Liputan6.com, Moskow - Kapal selam bertenaga nuklir terbaru Rusia bernama Generalissimo Suvorov meluncurkan rudal balistik antarbenua Bulava.
Hal ini dikonfirmasi oleh Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan pada Kamis, 3 November 2022.
Baca Juga
Kapal selam itu menembakkan rudal dari bawah air di laut dan hulu ledaknya berhasil mengenai sasaran di wilayah uji coba Kura di Semenanjung Kamchatka, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Generalissimo Suvorov, kapal kedua dari kapal selam kelas Borey-A, sedang menjalani tahap akhir tes sertifikasi pemerintah sebelum bergabung dengan Armada Pasifik Rusia, kata kantor berita TASS.
Vladimir Putin Bantah Pakai Senjata Nuklir di Ukraina
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah ada niat untuk menggunakan senjata nuklir di Ukraina. Ia berkata hal itu tidak perlu.
"Kami tidak melihat keperluan untuk melakukan hal tersebut," ujar Putin seperti dilansir AP News, Jumat (28/10/2022).
"Tidak ada tujuan untuk hal itu, baik secara politik maupun militer," ucapnya.
Hal itu diungkap Presiden Vladimir Putin pada acara konferensi pakar luar negeri, Kamis (27/10). Ucapan Putin itu berbeda dari beberapa waktu lalu ketika ia mengaku siap menggunakan segala cara yang tersedia untuk melindungi Rusia.
Presiden AS Joe Biden mengecam ucapan tersebut karena "segala cara" dituding turut melibatkan senjata nuklir.
Kini, Presiden Putin berkata hal itu tidak dimaksudkan memakai nuklir, tetapi hanya merespons ucapan Barat terkait nuklir. Ia menyorot mantan Perdana Menteri Inggris Liz Truss yang mengaku siap menggunakan nuklir, sehingga pemerintah Rusia resah.
Vladimir Putin yang melancarkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari menyebut Barat menggunakan metode "berbahaya, berdarah, dan kotor" untuk mendominasi.
Upaya Menekan Rusia
Presiden Putin pun berpikir ada posisi terkoordinasi untuk memeras negaranya.
"Barat tidak akan bisa mendikte keinginan umat manusia, tetapi masih mencoba melakukannya, dan mayoritas negara tidak akan menoleransinya," ujar Vladimir Putin.
Lebih lanjut, Vladimir Putin juga berkata bahwa Ukraina ingin menyerang dengan radioactive dirty bomb, namun kemudian akan menuduh Rusia yang memakainya. Rusia juga berkata tahu lokasi pembuatan bom tersebut.
Ukraina menyebut tuduhan itu sebagai palsu.Â
Advertisement
Prajurit Wamil Rusia Mengeluh Kurang Peralatan dan Makanan
Sebelumnya dilaporkan, wajib militer (wamil) Rusia yang terburu-buru membuat prajurit kesulitan mendapatkan kebutuhan di lapangan. Video-video prajurit wamil beredar di media sosial yang mengeluhkan kurangnya peralatan dan kualitas hidup yang buruk.
Para prajurit yang direkrut pada mobilisasi parsial itu juga tak mendapatkan pelatihan mumpuni. Akibatnya, mereka dimajukan ke garis depan meski belum ada kesiapan.
Berdasarkan laporan AP News, Rabu (26/10), beredar video-video di media sosial Rusia yang menampilkan prajurit mengeluhkan akomodasi yang sempit dan kotor. Toilet dipenuhi sampah. Makanan dan obat juga kurang. Beberapa prajurit menunjukkan senjata-senjata yang usang.
"Kami tidak mencari-cari kalian. Kalian yang mencari-cari kami. Sekarang lihat ini. Berapa lama ini akan berlanjut?" ujar seorang prajurit yang marah pada sebuah video.
Presiden Rusia Vladimir Putin menerapkan mobilisasi tersebut untuk mencari 300 ribu pasukan cadangan. Yang dicari sebenarnya adalah yang punya pengalaman tempur.
Namun, aktivis dan kelompok HAM menyebut orang-orang yang tak punya pengalaman militer juga direkrut. Polisi juga dilaporkan mencari-cari calon prajurit di jalanan maupun hotel. Pengecekan kesehatan seringkali terlewatkan.
Aktivis juga berkata etnis minoritas banyak direkrut. Sebelumnya, ada video komunitas Muslim di Dagestan yang unjuk rasa menolak wamil.
Protes pun mencuat di berbagai daerah. Berpuluh-puluh ribu laki-laki Rusia memilih kabur ke negara tetangga untuk menghindari disuruh masuk militer untuk kemudian menyerang Ukraina.
Analis militer Pavel Luzin di Tufts University berkata kebijakan Presiden Putin ini tidak akan efisien serta hanya bisa memperlambat gerakan maju prajurit Ukraina.
Luzin berkata pemerintah Rusia hanya "memperlambat penderitaan."
"Tentaranya tidak siap untuk mobilisasi. Mereka tak pernah disiapkan untuk itu," ujarnya.
Hingga menjelang akhir Oktober 2022, Rusia telah merekrut 220 ribu orang.
Diplomat Top China Puji Kemesraan Rusia-RRC
Diplomat top China yang bertugas di Rusia memberikan pujian tinggi terhadap hubungan Tiongkok dan Rusia. Kepercayaan politik kedua negara dinilai semakin mendalam.
Sentimen itu diungkap oleh Charge d'Affaires China di Rusia, Sun Weidong.Â
"Relasi China-Rusia telah bergerak menuju era baru perkembangan yang cepat selama 10 tahun terakhir. Pada zaman kooperasi dan kemitraan strategis komprehensif ini, kami tak hanya mampu mempertahankan level tinggi (kerja sama) di bawah tuntunan kepala negara kami, tetapi juga memperdalamnya," ujar Sun Weidong, dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Kamis (27/10).
"Level kepercayaan politik di antara negara kita leih tinggi dari sebelum-sebelumnya," lanjut Sun Weidong.
Ia juga mencatat bahwa Beijing dan Moskow secara persisten menggenjot interaksi ekonomi, dagang, serta budaya. Pihak China turut mengapresiasi dukungan Rusia kepada China terkait isu Taiwan dan pelanggaran HAM Xinjiang.
Sementara, China menyebut telah bersikap "secara objektif" terkait invasi Rusia di Ukraina.
"Negara kita selalu mendukung satu sama lain dalam berbagai isu terkait kepentingan mereka, secara erat berkooperasi di panggung internasional. Rusia telah mengadvokasi posisi-posisi China pada sejumlah isu terkait Taiwan, Hong Kong, dan Xinjiang. China pada gilirannya telah secara objektif dan imparsial menilai masalah-masalah yang Rusia hadapi terkait Ukraina," ujar Sun Weidong.
Diplomat China itu tidak secara eksplisit menyebut China membela Rusia, tetapi ia berkata China bersikap kritis pada kebijakan unilateral dan hegemoni Barat yang disebut menjadi penyebab krisis.
Selain hubungan diplomasi, Sun Weidong memuji kerja sama infrastruktur Rusia-China dalam hal energi nuklir, pesawat, mesin roket, hingga navigasi satelit. Pembayaran antara kedua negara juga dilakukan dengan mata uang nasional. Ia yakin hubungan kedua negara akan terus awet.
"Hubungan-hubungan ini tanpa diragukan lagi stabil dan mengarah pada masa depan," ujar diplomat China itu. Â
Advertisement