Sukses

Dipenjara Seumur Hidup, Pelaku Penembakan Masjid Christchurch Selandia Baru Ajukan Banding

Pria Australia bernama Brenton Tarrant yang dinyatakan bersalah setelah penembakan, membunuh 51 orang ketika dia menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru dilaporkan mengajukan banding.

, Wellington - 2019 lalu peristiwa penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru jadi sorotan dunia. Pelakunya, Brenton Tarrant kemudian ditangkap. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Mengutip laporan terbaru dari ABC Indonesia, Selasa (8/11/2022), pria Australia bernama Brenton Tarrant yang dinyatakan bersalah setelah membunuh 51 orang ketika dia menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru dilaporkan mengajukan banding atas hukumannya.

Tarrant menyatakan bersalah dalam persidangan namun tahun lalu lewat pengacaranya mengatakan dia mendapatkan perlakuan yang "tidak manusiawi dan merendahkan martabat" ketika ditahan, dan mempertimbangkan pengajuan banding.

Selasa 8 November, Mahkamah Agung Selandia Baru mengatakan sudah mendapatkan berkas pengajuan banding.

Anggota masyarakat Muslim di Christchurch sebelumnya pernah mengatakan bahwa banding yang diajukan oleh pria kelahiran Australia tersebut hanya akan semakin memperdalam penderitaan para keluarga korban mereka yang tewas dalam serangan.

Pada 15 Maret 2019, Tarrant menyerang jemaah yang sedang melakukan salat Jumat di Masjid Al Noor di Christchurch, sebelum kemudian melanjutkan serangan ke rumah doa Linwood.

Semua korbannya adalah Muslim termasuk para lansia, anak-anak dan perempuan.

Pembantaian tersebut merupakan peristiwa penembakan dengan korban tewas paling banyak dalam sejarah Selandia Baru.

Awalnya Tarrant mengaku tidak bersalah atas semua tuduhan, namun dalam sidang di tahun 2020 dia mengaku melakukan serangan dan mengatakan bersalah atas segala tindakannya.

Selain mengakui pembunuhan terhadap 51 orang, dia juga mengaku bersalah terhadap 40 kasus percobaan pembunuhan dan tuduhan tindak terorisme.

Ketika menjatuhkan hukuman, Hakim Cameron Mander mengatakan dia menerapkan hukuman yang paling berat bagi tindakan "tidak berperikemanusiaan" yang dilakukan Brenton Tarrant.

"Kejahatan yang anda lakukan begitu mengerikan, sehingga hukuman yang dijalankan sampai mati tidak akan mampu membayar semua kesalahan yang dilakukan," kata Hakim Mander ketika itu.

Tarrant dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan ada pengurangan hukuman atau pengampunan.

 

2 dari 4 halaman

Penyelidikan Oleh Koroner Masih Berlanjut

Saat ini seorang koroner Selandia Baru sedang melakukan penyelidikan mengenai serangan tersebut, hal yang menjadi permintaan para keluarga korban dan mereka yang selamat.

Penyelidikan ini dilakukan di negara seperti Selandia Baru dan Australia. Dilakukan terhadap satu atau lebih peristiwa kematian untuk mengetahui sebab yang terjadi.

Narapidana Brenton Tarrant termasuk pihak yang dilibatkan dalam penyelidikan koroner tersebut, dan tahun lalu tim pengacaranya mengirim memo kepada koroner menjelang penyelidikan untuk mengetahui apa saja yang akan diselidiki.

Dalam korespondensi diungkapkan bahwa Tarrant merasa bahwa pernyataan bersalahnya dilakukan dalam situasi di bawah tekanan, sehingga ia kemungkinan besar tidak mendapatkan keputusan yang adil.

Anggota keluarga korban dari kalangan Muslim mengatakan bahwa mereka melihat ini sebagai salah satu taktik dari Tarrant, untuk menyuarakan pendapat pribadi demi mendapatkan pemberitaan dan berpotensi memperdalam trauma keluarga korban.

Karena rentang waktu sudah lewat sejak dia dinyatakan bersalah, Tarrant harus mengajukan permohonan agar bandingnya disidangkan lagi, hal yang menurut para pakar hukum kasusnya bisa berlanjut lama.

3 dari 4 halaman

Setahun Penembakan Masjid Selandia Baru

Sementara itu, setahun sudah peristiwa penembakan di masjid Chrischurch Selandia Baru. Umat Islam di Negeri Kiwi pun memperingatinya, diawali salat Jumat 13 Maret 2020.

Ribuan orang menghadiri acara peringatan tersebut, meski trauma terus membayangi para korban dan keluarganya. Sementara terdakwa teroris Brenton Tarrant masih menunggu jadwal sidang di pengadilan.

