Liputan6.com, Tokyo - Festival lampion ada di seluruh dunia. Namun, tempat terbaik untuk menikmati parade lampion pedati yang begitu mencolok dan berukuran raksasa hanya ada di Jepang.
Negeri Sakura ini terkenal memiliki seniman terbaik, dalam hal menciptakan karya lampion pedati yang penuh warna, berukuran raksasa, dan tampak gemerlap di langit malam.
Jepang juga sering menampilkan desain rumit yang terinspirasi dari sejarah, mitologi, dan budaya Jepang. Misalnya, pedati raksasa dalam Festival Tenku no Fuyajo di Kota Noshiro, Akita dan karya-karya memukau yang diarak dalam Festival Tachineputa di Goshogawara, Aomori.
Advertisement
Awal Agustus, Kota Noshiro menjadi tuan rumah Festival Tenku no Fuyajo (Istana Lampion di Langit). Festival ini diadakan kembali sejak 2013, setelah jeda yang cukup lama.
Sejarah peristiwa unik ini dapat ditelusuri kembali di abad ke-19. Tepatnya di sekitar era Tenpo (1830-1844), sebuah lampion pedati raksasa berbentuk Istana Nagoya diterbangkan dan diarak keliling Kota Noshiro semalaman hingga fajar.
Dulu, lampion yang disebut Toro itu selalu dipamerkan di Noshiro setiap tahun. Namun, munculnya kabel listrik di era modern mempersulit parade, sehingga Toro setinggi 17.6 meter digantikan dengan yang lebih kecil, sekitar 7-8 meter. Itu pun tak bisa diarak.
Ketika sudah ada teknologi kabel listrik yang dibenamkan di bawah tanah, barulah pada 2013 parade itu kembali diadakan. Para seniman lokal bergotong royong membuat Toro dengan ukuran dan desain yang sama seperti aslinya, bersumber dari naskah dan lukisan kuno.
Pada tahun berikutnya, para pengrajin itu membuat rekor baru dengan menciptakan lampion pedati tertinggi dalam sejarah Jepang, yaitu 'raksasa' setinggi 24.1 meter yang dinamakan Chikasue.
Setiap Agustus, kedua lampion raksasa itu diarak di jalanan Nashiro beriringan dengan karya-karya lainnya yang lebih kecil.
Parade Lampion Pedati Setiap Agustus
Sementara itu, festival lampion raksasa lainnya, Goshogawara Tachineputa dilaksanakan setiap tahun di antara 4 dan 8 Agustus di Aomori. Lampion-lampion yang disebut Tachineputa itu berukuran tinggi 23 meter dan berat 19 ton.
Setiap tahun, tiga Tachineputa raksasa dan 12 lampion pedati yang lebih kecil diarak di sepanjang Goshogawara.
Menurut catatan yang ada, festival Tachineputa yang paling awal diadakan pada 1907 saat para pemilik tanah yang kaya raya saling bersaing menciptakan pedati yang paling memukau.
Namun, dua kebakaran dahsyat mengakhiri tradisi ini beberapa dekade lalu. Parade Tachineputa diadakan kembali sejak 1993.
Selain itu, juga ada Nebuta Matsuri, festival lampion pedati raksasa lain di Aomori yang diadakan setiap 2-7 Agustus. Para pengrajin butuh waktu selama setahun untuk membuat dua lusin lampion yang didesain dengan rangka kawat dan dibungkus kertas washi itu.
Desain lampion Nebuta Matsuri menggambarkan berbagai elemen budaya Jepang, seperti makhluk magis dan tokoh bersejarah. Lebarnya bisa mencapai 9 meter dengan tinggi 3 meter. Lampion itu diarak setiap malam melalui jalanan Aomori diiringi oleh puluhan penabuh taiko, pemain suling, simbal, dan ratusan penari.
Advertisement
Sejarah Menarik Festival Lampion dalam Perayaan Imlek
Selain Jepang, Cina memiliki festival lampion yang ikonik dan unik. Di Cina, perayaan ini identik dengan Imlek.
Festival Lampion merupakan puncak sekaligus penutup dari perayaan Tahun Baru Imlek. Melansir dari chinesenewyear.net, Rabu (10/02/2021), Festival Lampion atau Yuan Xiao sudah ada lebih dari 2000 tahun lalu.
Festival ini memiliki banyak makna, salah duanya reuni keluarga dan hari pembebasan. Beberapa orang menyebut Festival Lampion sebagai Hari Valentine China. Saat festival diselenggarakan, banyak tradisi spiritual kuno yang ditampilkan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu menyalakan lampion, melihat bulan, bermain teka-teki, pertunjukan barongsai, menyantap makanan tradisional, dan masih banyak lagi. Menurut kalender lunar, festival ini berlangsung pada 15 Januari.
Tetapi pada masa lalu dan masa kini, festival ini ditentukan berdasarkan kalender Gregorian. Artinya, pada tahun ini Festival Lampion berlangsung pada tanggal 26 Februari.
Festival Lampion telah ada lebih dari 2000 tahun silam pada Dinasti Han Barat. Perayaan ini ditetapkan oleh Kaisar Wu sebagai ritual pemujaan untuk salah penguasa alam semesta bernama Taiyi.
Setelah terjadi kerusuhan karena perebutan kekuasaan, Kaisar Wen sebagai kaisar baru menetapkan tanggal 15 untuk merayakan perdamaian dan menjadi hari libur nasional.
