Sukses

Piala Dunia Qatar 2022 Jadi yang Termahal Sepanjang Sejarah

Untuk menggelar Piala Dunia 2022, Qatar telah menginvestasikan uang banyak, menjadikannya sebagai tuan rumah Piala Dunia dengan biaya termahal sepanjang sejarah.

Jakarta - Keputusan FIFA pada 2010 dianggap mengejutkan dan kontroversial setelah memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2022 kepada Qatar. Setelah 12 tahun berlalu, turnamen sepak bola kasta tertinggi itu segera dimulai pada 20 November hingga 18 Desember 2022.

Untuk menggelar Piala Dunia 2022, Qatar telah menginvestasikan uang yang banyak. Bahkan menjadikannya sebagai tuan rumah Piala Dunia dengan biaya termahal sepanjang sejarah, sejak pertama kali digelar pada 1930.

Meski Negara Teluk itu tidak mengeluarkan angka pasti, biayanya bahkan diperkirakan melebihi jumlah yang dikeluarkan dari gabungan 21 penyelenggaraan Piala Dunia sebelumnya. Menurut berbagai ahli dan laporan, biayanya melebihi 200 miliar dolar atau 199 miliar euro, bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Sebagai perbandingan, Piala Dunia termahal sebelumnya, yaitu turnamen 2014 di Brasil dan edisi 2018 di Rusia, keduanya menelan biaya kurang dari 15 miliar dolar.

Dan Plumley, dosen bidang keuangan olahraga di Universitas Sheffield Hallam mengatakan, ketika Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010, perkiraan awal menyebutkan potensi biaya sebesar 65 miliar dolar. Namun, "beberapa perkiraan baru-baru ini mengatakan bahwa itu berpotensi mencapai 200 miliar dolar. Ini akan menjadi yang terbesar dalam hal biaya yang pernah tercatat hingga saat ini," katanya kepada DW, dikutip Jumat (18/11/2022).

"Meskipun kita belum tahu seberapa tepatnya.

 

2 dari 4 halaman

Visi Nasional Qatar 2030

Konsultan keuangan olahraga AS, Front Office Sports memperkirakan biaya sebesar 220 miliar dolar, sementara Hassan Al Thawadi, kepala badan Qatar yang ditugaskan untuk menyelenggarakan turnamen tersebut, mengatakan bahwa biaya infrastruktur sejak negara tersebut menang sebagai tuan rumah akan melebihi 200 miliar dolar.

Ketidakpastian jumlah biaya ini muncul karena sebagian besar dari miliaran yang telah dihabiskan pemerintah Qatar sebelum turnamen adalah untuk infrastruktur nonsepak bola, seperti sistem metro baru, bandara internasional, jalan baru, sekitar 100 hotel baru, dan fasilitas rekreasi.

Sebagian besar investasi ini merupakan bagian dari proyek investasi publik Negara Teluk yang lebih luas, yang dikenal sebagai Visi Nasional Qatar 2030.

"Piala Dunia menjadi katalis bagi pemerintah Qatar yang ingin mengatasi masalah infrastruktur negara," kata Kieran Maguire, spesialis keuangan sepak bola di Universitas Liverpool, kepada DW.

"Ini memberi mereka titik fokus. Dibandingkan dengan Piala Dunia lainnya, ini jauh lebih mahal," imbuhnya

Ini menjadi semacam "taruhan kekuatan halus" sangat besar bagi Qatar yang sebenarnya akan berakhir dengan kerugian dalam hal komersial, menurut Plumley. Tapi ini sesuatu yang tidak terlalu menjadi perhatian Doha karena mereka memiliki kekayaan energi sangat besar.

Keuntungan utama yang dicari Qatar, lanjutnya, adalah nonkomersial. "Hubungan internasional adalah motivasi utama Qatar sebagai tuan rumah turnamen dan ini juga tentang kekuatan halus terkait strategi pertahanan dan keamanan. Uang jelas bukan masalah bagi Qatar. Negara ini jelas mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia dan mereka bersedia menanggung kerugian. Dalam banyak hal, Piala Dunia 2022 adalah sebuah anomali keuangan."