Sebanyak 42 jemaahnya tewas dan puluhan lainnya luka-luka. 9 orang jemaah di musala Linwood Islamic Centre juga tewas di tangan teroris asal Australia itu.

Menurut Fouda, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Sabtu (14/3/2020), ia mulai bisa mencerna peristiwa ini pada November lalu, namun ia masih terus merasa trauma hingga sekarang.

Saat sang imam bersembunyi di balik mimbar, Fouda menembaki 42 jemaah dengan senjata mesin, kembali ke mobilnya untuk mengisi peluru, lalu menembaki beberapa orang lagi.

Fouda mengatakan umat Islam di Christchurch sudah berusaha melakukan pemulihan namun secara umum mereka belum pulih.

"Kami berusaha sebaik-baiknya dan kembali lagi ke masjid ini," katanya kepada salah satu media setempat."Bila kita takut, maka dia (Tarrant) akan menang," ujarnya.

Korban selamat lainnya yaitu Ahmad Jahangir, yang menunaikan salat Jumat di Linwood.

Padahal, ia sempat berhadap-hadapan dengan Tarrant, yang langsung melepaskan tembakan ke bagian dadanya.

Jahangir terjungkal ke arah bagian jemaah perempuan, hanya beberapa langkah dari istrinya yang juga berada di sana saat itu.

Jahangir menjalani sejumlah operasi selama tiga bulan, namun peluru yang menembus bahunya menyebabkan tangan kanannya tak bisa lagi berfungsi. Untuk selamanya. 

4 dari 4 halaman

Kisah Penyintas

Trauma juga dialami pasangan Jannah Ezat dan Hazim al Umari, orangtua dari Hussein al Umari (35) yang tewas dalam pembataian.

Jannah mengaku Hussein sering muncul dalam mimpinya, dan meminta kedua orangtuanya untuk selalu menziarahi kuburnya.

Hussein dimakamkan di pinggiran Kota Christchurch, dan ke sanalah pasangan ini pergi jika merindukan anak mereka.

Saat ditemui ABC di sana, Hazim tampak meletakkan telapak tangannya di rumput makam anaknya.

"Saya selalu merasakan kehangatan darinya kalau melakukan hal ini," ujarnya.

Pasangan ini mengaku mendapatkan kekuatan untuk meneruskan hidup mereka setiap kali berziarah ke makam Hussein.

Kehilangan mendalam juga dirasakan Aya, adik dari Hussein. Namun ia bangga setelah mengetahui bahwa kakaknya bisa melarikan diri namun memilih bertahan.

Hussein, menurut para saksi mata, bertahan di lokasi dan menolong korban lainnya serta mencoba menghentikan Tarrant.

Meski keluarga ini dan banyak orang di Christchurch menganggap Hussein sebagai pahlawan, namun sesekali mereka berharap tidak demikian.

"Pada saat tertentu saya bertanya-tanya, mengapa dia tidak melarikan diri saja?" ujar Aya.

"Tapi kemudian saya sadar bahwa semua yang terjadi ada sebabnya. Dia tak melarikan diri dan kami ditinggalkannya demi suatu alasan," katanya.

Alasan itu, katanya, agar mereka bisa menyampaikan pesan bahwa kebencian tidak dapat dibenarkan.

Korban selamat lainnya, Muhammad Feroze Ditta, mengaku mengalami kesulitan tidur hingga kini.

"Saya masih sering mendengar teriakan di malam hari. Bagaimana bisa melupakannya," kata Feroze seperti dilaporkan wartawan ABC Barbara Miller, Mitchell Woolnough dan Kevin Nguyen.

Saat kejadian, ia berada di syaf bagian belakang jemaah Al Noor. Saat teroris itu muncul, ia berlari ke pintu samping, namun pintu itu tak bisa terbuka.

Kini ia menduga mereka tak bisa membuka pintu samping ini karena panik. Pada akhirnya sejumlah jemaah berhasil mendobraknya, namun pintu itu hanya terbuka sebagian.

Ketika teroris melontarkan tembakan membabi-buta ke seantero ruang salat, Feroze kena tiga peluru di bagian betisnya.

Sejumlah jemaah lainnya jatuh menimpa Feroze. Dan ia pun berada dalam posisi itu hingga aksi brutal Tarrant berakhir.

Kini, setahun kemudian, Feroze tetap merasakan teror dari kekejaman pria asal Australia itu di Masjid Al Noor.

"Baru dicat. Karpetnya juga baru. Namun yang tersembunyi di balik semua ini adalah darah dan air mata. Di balik semua ini ada rasa sakit dan derita," ujar ayah dua anak ini.

Â