Liputan6.com, Jakarta - Waktu bukan satu-satunya hal yang berharga bagi para pencari nafkah. Namun, hal yang lebih realistis adalah uang.
Saat bekerja, bukan hanya mendapatkan uang, namun kita perlu mengeluarkan uang, untuk biaya makan, transportasi hingga hal yang tak terduga lainnya.
Baca Juga
Di masa Pandemi COVID-19, para pekerja dituntut bekerja dari rumah. Tidak lagi harus pergi ke kantor, meski dengan segala plus dan minusnya.
Advertisement
Lantas, mana yang menguntungkan. Kerja dari rumah atau ke kantor.
Dalam urusan keuangan, menurut laporan baru-baru ini, pergi ke kantor menghabiskan biaya hampir dua kali lipat dari pada bekerja dari rumah secara penuh waktu, dikutip dari Mentalfloss, Kamis (20/10/2022).
Biasanya, para karyawan di Amerika Serikat yang harus bekerja tatap muka ke kantor menghabiskan uang tambahan US$ 5000 setahun atau setara Rp 77 juta.
Seperti yang dilaporkan Money, perusahaan Owl Labs mensurvei lebih dari 2300 karyawan tetap tentang kebiasaan belanja harian mereka pada Juli 2022.
Pekerja yang pulang pergi ke kantor menghabiskan rata-rata US$ 863 sebulan untuk pengeluaran terkait, seperti makanan, perawatan hewan peliharaan, dan transportasi. Karyawan yang bisa bekerja dari jarak jauh, sementara itu, menghabiskan US$ 423 per bulan dalam kategori yang sama, sehinga US$ 440 yang disimpan.
Model kerja hybrid juga jadi solusi tetapi masih dapat membebani karyawan.
Sepertiga dari peserta survei melaporkan pergi ke kantor paruh waktu masih menghabiskan uang jauh lebih banyak. Rata-rata pekerja dengan sistem hibrida menghabiskan US$ 15,11 untuk perjalanan pulang pergi, US$ 14,25 untuk makan siang, dan US$ 8,46 untuk kopi dan sarapan setiap hari.
Dengan harga makanan dan yang lain mencapai rekor tertinggi pada tahun 2022, pengeluaran harian ini menjadi lebih sulit untuk dianggarkan.
Bekerja dari rumah memiliki biaya tersembunyinya sendiri, seperti internet, listrik, dan perlengkapan kantor. Tetapi dibandingkan dengan 4 latte dan sandwich yang mungkin Anda beli setiap hari sebagai pengguna komuter, tentu ini masih terbilang kecil.
Kerja Hybrid Dianggap Melelahkan oleh Pekerja, Begini Tanggapan Pakar
Metode kerja hybrid disanjung-sanjung sebagai pola kerja di masa depan. Meskipun demikian, ini ternyata melelahkan bagi sebagian pekerja.
Melansir dari Situs BBC, ketika Klara ditawari kerja hybrid, dia pikir itu akan menjadi keputusan terbaik. Dia bergabung dengan sebuah firma yang berbasis di London dengan kontrak kerja penuh di kantor (full-time office). Namun, pandemi COVID-19 memaksanya bekerja dari rumah.
"Memiliki pengaturan hybrid permanen awalnya melegakan," kata Klara yang nama keluarganya disembunyikan demi keamanan.
"Setelah bertahun-tahun kerja penuh di kantor, saya merasa akhirnya dapat mengontrol jadwal kerja dan kehidupan rumah yang sibuk."
Meskipun demikian, setelah beberapa bulan berlalu, kerja hybrid memberi rutinitas yang melelahkan.
"Saya merasa tenang dan fokus di hari kerja dari rumah," kata Klara. "Namun, malamnya, saya takut harus kembali (ke kantor). Duduk di kursi selama 8 jam perhari di kantor yang berisik, melihat ke layar, menyusaikan kembali keadaan persis sebelum COVID-19."