 

3 dari 4 halaman

Sebuah Warisan Gelap

Sekalipun merupakan sebuah anomali keuangan, Qatar 2022 masih harus bergulat dengan pertanyaan tentang "warisan" apa yang ingin mereka tinggalkan. Bahwa turnamen ini harus meninggalkan jejak yang berarti bagi masyarakat luas di negara yang  membenarkan pemborosan keuangan hanya dalam empat minggu sepak bola.

Hal ini menjadi perjuangan besar bagi Piala Dunia kebanyakan, tetapi dalam kasus Qatar, ada keraguan serius.

Salah satu masalah yang paling jelas adalah stadion. Dari delapan tempat, tujuh telah dibangun dari nol untuk Qatar 2022. Pemerintah mengatakan biaya pembangunannya mencapai 6,5 miliar dolar. Setelah Piala Dunia selesai, negara berpenduduk hanya 2,8 juta orang itu tampaknya tidak akan membutuhkan begitu banyak stadion-stadion besar.

Fenomena yang dikenal dengan nama "gajah putih" kerap menjadi masalah bagi tuan rumah Piala Dunia, dan Qatar bermaksud untuk memutus siklus itu. Disebutkan, tiga stadion nantinya akan terus dipakai untuk lokasi pertandingan, sementara lima lainnya akan dibongkar, diubah untuk tujuan alternatif, atau kapasitasnya dikurangi secara signifikan.

Kieran Maguire percaya Qatar tetap akan menggunakan infrastruktur baru untuk mengajukan penawaran menjadi tuan rumah final Eropa di masa depan, seperti di Liga Europa atau Liga Champions.

 

4 dari 4 halaman

Pasib Para Pekerja Migran

Yang turut membayangi pertanyaan tentang biaya Piala Dunia adalah nasib para pekerja migran yang telah bekerja keras di negara itu selama dekade terakhir. Sejak dianugerahi tuan rumah turnamen pada 2010, Qatar telah menghadapi kritik besar-besaran dari kelompok hak asasi manusia atas perlakuannya terhadap pekerja asing.

Pada 2016, Amnesty International menuduh Qatar menggunakan kerja paksa di Khalifa International Stadium andalannya. Kemudian ada laporan bahwa ribuan pekerja migran meninggal di Qatar sejak 2010. Pada Februari 2021, surat kabar The Guardian melaporkan bahwa 6.500 pekerja migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka telah meninggal di negara tersebut antara tahun 2010 dan 2020. Pakar hak asasi manusia mengatakan sejumlah besar dari mereka yang meninggal berada di negara tersebut khususnya karena Piala Dunia.

Qatar telah melakukan beberapa reformasi perburuhan sederhana dalam beberapa tahun terakhir, tetapi menurut Amnesty, masih ada masalah besar. "Akhirnya, pelanggaran hak asasi manusia bertahan dalam skala yang signifikan hari ini," katanya dalam sebuah laporan bulan lalu.

Bagi FIFA, badan pengatur sepak bola internasional, kematian pekerja migran maupun masalah biaya tidak akan mempengaruhi keuntungannya. Dan Plumley mengatakan, turnamen itu akan menjadi keuntungan finansial yang besar bagi mereka, seperti edisi 2018.

"Bagi FIFA, Piala Dunia adalah tentang perolehan uang dan perolehan pendapatan untuk mendanai operasinya di setiap siklus empat tahun," katanya, merujuk pada fakta bahwa pendapatan Piala Dunia 2018 untuk FIFA jauh melebihi ekspektasi mereka.

"Harapkan kesuksesan serupa dari Qatar untuk FIFA. Menjadi tuan rumah sebuah turnamen mungkin membutuhkan biaya yang signifikan bagi negara tuan rumah, tetapi kepentingan FIFA untuk memastikan acara tersebut sukses, dan tentu saja, mereka tidak perlu terlalu khawatir tentang biaya."