Sukses

Lestarikan Budaya, Pengungsi Afghanistan Buka Toko di Amerika Serikat

Begitu Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, Ajmal Zazai melarikan diri ke Amerika Serikat.

Liputan6.com, San Antonio - Begitu Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, Ajmal Zazai melarikan diri ke Amerika Serikat. Kini, ia mengelola toko pakaian dan karpet tradisional Afghanistan di San Antonio, Texas.

Ajmal Zazai, 34, adalah mantan pegawai pemerintah Afghanistan. Ia meninggalkan negaranya setelah Taliban kembali berkuasa pada pertengahan 2021. Ia kini tinggal di San Antonio, Texas, dan membuka toko pakaian dan karpet tradisional Afghanistan, yang ia beri nama "Azmal Zazai Mall."

Baginya, toko tersebut bukan sekadar bisnis, melainkan caranya ikut melestarikan adat istiadat tanah airnya, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (2/12/2022).

“Kami menjual karpet-karpet Afghanistan, saffron, panci presto, yang populer di seluruh dunia. Kami membawa semua itu untuk warga Afghanistan agar tradisi dan budaya Afghanistan tetap hidup,” ujar Zazai.

Pengungsi Afghanistan di Amerika Serikat diperkirakan menyumbang pendapatan sebesar $1,4 miliar dan pajak senilai $200 juta pada tahun pertama mereka bekerja, kata Komisi Penyelamatan Internasional, organisasi yang membantu orang-orang yang terdampak krisis kemanusiaan.

Pemerintah AS mengatakan bahwa sejak jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, sekitar 90.000 warga Afghanistan hengkang dari negara mereka dan kini bermukim di Amerika.

Nawroz Khosti adalah salah seorang pelanggan Azmal Zazai Mall, satu dari sekitar 3.000 warga Afghanistan yang kini bermukim di San Antonio. Ia mencari gaun bersulam bendera nasional Afghanistan.

“Saya sedang mencari gaun bersulam bendera Afghanistan. Penjaga toko memberi tahu saya bahwa mereka akan segera mendatangkan gaun-gaun itu,” kata Khosti.

Terdapat begitu banyak orang Afghanistan yang tercatat menjalankan bisnis dalam komunitas bisnis di San Antonio sehingga mereka berencana memamerkan barang-barang mereka bersama.

“Kami berencana mengadakan pameran produk-produk Afghanistan, khususnya karpet-karpet Afghanistan supaya orang-orang berpartisipasi. Selain karpet, kami akan menampilkan kerajinan tangan Afghanistan,” ujar Ismail Haqmal, seorang pengungsi Afghanistan lainnya.

Pemilik toko dan pedagang seperti Zazai berharap bisa mengembangkan bisnis mereka ke seluruh Amerika.

2 dari 3 halaman

Nasib Pengungsi Afghanistan di Batam, Hidup Penuh Ketidakpastian

Ratusan imigran Afghanistan kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut pemerintah Indonesia agar memfasilitasi mereka mendapatkan suaka ke negara ketiga, Selasa (20/9/2022). Namun belum sempat orasi, aparat gabungan Pemkot Batam langsung membubarkan para imigran tersebut.

"Saudara-sudara imigran agar segera bubar, kalau tidak bubar akan dilakukan tindakan," kata petugas kepolisian melaui pengeras suara.

Kepala Satpol PP Kota Batam Reza Khadapi mengatan, aksi unjuk rasa yang dilakukan imigran Afghanistan tersebut selama ini tidak memiliki izin.

"Secara undang-undang imigran tidak boleh demo, kami bubarkan secara persuasif," kata Reza.

Aparat Pemkot Batam jengah, lantaran selama ini imigran selalu menggelar demo tanpa izin tanpa ada tindakan apapun.

 

3 dari 3 halaman

Depresi

Sementara itu, Ali Akbar kordinator aksi unjuk rasa mewakili para pengungsi Afghanistan mengaku bingung, kepada siapa dia menyampaikan pendapat karena aksinya selalu ditolak, tidak ada lagi harapan kepada siapa untuk mengadu untuk menyuaran nasibnya agar bisa keluar dari Indonesia.

Ali juga mengungkapkan, para pengungsi berasal dari Afghanistan telah satu tahun aksi damai turun ke jalan agar didengar pemangku kebijakan. Tapi belum ada respons sama sekali dari pemerintah Indonesia, maupun Pemkot Batam.

"Masalahnya negara kami tidak siap, jadi kami menjadi penduduk yang tidak pasti, sebagai pengungsi juga tidak ada kepastian, sampai kapan ketidakpastian ini?" katanya.

Ali menceritakan, tidak jarang para pengungsi Afghanistan di Batam didera depresi berat dalam ketidakpastian, bahkan ada yang memilih bunuh diri. 

"Kami benar-benar putus asa. Anak-anak kami tidak ada pendidikan. Kami semua para pengungsi minta tolong sama bapak wali kota, tolong buka mata, buka hati, kami para pengungsi minta tolong. Dengarkan kami bukan malah dipukul dan disudutkan," ungkap Ali.