kapasitas senjata nuklir,” kata Kirby.

“Presiden masih percaya, cara diplomatik adalah cara terbaik untuk mencapai hal tersebut.

“Pada saat ini, pemerintah Iran kembali mengajukan tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal, di mana banyak di antaranya tidak berhubungan sama sekali dengan kesepakatan tersebut.”

Sebaliknya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanani mengatakan awal bulan ini bahwa kesepakatan itu masih dapat dihidupkan kembali dan upaya itu masih terus dilakukan.

2 dari 4 halaman

Iran Bersikeras Capai Kesepakatan di Perundingan Nuklir

Dalam pembicaraan yang berlarut-larut dengan negara-negara adidaya untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir tahun 2015 yang carut marut, Iran, pada Selasa (6/9), bersikeras untuk menyelesaikan “empat topik” dalam perundingan itu.

Empat poin yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah Iran itu terkait dengan jaminan yang akan Amerika Serikat dalam kesepakatan baru, keringanan sanksi, dan pemantauan PBB terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia.

Juru bicara Ali Bahadori-Jahromi dalam konferensi pers mengatakan “seperti yang dikatakan Presiden Iran Ebrahim Raisi, kami telah mengupayakan dan akan terus mengupayakan empat topik (tersebut )dalam negosiasi.”

Pada poin pertama, ujarnya, “jaminan Amerika harus meyakinkan” terutama mengacu pada permintaan Iran bahwa pemerintah Amerika Serikat di masa depan tidak lagi membatalkan perjanjian itu sebagaimana yang dilakukan mantan presiden Donald Trump pada tahun 2018.

“Verifikasi obyektif dan praktis harus disiapkan dalam kesepakatan itu,” tambahnya, untuk memastikan agar sanksi ekonomi tidak saja dicabut di atas kertas, dan bahwa perusahaan-perusahaan internasional dapat kembali ke Iran dan beroperasi secara bebas.

Bahadori-Jahromi juga mengatakan “penghapusan sanksi harus bermakna dan berkelanjutan” karena Iran yang kaya minyak benar-benar berharap dapat menuai manfaat ekonomi dari keringanan sanksi itu.

Perjanjian nuklir yang asli menjanjikan pencabutan sanksi dan bantuan pada Iran sebagai imbalan atas jaminan untuk tidak mengupayakan pembuatan senjata nuklir.

3 dari 4 halaman

Trump Menarik Diri dari Kesepakatan Nuklir

Trump menarik AS keluar dari perjanjian itu pada tahun 2018 dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang berat terhadap Iran. Hal tersebut mendorong Iran membatalkan komitmennya dalam perjanjian itu.

Sejak April 2021 lalu, Iran – dengan bantuan mediasi Uni Eropa – telah kembali terlibat dalam perundingan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir itu. Perundingan langsung dilakukan bersama Inggris, China, Prancis, Jerman dan Rusia; sementara perundingan tidak langsung dilakukan dengan Amerika Serikat.

Uni Eropa pada 8 Agustus lalu mengajukan apa yang disebut sebagai teks akhir untuk menghidupkan kembali perjanjian itu.

Iran dan Amerika telah mengeluarkan tanggapan atas proposal tersebut.

Amerika Serikat, pada Kamis (1/9) lalu, melabeli tanggapan terbaru Iran itu sebagai hal yang “tidak konstruktif,” dan menambahkan bahwa Washington akan mengeluarkan jawabannya sendiri melalui Uni Eropa.

Bahadori-Jahromi mengatakan “perundingan tentang kesepakatan itu terus berlanjut, tetapi pihak lain harus menghentikan tuntutan yang berlebihan.”

4 dari 4 halaman

Menlu Iran: Kesepakatan Nuklir Akan Tercapai Jika AS Realistis

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian pada hari Senin mendesak Amerika Serikat untuk menjadi "realistis" untuk membantu mencapai kesepakatan dalam pembicaraan Wina yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Diplomat Iran mengatakan dalam sebuah tweet bahwa "tuntutan berlebihan" dari Amerika Serikat dapat menyebabkan jeda dalam negosiasi Wina karena Iran "tidak akan pernah menyerah" pada tuntutan tersebut.

Amir-Abdollahian juga menunjukkan bahwa "kesepakatan dapat dicapai jika Amerika Serikat realistis."

Sebelumnya pada hari itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas penundaan pembicaraan di Wina.

Iran menandatangani JCPOA dengan kekuatan dunia pada Juli 2015. Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Teheran, mendorong republik Islam itu untuk mengurangi beberapa komitmen nuklirnya di bawah kesepakatan sebagai pembalasan.