Liputan6.com, Jakarta - Dunia menghadapi total 636.281.910 kasus COVID-19 hari ini, Kamis 17 November 2022, dan penerima vaksinasi COVID-19 sedunia sudah mencapai 12.859.091.823.
Dikutip dari laman Johns Hopkins University (JHU) gisanddata.maps.arcgis.com, Kamis (16/11/2022), ada 9.986.189 kasus penularan dan 40.476 kematian terkait COVID-19 secara global dalam 28 hari terakhir.
Jepang hari ini masih menjadi negara dengan kenaikan kasus COVID-19 tertinggi, sebanyak 1.353.885 dalam sebulan terakhir.
Advertisement
Melampaui Jerman, Korea Selatan kini menempati urutan kedua untuk kasus COVID-19 tertinggi dalam sebulan. Negara itu kini memiliki 1.193.355 kasus dalam 28 hari terakhir.
Jepang dan Korea Selatan sekarang menghadapi total 23,2 juta dan 26,4 juta kasus COVID-19.
Jerman kini berada di urutan ketiga untuk negara dengan kasus COVID-19 terbesar dalam 28 hari terakhir, menghadapi 1.146.721 kasus.
Berlanjut di Amerika Serikat yang mengalami penambahan 1.087.690 kasus Virus Corona COVID-19 dalam sebulan terakhir, dan total keseluruhan nyaris menyentuh 1 miliar, atau 98.175.726.
Selanjutnya kasus COVID-19 di Prancis, yang tercatat berada di urutan kelima, sebesar 798.954 dalam sebulan terakhir.
Selain Jepang dan Korea Selatan, Taiwan dan China juga menjadi negara Asia yang tercatat mengalami lonjakan kasus COVID-19 dalam beberapa waktu terakhir.
Data di Johns Hopkins University mencatat, Taiwan dalam sebulan terakhir melihat 789.930 penambahan kasus COVID-19, dan 329.807 di China.
Dilansir dari Xinhua, China pada Rabu (16/11) melaporkan 2.328 kasus lokal baru COVID-19, menurut keterangan dari Komisi Kesehatan Nasional negara itu.
Dalam jumlah total, China kini mengidentifikasi 20.804 kasus COVID-19 asimtomatik lokal baru.
Sementara itu, sebanyak 561 pasien COVID-19 di China telah dipulangkan dari rumah sakit setelah pemulihan pada Rabu (16/11), menjadikan total pasien yang pulang sebanyak 257.033.
Kemunculan 1 Kasus Baru COVID-19 di Peking University Picu Lockdown
Masih di China, laporan media terbaru mengatakan bahwa lockdown diberlakukan di lingkungan sebuah universitas di Beijing setelah kemunculan satu kasus baru COVID-19.Â
Dilansir dari US News, Kamis (17/11/2022) pihak berwenang China memberlakukan lockdown pada Universitas Peking di Beijing setelah menemukan satu kasus COVID-19, ketika kebijakan nol-COVID-19 masih berlaku di negara itu.
Dalam kebijakan lockdown, mahasiswa dan fakultas di Universitas Peking tidak diizinkan meninggalkan halaman kampus kecuali dalam keperluan mendesak, dan kelas di kampus utama, di mana kasus penularan ditemukan telah dialihkan menjadi kelas online hingga Jumat (18/11/2022) menurut pemberitahuan universitas.
Namun, beberapa orang dilaporkan terlihat memasuki dan meninggalkan lingkungan kampus utama yang berlokasi di distrik Haidian.
Sebagai informasi, Universitas Peking memiliki lebih dari 40.000 mahasiswa di beberapa cabang kampusnya, yang sebagian besar berlokasi di Beijing.
Sejauh ini, tidak diketahui jelas berapa banyak orang di kampus yang terdampak oleh kebijakan lockdown COVID-19.
Universitas berusia 124 tahun itu dikenal sebagai salah satu universitas ternama di China dan menjadi pusat protes mahasiswa pada dekade-dekade sebelumnya.Â
Advertisement
Marah dengan Aturan Ketat Lockdown COVID-19 China, Warga di Guangzhou Protes Massal
Kerumunan penduduk di kota metropolis industri, Guangzhou, China selatan 'lolos' dari lockdown yang saat ini diwajibkan dan justru bentrok dengan polisi, mereka marah atas pembatasan ketat terkait kebijakan Nol COVID-19.
Rekaman dramatis menunjukkan, massa menghancurkan pembatas COVID-19. Tim anti huru-hara dikerahkan di daerah tersebut pada Selasa, 15 November 2022.
Mengutip BBC, Senin (16/11/2022), kejadian ini mengikuti krisis COVID-19 terburuk di Guangzhou sejak pandemi dimulai.
Di tengah angka ekonomi yang buruk, kebijakan Zero COVID atau Nol COVID China berada di bawah tekanan yang sangat besar.
Ketegangan telah meningkat di Distrik Haizhu, yang berada di bawah perintah untuk tetap tinggal di rumah.
Daerah ini adalah rumah bagi banyak buruh keliling yang miskin. Mereka mengeluh tidak dibayar jika mereka tidak dapat masuk kerja. Terlebih, mereka kekurangan makanan dan harga bahan pokok meroket selama tindakan pengendalian COVID.
