Liputan6.com, Zhuhai - China pada Selasa 8 November 2022 memamerkan pesawat besar pertama yang diproduksi di dalam negeri, setelah projek itu disetujui oleh regulator.
Pesawat dengan bentuk berbadan sempit dan ramping itu sukses menyentuh landasan pacu di Pameran Penerbangan dan Antariksa Internasional China.
Baca Juga
Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (8/11/2022), pesawat ini berputar-putar di langit berawan di atas Kota Zhuhai sebelum mendarat di depan ratusan penonton.
Advertisement
Pihak berwenang China berharap C919 -- yang dibangun oleh Commercial Aircraft Corporation of China (COMAC) milik negara -- akan menantang model asing seperti Boeing 737 MAX dan Airbus A320.
Beijing juga berharap bahwa pesawat jet buatan dalam negeri pertamanya dengan potensi komersial massal akan mengurangi ketergantungan negara itu pada teknologi asing karena hubungan dengan negara-negara Barat memburuk.
Regulator China menyetujui C919 pada September 2022.
Presiden Xi Jinping bahkan memuji "prestasi memuaskan" tersebut dan menyebut bahwa projek ini adalah keinginan negara.
China Eastern Airlines, maskapai penerbangan terbesar kedua di negara itu mengatakan bahwa pihaknya berencana untuk memasukkan empat C919 ke dalam armadanya.
Media domestik melaporkan bahwa pesawat tersebut akan mulai beroperasi selama kuartal pertama tahun 2023.
COMAC mengatakan, lebih dari 800 pesanan untuk C919 telah dilakukan oleh puluhan pelanggan.
China secara resmi mengumumkan kesepakatan jangka panjang untuk jet Airbus senilai US$ 17 miliar selama kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz pekan lalu.
Boeing 737 MAX telah dilarang terbang di China sejak 2019 setelah dua kecelakaan fatal.
AS Sebut China Tantangan Geopolitik Terbesar Amerika
Amerika Serikat pekan ini menerbitkan Strategi Keamanan Nasionalnya (NSS). Strategi yang tertuang dalam dokumen setebal 48 halaman itu menjabarkan apa yang dianggap oleh Presiden AS Joe Biden sebagai tantangan terbesar negara dan bagaimana pemerintahannya berencana untuk menavigasinya di dalam dan luar negeri.
NSS – yang diamanatkan Kongres – menggambarkan doktrin Biden yang bersifat ideologis dan pragmatis: menyebut China dan Rusia sebagai musuh geopolitik dalam perspektif “perjuangan antara otokrasi dan demokrasi” dunia, sambil berniat untuk bekerja sama dengan negara berhaluan politik apa pun untuk mengatasi pandemi, perubahan iklim, inflasi dan ancaman global lainnya.
Strategi itu berargumen, pada awal dari apa yang disebut Biden sebagai “dekade yang menentukan” ini terdapat peluang sempit untuk menghadapi tantangan transnasional bersama, bahkan di tengah persaingan negara-negara adidaya, untuk memajukan kepentingan AS dan mengarahkan dunia ke masa depan yang lebih cerah.
“Amerika Serikat akan memimpin dengan nilai-nilai kami dan kami akan bekerja sama dengan sekutu dan mitra kami dan dengan semua orang yang memiliki kepentingan yang sama dengan kami,” kata Biden dalam kata pengantarnya, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (14/10/2022).
“Ketika dunia terus menavigasi dampak pandemi dan ketidakpastian ekonomi global yang masih berlangsung, tidak ada negara yang memiliki posisi lebih baik untuk memimpin dengan kekuatan dan tujuan selain Amerika Serikat.”
NSS menjabarkan rencana tiga-cabang pemerintahannya: Berinvestasi dalam negeri di bidang industri, inovasi, pendidikan, layanan kesehatan dan demokrasi;
memobilisasi aliansi dan koalisi untuk meningkatkan pengaruh kolektif dan membentuk aturan; memodernisasi dan memperkuat kekuatan militer AS.
