Liputan6.com, Moskow - Sebagian mantan anggota pasukan khusus Afghanistan yang melarikan diri ke Iran setelah Taliban mengambil alih pemerintahan di Afghanistan, kini direkrut untuk berperang membantu Rusia di Ukraina.
Mantan pasukan Afganistan itu juga membantu Iran dalam perang di Yaman, kata dua mantan pejabat senior keamanan Afghanistan kepada VOA, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (5/11/2022).
Baca Juga
Mantan panglima militer Afghanistan, Jenderal Haibatullah Alizai, mengatakan Iran memanfaatkan kerentanan mantan pasukan Afghanistan yang kini tinggal di negara itu, dengan merekrut mereka untuk memperkuat barisan pemberontak Houthi di Yaman.
Advertisement
“Ketika mantan anggota militer Afghanistan pergi ke biro imigrasi di Iran untuk memperpanjang visa, mereka diminta pergi ke Yaman untuk berperang mendukung Houthi,” kata Alizai.
Pemerintah Biden berencana menerapkan sanksi keras pada Iran setelah Rusia menggunakan drone buatan Iran untuk menyerang Ukraina. Gedung Putih juga meragukan keberlanjutan negosiasi perjanjian nuklir di tengah gelombang protes warga Iran melawan peme...
Terlibat di 6 Wilayah Kritis
Mantan komandan Korps Komando Tentara Nasional Afghanistan, Mohammad Farid Ahmadi mengatakan kepada VOA, bekas pasukan khusus Afghanistan itu kini terlibat di “enam wilayah kritis” dunia yaitu: Nagorno-Karabakh, Ukraina, Yaman, Iran, Suriah dan Rusia, tetapi “dalam kelompok kecil.”
Pasukan komando Afghanistan yang dilatih oleh AS dan NATO itu dianggap sebagai mantan personel militer paling berpengalaman di Afghanistan.
Sebelum Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, pasukan komando memimpin sebagian besar operasi tempur yang rumit di seluruh negeri.
Kantor berita the Associated Press melaporkan, kini Rusia juga berusaha merekrut bekas pasukan khusus Afghanistan di Iran itu, untuk berperang bersama militer mereka di Ukraina dengan menawarkan “bayaran $ 1.500 per bulan (sekitar Rp 23 juta dan berjanji memberi perlindungan bagi mereka dan keluarganya.”
Advertisement
Korea Selatan Bantah Kirim Senjata ke Ukraina
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol membantah bahwa Seoul memberikan senjata mematikan ke Ukraina setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan keputusan seperti itu akan menghancurkan hubungan bilateral mereka.
Dilansir Al Jazeera, Jumat (28/10/2022), Vladimir Putin membuat pernyataan itu pada sebuah konferensi di Moskow pada hari Kamis, menuduh Barat menghasut perang di Ukraina dan menekankan bahwa keputusan Korea Selatan untuk memasok senjata ke Ukraina akan menghancurkan hubungan.
"Kami telah memberikan bantuan kemanusiaan dan damai ke Ukraina dalam solidaritas dengan masyarakat internasional tetapi tidak pernah senjata mematikan atau hal-hal semacam itu," kata Yoon kepada wartawan pada hari Jumat, menurut Kantor Berita Korea Selatan Yonhap.
"Tetapi bagaimanapun juga, ini adalah masalah kedaulatan kami, dan saya ingin Anda tahu bahwa kami berusaha menjaga hubungan damai dan baik dengan semua negara di dunia, termasuk Rusia," katanya.