Setiap rumah merayakan kebahagiaan dan bersenang-senang dengan menyalakan lampion dan lilin. Sementara, Kaisar Ming dari Dinasti Han Timur setelah mendapat informasi bahwa para Biksu menyalakan lilin untuk Sang Buddha setiap tanggal 15.
Ia langsung memerintahkan kuil dan istana untuk ikut menyalakan lilin. Bagi warganya diperintahkan menggantung lampion. Hal itu menjadi awal kemunculkan Festival Lampion, yang berasal dari gabungan kedua acara itu.
Di akhir Tahun Baru Imlek, semua orang keluar rumah untuk merayakan Festival Lampion. Festival ini melambangkan sebagai acara reuni dan kebebasan. Semua orang bersosialisasi dengan siapa saja dalam perayaannya.
Di Tiongkok Kuno, para wanita biasanya tidak mendapat izin keluar rumah. Mereka diizinkan keluar hanya pada malam Festival Lampion. Mereka bebas berinteraksi dengan laki-laki, bermain game, maupun menyalakan lampion.
Kisah tersebut dianggap romantis dan menjadi alasan bagi beberapa orang yang menyebut Festival Lampion sebagai Hari Valentine China. Festival ini juga memiliki sisi religi dalam agama Buddha modern, paganisme Tiongkok kuno, dan budaya etnis minoritas.
Indahnya Langit Dieng Saat Bermandikan Ribuan Lampion
Sementara itu, di Indonesia juga ada daerah yang identik dengan festival lampionnya, yaitu Dieng.
Malam puncak Dieng Culture Festival 2018 benar-benar luar biasa. Rasa rindu wisatawan terhadap event ini pun terobati. Terlebih saat sekitar 5.000 lampion diterbangkan. Langit sekitar Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menjadi sangat cantik dan semarak, Minggu (4/5/2018) dini hari.
Ribuan lampion beraneka warna yang diterbangkan pada rangkaian Festival Budaya Dieng 2018. Suhu dingin yang mencapai di bawah 10 derajat Celcius, tidak mampu menyurutkan minat wisatawan dan masyarakat untuk tetap berada di pelataran Candi Arjuna. Sambil menyulut api untuk menerbangkan lampion, ribuan wisatawan tanpa dikomando menyanyikan lagu Indonesia Pusaka.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bersama istri, dan Bupati Banjarnegara Budi Sarwono, juga terlihat menerbangkan lampion dari atas panggung acara.
"Malam ini Dieng indah, penuh dengan lampion. Warna-warni lampion dam dinginnya Dieng diharapkan bisa meredakan suhu politik menjelang Pilpres 2019," kata Ganjar sambil memandang ke langit di atas Dataran Tinggi Dieng yang dihiasi ribuan lampion.
Ganjar pun mendorong agar pelaksanaan Dieng Culture Festival selanjutnya bisa memberikan dampak perekonomian bagi masyarakat setempat.
"Banyak wisatawan yang datang bahkan hingga 2 sampai 3 kali. Mereka sudah menikmati jazz atas awan semalam. Acara ini selalu menarik dan orang selalu menunggu-menunggu. Kami akab dorong terus pariwisata sebagai potensi ekonomi baru," ujarnya.
Penerbangan ribuan lampion dilakukan serentak usai pentas musik bertajuk "Senandung Negeri di Atas Awan".
Pentas musik ini menampilkan beberapa grup musik lokal dengan bintang tamu penyanyi Hiroaki Kato dari Jepang dan Noe vokalis "Letto". Kehadiran Noe yang sempat dirahasiakan panitia, membuat wisatawan kaget.
Lagu-lagu andalan band Letto pun dibawakannya. Seperti "Sebelum Cahaya", "Sandaran Hati", hingga "Ruang Rindu". Tanpa diperintah, wisatawan ikut bernyanyi. Dengan menggunakan bahasa Jawa, Noe yang merupakan anak pertama budayawan Emha Ainun Nadjib, sukses mengajak penonton berdendang.
Aksi panggung menawan juga diperlihatkan band Asal Yogyakarta, The Rain. Lewat hits "Terlatih Patah Hati", The Rain berhasil menghipnotis ribuan penonton yang hadir. Lagu ini sekaligus menutup event yang sudah 9 kali dilaksanakan itu.
Pihak Kementerian Pariwisata juga ikut happy dengan pelaksanaan DCF-9. Sebab, bukses DCF-9 bisa memberikan impact langsung terhadap perekonomian di Dieng. Masyarakat diharapkan bisa lebih baik dalam hospitality terhadap wisatawan baik wisatawan mancanegara ataupun nusantara.
"Kekayaan adat dan budaya daerah ini tentunya akan memperkaya keragaman adat dan budaya nasional perlu untuk dilestarikan,” ujar Ketua Pelaksana Top 100 Calender of Event (CoE) Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuti, yang diwakili Koordinator Tim CoE Ngurah Putra.
Menteri Pariwisata Arief Yahya, menilai Dieng Culture Festival memiliki aspek Content dan Communication yang bagus.
"Harapan selanjutnya setelah Content-nya sudah oke, Communication sudah oke, tinggal C yang ketiga yaitu Commercial. Aspek Commercial pun berarti sudah mengokohkan Dieng sebagai destinasi utama Indonesia," ujarnya.
Reporter: Safinatun Nikmah
Advertisement