Advertisement
Tantangan Strategis di Akhir Era Pasca-Perang Dingin
Pemerintah AS mengidentifikasi dua tantangan strategis utama, yang pertama, persaingan antara negara-negara besar dalam membentuk tatanan global berikutnya seiring transisi dari era pascaperang dingin, di mana AS menjadi satu-satunya hegemoni. Yang kedua, bagaimana cara bekerja sama dengan sekutu maupun musuh untuk mengatasi masalah-masalah lintas negara, termasuk perubahan iklim, kerawanan pangan, penyakit menular, terorisme, kekurangan energi dan inflasi.
“Kita telah sampai pada titik di mana kita bisa dan harus mengatasi keduanya di bidang yang setara – persaingan geopolitik dan tantangan transnasional bersama. Untuk itulah kami membuat strategi yang sesuai dengan tujuan, baik untuk persaingan yang tidak bisa kami abaikan, maupun kerja sama global yang tanpanya kami tidak akan berhasil,” kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan, ketika menjabarkan NSS pada acara yang diadakan oleh Universitas Georgetown dan Center for a New American Security hari Rabu (12/10).
Moskow dan Beijing dipilih sebagai “kekuatan otoriter revisionis” – aktor non-demokratis yang tujuannya adalah untuk mengubah tatanan dunia dan menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan stabilitas internasional dengan “melancarkan atau mempersiapkan perang agresi” – merujuk pada invasi Rusia ke Ukraina dan penumpukan militer China di Laut Cina Selatan dan ancamannya terhadap Taiwan, mengingat China tidak mengesampingkan opsi invasi terhadap Taiwan yang dianggapnya sebagai provinsi yang membangkang.
Kedua negara itu juga dipilih karena “secara aktif merusak proses politik demokratis di negara-negara lain, memanfaatkan teknologi dan rantai pasokan untuk tindak pemaksaan dan penindasan, mengekspor model tatanan dunia yang tidak liberal.”
Meski demikian, NSS juga menekankan bahwa negara-negara demokrasi dan otokrasi tetap dapat bekerja sama, kata Stacie E. Goddard, yang mengajar politik kekuatan dunia di Wellesley College, Massachusetts.
“NSS mengklaim masalahnya bukan karena China dan Rusia bukan negara demokrasi,” kata Goddard kepada VOA. “Masalahnya adalah mereka meremehkan beberapa aturan dasar yang memungkinkan terciptanya ketertiban dalam politik internasional.”
Prinsip Kedaulatan
Aturan itu, kata Sullivan, termasuk prinsip-prinsip kedaulatan.
“Banyak negara yang tidak memiliki institusi demokratis berada di pihak yang membela dan menjunjung tinggi syarat dan prinsip Piagam PBB,” ujarnya, merujuk pada hasil pemungutan suara di PBB pekan ini yang sebagian besarnya menolak pencaplokan Rusia terhadap wilayah Ukraina.
Sementara itu, kritikus mencatat adanya kesenjangan antara retorika pemerintah AS untuk memimpin perjuangan dunia untuk melestarikan nilai-nilai penghormatan terhadap kedaulatan negara, integritas wilayah dan larangan penguasaan wilayah melalui perang, dengan kebijakan-kebijakan AS yang dijalankan di lapangan, terutama yang berhubungan dengan Israel.
Pemerintahan Biden hingga kini tidak membalikkan atau sekadar mengkritik keputusan mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2019 yang mengakui pencaplokan wilayah Bukit Golan oleh Israel, kata Khaled Elgindi, peneliti senior Middle East Institute. Bukit Golan merupakan bagian dari wilayah Suriah yang diduduki Isarel pada 1967 dan dicaplok pada 1981.
“AS juga belum pernah menyerukan pengakhiran pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, seperti yang sudah dilakukan presiden-presiden sebelumnya,” kata Elgindy kepada VOA.
Advertisement