Kaira merasa dia memiliki 2 tempat kerja untuk dipertahankan, yaitu kantor dan rumah. Ini membuatnya harus merencanakan hal-hal seperti membawa laptop ke dan dari kantor tiap hari, dan mengingat dimana ia meninggalkan barang penting, tambahnya.
"Ini adalah pergeseran psikologis, perubahan tempat setiap hari itu sangat melelahkan. Perasaan konstan karena tidak bisa tenang, stres, dan kerja rumah yang produktif selalu terganggu."
Data yang muncul mulai mendukung bukti anekdotal seperti: banyak pekerja melaporkan metode kerja hybrid menguras emosi. Dalam studi baru-baru ini oleh platform keterlibatan karyawan, Tinypulse, lebih dari 80 persen pimpinan melaporkan bahwa pengaturan ini melelahkan bagi karyawan.
Karyawan juga melaporkan bahwa metode hybrid lebih melelahkan secra emosional daripada kerja dari rumah (WFH), dan bahkan dari kerja penuh di kantor.
Advertisement
Metode Kerja Hybrid
Banyak sektor bisnis yang berencana menerapkan model kerja hybrid secara permanen, dan karyawan pada umumnya ingin menghabiskan hari kerjanya di rumah dan di kantor.
Akan tetapi, apa yang sebenarnya membuat metode kerja hybrid melelahkan? Bagaimana karyawan dan perusahaan menghadapi kesulitan sehingga metode hybrid dapat berjalan lancar?
Karena pandemi yang tak kunjung usai dan kebiasaan kerja fleksibel pekerja telah mendarah daging, kerja penuh di kantor bagaikan peninggalan masa lalu. Akan tetapi, sementara beberapa perusahaan telah menerapkan kebijakan kerja dari mana saja, sebagian besar bisnis menjadikan hybrid sebgai model kerja standar setelah dianggap aman untuk kembali ke kantor dengan skala besar.
Secara teori, metode kerja hybrid memberikan penawaran terbaik untuk atasan dan bawahan.
Hybrid menggabungkan pola kerja sebelum COVID-19 yaitu kerja di kantor dengan kerja jarak jauh dalam jadwal kerja yang memungkinkan baik kolaborasi langsung maupun pembangunan tim, serta fleksibilitas yang lebih besar dan peluang untuk fokus bekerja di rumah. Ini terlihat menguntungkan bagi bekerja.
Perubahan Model Kerja ke Hybrid
Dalam sebuah studi pada Mei 2021, 83 persen mengatakan mereka ingin menerapkan model hybrid setelah pandemi berakhir.
"Ada perasaan bahwa hybrid adalah yang terbaik untuk kedua dunia," ujar seorang psikolog organisasi industri dan ilmuwan orang di Tinypulse Elora Voyles yang berbasis di California.
"Untuk atasan, ini berarti mereka dapat mempertahankan rasa kontrol dan menemui pekerjanya secara langsung. Untuk karyawan, ini menawarkan lebih banyak fleksibilitas daripada kerja penuh di kantor serta memungkinkan mereka bisa bekerja dengan aman selama pandemi."
Meskipun demikian, karena kebaruan kerja hybrid telah memutar, begitu pula dengan antusiasme para pekerja.
"Kami menemukan bahwa orang kurang positif terhadap metode hybrid hingga 2021 seiring berjalannya tahun," jelas Voyles.
"Di musim semi dan musim panas, banyak organisasi yang benar-benar tertarik untuk mengimplementasikannya. Mereka membawa karyawan ke jadwal hybrid, tetapi kemudian dengan cepat menemui kesulitan."
Organisasi yang belum pernah mengimplementasikan model hybrid sebelumnya tiba tiba membuat kebijakan dengan cepat tanpa berkonsultasi dengan karyawan. Jadi, dalam kasus Kaira, pengaturan sebagian di kantor dan sebagian di rumah didorong ke tenaga kerja.
Advertisement