Beberapa malam sebelumnya, beberapa orang telah berkelahi dengan petugas pencegahan COVID-19 berpakaian putih. Kemudian, pada Senin malam, kemarahan tiba-tiba meledak hingga ke jalan-jalan di Guangzhou dengan aksi pembangkangan massal.
Rumor yang tidak berdasar telah berperan memicu protes warga. Cerita telah menyebar bahwa perusahaan pengujian memalsukan hasil PCR untuk secara artifisial meningkatkan jumlah infeksi agar menghasilkan lebih banyak uang.
Di bagian utara negara itu, rangkaian rumor terkait Virus Corona juga membangun tekanan.
Pejabat di Provinsi Hebei mengumumkan bahwa Kota Shijiazhuang akan menghentikan pengujian massal. Akan tetapi, hal ini menimbulkan spekulasi bahwa populasi akan digunakan seperti kelinci percobaan, untuk memantau apa yang akan terjadi jika virus dibiarkan menyebar tanpa terkendali.
Diskusi tentang ini telah muncul di platform media sosial dengan tagar #ShijiazhuangCovidprevention.
Banyak penduduk setempat yang panik telah menimbun obat-obatan Tiongkok yang konon dapat membantu mengatasi infeksi COVID. Persediaan di kota dikatakan hampir habis untuk saat ini.
Â
Rumor Perparah Keadaan
Desas-desus serupa yang viral menyebabkan pelarian massal pekerja di kompleks Foxconn di pusat kota Zhengzhou dua minggu lalu, yang telah memukul pasokan global iPhone Apple.
Pemerintah daerah di seluruh China sedang berjuang untuk mempertahankan pendekatan Zero COVID tanpa merusak ekonomi mereka.
Namun, angka keluaran pabrik resmi dan penjualan ritel terbaru menunjukkan dampak yang menghancurkan dari pandemi dan tanggapan kebijakan pemerintah terhadapnya.
Tidak ada sama sekali provinsi yang melaporkan nol kasus dalam beberapa hari terakhir.
Sekitar 20 juta orang di jantung kota besar Chongqing di China barat telah ditempatkan di bawah pembatasan yang ironisnya disebut oleh orang-orang sebagai "manajemen statis sukarela". Pasalnya, meski belum ada pengumuman resmi, mereka disuruh tetap di dalam rumah oleh petugas komunitas.
Secara online ada lelucon bahwa pemerintah Chongqing tidak ingin mengumumkan lockdown massal pada hari yang sama ketika langkah-langkah pelonggaran aturan nol-COVID di seluruh China terungkap.
Advertisement
Marah dengan Aturan Ketat Lockdown COVID-19 China, Warga di Guangzhou Protes Massal
Sebelumnya, kerumunan penduduk di kota metropolis industri, Guangzhou, China selatan 'lolos' dari lockdown yang saat ini diwajibkan dan justru bentrok dengan polisi, mereka marah atas pembatasan ketat terkait kebijakan Nol COVID.
Rekaman dramatis menunjukkan, massa menghancurkan pembatas kontrol COVID-19. Tim anti huru-hara dikerahkan di daerah tersebut pada Selasa, 15 November 2022.
Mengutip BBC, Senin (16/11/2022), kejadian ini mengikuti krisis COVID-19 terburuk di Guangzhou sejak pandemi dimulai.
Di tengah angka ekonomi yang buruk, kebijakan Zero COVID atau Nol COVID China berada di bawah tekanan yang sangat besar.
Ketegangan telah meningkat di Distrik Haizhu, yang berada di bawah perintah untuk tetap tinggal di rumah.
Daerah ini adalah rumah bagi banyak buruh keliling yang miskin. Mereka mengeluh tidak dibayar jika mereka tidak dapat masuk kerja. Terlebih, mereka kekurangan makanan dan harga bahan pokok meroket selama tindakan pengendalian COVID.
Beberapa malam sebelumnya, beberapa orang telah berkelahi dengan petugas pencegahan COVID-19 berpakaian putih. Kemudian, pada Senin malam, kemarahan tiba-tiba meledak hingga ke jalan-jalan di Guangzhou dengan aksi pembangkangan massal.
Rumor yang tidak berdasar telah berperan memicu protes warga. Cerita telah menyebar bahwa perusahaan pengujian memalsukan hasil PCR untuk secara artifisial meningkatkan jumlah infeksi agar menghasilkan lebih banyak uang.
Di bagian utara negara itu, rangkaian rumor terkait Virus Corona juga membangun tekanan.
Pejabat di Provinsi Hebei mengumumkan bahwa Kota Shijiazhuang akan menghentikan pengujian massal. Akan tetapi, hal ini menimbulkan spekulasi bahwa populasi akan digunakan seperti kelinci percobaan, untuk memantau apa yang akan terjadi jika virus dibiarkan menyebar tanpa terkendali.
Diskusi tentang ini telah muncul di platform media sosial dengan tagar #ShijiazhuangCovidprevention.
Banyak penduduk setempat yang panik telah menimbun obat-obatan Tiongkok yang konon dapat membantu mengatasi infeksi COVID. Persediaan di kota dikatakan hampir habis untuk saat ini.