Liputan6.com, Jakarta Diplomat Rusia membantah kabar bahwa negaranya yang dipimpin Vladimir Putin memesan drone dari Iran. Rusia berkata kabar tentang drone pesanan dari Iran itu sebagai disinformasi.
"Kami mengobservasi putaran lain kampanye disinformasi," ujar Deputi Pertama Utusan Tetap Rusia di PBB, Dmitry Polyansky, dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Kamis (20/10/2022).
Polyansky menyebut disinformasi itu disebar delegasi-delegasi Barat yang membahas isu drone tersebut di Dewan Keamanan PBB. Ia pun menilai negara-negara Barat sedang berusaha mencari dalih untuk mengganjar sanksi lagi bagi Rusia.
Advertisement
Baca Juga
"Tujuan kolega-kolega Barat kita jelas: mereka berusaha menyerang dua target sekaligus, (yakni) menciptakan latar buatan untuk menekan Rusia dan Iran," ujarnya.
Pada Rabu 19 Oktober malam, Kedutaan Besar Iran di Jakarta juga berkata bahwa Barat kemungkinan akan menarget Iran dengan sanksi dengan menggunakan alasan drone. Duta Besar Iran Mohammad Azad berkata Barat melakukan itu karena industri drone Iran yang sedang maju.
Lebih lanjut, Dubes Azad juga tidak menyatakan negaranya pro-Rusia. Ia berkata negaranya memilih untuk berusaha membangun perdamaian antara Ukraina dan Rusia.
Masalah drone ini muncul setelah munculnya serangan kamikaze Rusia di Ukraina dengan menggunakan drone. Barat menuding drone tersebut adalah produk Iran.
Pada Senin 17 Oktober, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berkata telah mengetahui bahwa drone tersebut memang milik Iran. Rusia disebut menerima ratusan UAV (unmanned aerial vehicle).
"Kami telah mengingatkan sejak Juli bahwa Iran berencana untuk menjual UAV untuk Rusia agar digunakan terhadap Ukraina. Kami juga telah mengekspos secara publik mendapatkan drone-drone dari Iran; bahwa ini adalah bagian dari rencana Rusia untuk mengimpor ratusan UAV bermacam tipe; dan para operator Rusia terus mendapat pelatihan dari Iran terkait penggunaannya," Vedant Patel, Deputi Jubir Utama Kemlu AS.
Kejahatan Perang
Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat akan meminta pertanggungjawaban Rusia atas "kejahatan perang" yang telah dilakukan dan mengambil tindakan terhadap perusahaan dan negara yang bekerja dengan program pesawat tak berawak Iran, menyusul serangkaian serangan di kota-kota Ukraina.
Dilansir Al Jazeera, Selasa (18/10/2022), setidaknya empat orang - termasuk pasangan yang sedang mengandung bayi - tewas pada Senin pagi setelah sebuah pesawat tak berawak menghantam sebuah gedung apartemen di ibukota Ukraina, Kyiv. Serangan itu juga mematikan aliran listrik ke ratusan kota dan desa.
Berbicara dalam pidato malam regulernya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, serangan udara terus berlanjut.
“Saat ini, ada serangan drone Rusia yang baru,” katanya.
“Ada [drone] yang telah ditembak jatuh.”
Ukraina mengatakan, serangan itu dilakukan dengan drone kamikaze, Shahed-136 yang dilaporkan dibeli oleh Rusia dari Iran. Namun, para pejabat di Teheran membantah telah menjual senjata ke Moskow.
Usai diserang, tentara Ukraina melepaskan tembakan ke udara dalam upaya untuk menembak jatuh drone setelah ledakan mengguncang ibu kota pada Senin pagi. Sebuah roket anti-pesawat pun terlihat melesat ke langit, diikuti oleh ledakan dan nyala api oranye, saat penduduk berlomba-lomba mencari perlindungan.
Advertisement
Sejumlah Orang Tewas
Serangan drone tersebut menghantam infrastruktur penting di tiga wilayah, seperti dikutip dari laman BBC, Senin (17/10).
Akibat serangan ini, aliran listrik di ratusan desa Ukraina terputus, menurut Perdana Menteri Denys Shmygal.
Sedikitnya delapan orang tewas, empat di Sumy dan empat di Kyiv.
Gelombang seruan sanksi terhadap Iran semakin meningkat. Namun Iran menyangkal telah memasok drone ke Rusia.
Seminggu yang lalu, ibukota Ukraina dihantam oleh rudal Rusia. Serangan itu kemudian menewaskan 19 orang.
Shmygal mengatakan, serangan terbaru tersebut telah menghantam wilayah Kyiv, Dnipro dan Sumy.
"Rusia sedang memburu semua fasilitas yang berhubungan dengan energi," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Ukraina, Yevhen Yenin.
"Mereka ingin menimbulkan kekacauan di industri energi."
Sementara itu, Andriy Yermak, kepala staf Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan; "Ini menunjukkan keputusasaan mereka."
Negara G20 Sebut Perang Rusia-Ukraina Perparah Krisis Pangan Global
Beralih ke isu pangan, para Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian Negara Anggota G20 sepakat ancaman krisis pangan sudah terjadi sejak awal 2020 ketika pertama kali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pandemi Covid-19 di bulan Maret. Apalagi di saat yang bersamaan ada ancaman perubahan cuaca ekstrem di seluruh dunia.
Ancaman krisis pangan pun terus berlanjut hingga penyebaran virus corona mulai terkendali. Namun kondisinya makin parah ketika Rusia melakukan invasi kepada Ukraina di bulan Februari 2022.
Sebagian besar negara anggota G20 pun meminta Rusia segera mengakhiri perang. Cara ini menjadi salah satu kunci penting mengakhiri ancaman krisis pangan dunia.
"Banyak anggota menyatakan pandangan bahwa perang Rusia melawan Ukraina memperburuk kerawanan pangan global dan menyerukan mengakhiri perang," dikutip dari dokumen Rangkuman Hasil Pertemuan Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (18/10).
Menanggapi itu, satu anggota G20 menilai sanksi sepihak yang diterima Rusia justru yang memicu munculnya krisis pangan. Sebab, pasca invasi di Ukraina sejumlah negara barat menjatuhkan sanksi ke Moskow. Salah satunya sanksi terhadap dunia lembaga keuangan besar Rusia dan utang negara Rusia.
"Satu anggota menyatakan pandangan bahwa sanksi sepihak berdampak negatif terhadap kerawanan pangan global," tulis dokumen tersebut.
Advertisement