Sukses

PayPal Tutup Akun Grup Pro-Demokrasi di Hong Kong

Kelompok pro-demokrasi Hong Kong menuntut jawaban dari PayPal.

Liputan6.com, Hong Kong - Gerakan pro-demokrasi di Hong Kong merasa heran karena akun rekeningnya ditutup oleh PayPal. Saat ini, kelompok pro-demokrasi di Hong Kong sudah semakin terpojok karena hukum baru China untuk meredam pembangkang.

Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Jumat (14/10/2022), liga Sosial Demokrat mengatakan bahwa PayPal, perusahaan teknologi keuangan multinasional dan pemroses pembayaran online yang berkantor pusat di California dan Nebraska, menulis email yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa lagi memberi pelayanan kepada kelompok aktivis itu.

Kelompok itu mengatakan PayPal Hong Kong Limited mengirim email pada 19 September tentang penutupan tersebut. Sejak itu, tidak ada sumbangan baru yang bisa diterima organisasi itu.

Teks email PayPal yang dikirim ke Liga Sosial Demokrat pada September telah dilihat oleh VOA. Isi email menguraikan alasan penutupan dan mengatakan bahwa keputusan itu "final." 

Dibentuk pada 2006, Liga Sosial Demokrat adalah salah satu organisasi aktivis terakhir yang masih berfungsi di Hong Kong. Selama bertahun-tahun, beberapa anggota intinya telah menjalani hukuman penjara setelah tekanan dari pihak berwenang atas ideologi dan aktivisme kelompok tersebut.

Avery Ng, mantan ketua organisasi itu, mengatakan liga merasa "tidak berdaya" atas keputusan PayPal.

“(Kami tidak menerima) peringatan. Tidak ada tanggapan dari mereka untuk penjelasan lebih lanjut. Hanya tanggapan tentang cara menarik sisa dana dari rekening. PayPal perlu memberi kami dan publik jawaban yang jelas,” kata Ng kepada VOA.

PayPal adalah salah satu alat utama kami untuk penggalangan dana online. Diskusi mereka yang tidak terduga dan tidak dapat dijelaskan menghalangi upaya kami untuk menggalang dana untuk kasus-kasus pengadilan kami yang sejauh ini dalam situasi yang sulit," ujarnya.

2 dari 4 halaman

5 Remaja Hong Kong Divonis 3 Tahun Bui di Bawah UU Anti-pembangkang China

Lima remaja telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di Hong Kong karena mengadvokasi penggulingan pemerintah Beijing.

Ini adalah pertama kalinya undang-undang keamanan nasional digunakan di pengadilan terhadap warga berusia 18 tahun ke bawah di Hong Kong, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (9/10).

Beijing memperkenalkan undang-undang yang luas - yang membuatnya lebih mudah untuk menuntut pengunjuk rasa - di kota itu pada tahun 2020.

Banyak yang menentang pemerintah China sejak itu dipenjara, menyingkirkan sebagian besar oposisi politik.

Pengadilan mendengar para terdakwa telah menggunakan media sosial dan bilik jalanan untuk mengadvokasi "revolusi berdarah" untuk menggulingkan negara China di bekas koloni Inggris itu.

Hakim Kwok Wai-kin mengatakan: "Bahkan jika satu orang dihasut, stabilitas Hong Kong dan keselamatan penduduk bisa sangat dirugikan."

3 dari 4 halaman

Anggota Kelompok Pro-demokrasi Hong Kong

Para remaja itu, yang berusia antaar 16 - 19 tahun, adalah anggota Returning Valiant, sebuah kelompok pro-kemerdekaan Hong Kong.

Wai-kin mengatakan dia menghargai "usia dan ketidakdewasaan" para terdakwa, yang berarti mereka dijatuhi hukuman fasilitas penahanan bagi kaum muda --dikenal juga sebagai pusat pelatihan-- alih-alih penjara.

Hakim juga membatasi lamanya hukuman mereka menjadi tiga tahun. Berapa lama mereka tetap berada dalam tahanan akan tetap menjadi kebijaksanaan pihak berwenang.

Kasus ini juga melibatkan dua orang dewasa, yang akan dijatuhi hukuman bulan depan.

4 dari 4 halaman

Lebih dari 100 Orang Telah Ditangkap

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh ChinaFile dalam kemitraan dengan Georgetown University, setidaknya 110 orang telah ditangkap di bawah undang-undang keamanan nasional.

Mereka yang ditangkap termasuk pengunjuk rasa, aktivis, dan mantan anggota parlemen oposisi.

Aktivis pro-demokrasi Hong Kong telah bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan independensi dari Beijing. Protes besar terkait hal tersebut pernah terjadi sepanjang tahun 2019.

China berusaha menegaskan kekuasaannya atas Hong Kong di bawah kebijakan One China Two Systems, namun lambat-laun semakin mempertajam pengaruh Beijing di bekas koloni Inggris tersebut.