Liputan6.com, Washington D.C - Selasa 8 November 2022 Amerika siap melangsungkan midterm election atau pemilu paruh waktu. Pertarungan paling sengit diperkirakan akan berlangsung di negara bagian Arizona, Nevada, Georgia dan Pennsylvania, di mana selisih suara tokoh-tokoh yang memperebutkan kursi di DPR dan Senat akan sangat tipis.
Sementara di negara bagian AS lain, mengutip laporan VOA Indonesia, Selasa (8/11/2022), persiapan untuk mengantisipasi kekecewaan dan potensi kekerasan juga dilakukan. Sebuah survei menunjukkan satu dari lima orang di Amerika percaya dengan teori konspirasi terkait pemilu ini.
Berbeda dengan pemilu paruh waktu AS di tahun-tahun sebelumnya, kali ini pertarungan berlangsung begitu sengit. Sebagian besar dipicu oleh beredar luasnya disinformasi yang berulangkali disampaikan mantan Presiden Donald Trump dan simpatisannya bahwa pemilu tahun 2020 telah dicurangi, meskipun berbagai audit dan penghitungan suara ulang, serta berbagai pengadilan telah menolak gugatan hukum yang diajukan.
Advertisement
Survei yang dilakukan oleh Public Religion Research Institute (PRRI) atas 2.523 orang dewasa Amerika berusia 18 tahun ke atas di 50 negara bagian antara tanggal 1-11 September 2022 menunjukkan 1 dari 5 orang yang disurvei percaya dengan berbagai teori konspirasi, baik yang terkait pemerintah yang saat ini berkuasa, maupun yang terkait pemilu.
25 persen orang yang disurvei percaya akan terjadinya sesuatu yang dahsyat untuk memulihkan keberadaan pemimpin yang sah, 19% percaya perlunya melakukan aksi kekerasan untuk menyelamatkan negara, dan 17% percaya bahwa pemerintah, media dan dunia keuangan dikendalikan oleh pedofil yang menyembah setan.
Pengaruh QAnon
Diwawancarai seusai diskusi di Brookings Institute akhir Oktober lalu, kolumnis, penulis yang juga senior fellow di Ethics and Public Policy Center, Mona Charen tidak dapat menyembunyikan kekagetan dan sekaligus rasa masygul membaca petikan hasil survei PRRI itu.
"Kita hidup di lingkungan informasi yang sama sekali baru di mana ada bentuk media baru, hasutan-hasutan, yang bisa membuat Partai Republik lebih memusuhi Partai Demokrat dan sebaliknya, lebih curiga terhadap pendatang baru, lebih khawatir pada kondisi ekonomi dan sebagainya," tutur Mona Charen.
"Tetapi hasil survei tentang QAnon memusingkan kepala saya. Saya bacakan kalimat pertama dari hasil survei ini yaa... bahwa "pemerintah, media dan dunia keuangan Amerika dikendalikan oleh pedofil pemuja setan yang menjalankan operasi perdagangan seks global" dan 27% Partai Republik percaya dengan hal itu."
"Ini jauh di luar politik normal. Ini jenis pemikiran yang kacau yang ada di dalam masyarakat yang tidak stabil. Ini adalah mimpi buruk di zaman dan negara yang diberkahi ini," ujarnya.
Kekerasan Politik
Sementara itu, serangan terhadap suami Ketua DPR Nancy Pelosi di kediamannya di San Fransisco pada 3 November lalu semakin memperkuat kekhawatiran akan iklim politik yang meresahkan saat pemilu paruh waktu kali ini. Tak heran jika Presiden Joe Biden menyampaikan peringatan keras merujuk hal itu.
"Intimidasi terhadap Demokrat, Republikan dan petugas-petugas non partisan yang hanya melakukan pekerjaan mereka adalah konsekuensi dari kebohongan yang disampaikan demi kekuasaan dan keuntungan, kebohongan tentang konspirasi dan kebencian, kebohongan yang disampaikan berulang-ulang yang memicu siklus kemarahan, kebencian, kata-kata kasar dan bahkan kekerasan," komentarnya lagi.
"Kita harus menghadapi kebohongan itu dengan kebenaran. Masa depan kita bergantung pada kebenaran. Kita sedang menghadapi saat yang menentukan. Kita harus berbicara dengan satu suara yang luar biasa, berbicara sebagai sebuah negara dan mengatakan tidak ada tempat untuk intimidasi pemilih atau kekerasan politik di Amerika, apakah itu ditujukan pada Demokrat atau Republik. Tidak ada tempat untuk itu!"
Advertisement
Pengamat: 'Message' Partai Demokrat Kurang Jelas
Diwawancara secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Universitas Indonesia Dr. Suzie Sudarman mengatakan partai yang berkuasa memang kerap kehilangan sebagian kursi di Kongres dalam pemilu paruh waktu karena berhadapan langsung dengan isu-isu strategis yang menjadi keprihatinan warga.
"Rakyat Amerika itu simplistik saja. Mereka merasa hidup sekarang susah, sekarang bensin $4/galon yang ikut meningkatkan pengeluaran mereka. Membuat mereka jadi harus menekan pengeluaran, padahal pengeluaran ikut mendorong perekonomian, apalagi ini sudah mau dekat Thanksgiving, Chrismas, dll. Di sisi lain ada kelompok yang gonjang-ganjing dengan pemimpin memanfaatkan situasi yang tidak stabil untuk menyatakan “I am the solution. Only I know. Only I can do it.” Ini khan diskursus yang dikedepankan Donald Trump dan pengikutnya.
Sementara Partai Demokrat terlalu soft, compassionate. Sometimes being compassionate is a losing stake.” Demokrat sekarang ini dilematis antara mengedepankan isu-isu seperti freedom of choice atau mengatasi krisis ekonomi. Jadi serabutan, di satu sisi bicara soal aborsi, di sisi lain soal ekonomi, di tengah kondisi dunia yang tidak aman dan juga harus dijawab, jadi message-nya kurang clear.”
Mitigasi Dampak Negatif Jika Kehilangan Kursi
Mengingat sengitnya pertarungan, para pakar politik mengatakan Partai Demokrat kini berjuang keras untuk memitigasi dampak negatif jika kehilangan kursi mayoritas di DPR dan Senat. Jika hal ini terjadi dan Partai Republik menguasai Kongres, maka dapat dipastikan sejumlah agenda pemerintahan Biden akan menghadapi tantangan berat.
Partai Republik juga telah mengisyaratkan ketertarikan untuk menyelidiki beberapa hal terkait pemerintahan Biden, antara lain soal penarikan mundur pasukan Amerika dari Afghanistan pada Agustus 2021 lalu, kebijakan penanggulangan COVID-19, kebijakan penanganan migran di perbatasan, dan bisnis putra Presiden Joe Biden.
Partai Republik hampir dapat dipastikan akan membubarkan komite yang menyelidiki serangan para pendukung Trump di Kongres pada 6 Januari 2021 dan kemungkinan membentuk komite baru untuk menyelidiki peran Ketua DPR Nancy Pelosi dalam mengamankan Kongres ketika itu.
Advertisement